2. Tanah Asing

1088 Words
Aroma lavender menguar lembut. Hangat dan nyaman, seperti berada di tempat tidur berkualitas tinggi. Punggung Restia pun tidak merasakan sakit karena kasur b****k yang berada di kosannya. Membuatnya semakin betah berlama-lama terpejam. Eh, tunggu! Restia merasakan sentuhan lembut. Membelai seluruh tubuhnya. Ah, bukan hanya itu! Restia juga mendengar bunyi gemericik air. Situasi ini...., hahaha, Restia bukan sedang dimandikan kan? Pasalnya buat apa Restia dimandikan kalau bukan untuk.... "Nggak! Aku belum mati!" teriaknya kuat sampai tubuh tertidur itu spontan berdiri. Kepalanya berdenging hebat karena tiba-tiba bangun setelah kesadarannya kembali. Perlahan terdengar suara aneh yang lama kelamaan jelas. "Na..." "Onaa..." "Nonaa..." Tapi, siapa dia? Restia menatap heran pada wanita berpakaian sopan dengan pita merah di kerah baju. Di tengahnya terdapat batu giok kecil berwarna hijau. Ia terlihat berkaca-kaca sambil memegangi handuk kecil. Ah, sepertinya orang ini yang menyentuh tubuh Restia tadi. "Syukurlah...." ucap wanita itu dengan raut haru. "Saya akan memanggil tabib dan orangtua Nona," lanjutnya lagi kemudian bergegas pergi. Meninggalkan Restia yang tampak cengo dengan orang asing itu. "Tabib? Memang di jaman modern masih ada tabib?" gumamnya kemudian menoleh ke samping. Seketika mata Restia dibuat terbelalak. Pemandangan dari jendela besar itu terpampang pelataran luas dengan beberapa taman tersusun rapi. Tidak ada satupun gedung pencakar langit yang sering Restia lihat di kota. "Dimana ini? Antah berantah?" "Tunggu!" Restia menyisir sekitar. Tak ada satu pun bola matanya menemukan alat medis modern. Semuanya dominan dengan barang-barang antik. "Ma-masak sih aku diculik sama mafia? Tapi buat apa?" pikirnya mulai ngawur efek kebanyakan membaca novel dan w*****d. Kepanikan mengisi sekujur tubuhnya hingga mencetuskan niat untuk kabur. Restia menyibak selimut beludru yang terlihat mahal itu. Satu hal fakta yang ia temui. Di mana bekas luka yang seharusnya ia dapat akibat kecelakaan itu? Kakinya terlihat mulus bahkan lebih mulus dari biasanya. "Ugh!" pekik Restia tepat ia berhasil berdiri dengan dua kakinya. Bukan karena tidak sanggup berdiri. Di banding area kaki, Restia lebih tersiksa dengan kepalanya yang tiba-tiba menegang. Rasanya seperti diikat oleh ribuan tali. "Hah! Apa ini!" gumamnya seraya memegangi kepala. Satu persatu ingatan asing menerobos masuk. Membuat otaknya terasa penuh dan kepalanya semakin menegang hingga ia harus terkulai di lantai. "Astaga! Restia!" pekik seseorang. Ia segera mendekap tubuh Restia dengan raut khawatir. Wajah khawatir itu sangat kentara. Anehnya juga Restia tiba-tiba mengenal laki-laki paruh baya yang sedang mendekapnya ini. Dia Chalid Alder, seorang bangsawan setingkat Marquess. Menguasai beberapa daerah dan salah satu bangsawan yang sukses dalam perdagangan. Seorang pendukung aktif naiknya mahkota sang kaisar. Dan juga Ayah dari Restia Alder De Freya. Tunggu! Restia Alder De Freya? Situasi apa ini? Bukankah dia karakter antagonis dalam novel Matahari Eraslan? Tubuh Restia diangkat dan diletakan kembali ke kasur. Chalid masih menatap khaawatir sembari mengelus pucuk kepala anaknya. "Bersabarlah, tabib akan segera datang." Tak berselang waktu lama. Seseorang membuka pintu itu. Ada dua orang yang masuk. Salah satunya wanita yang pertama kali Restia lihat dan jika tebakan Restia benar laki-laki itu adalah tabibnya. "Maaf menunggu lama Tuan Chalid. Saya akan memeriksa keadaan Nona," ujar tabib itu seraya mengeluarkan peralatan. Tidak sengaja Restia melihat wanita tadi. Tatapannya cemas bercampur sedih seolah dunianya diambang keruntuhan. Lagi, Restia tau identitas wanita ini. Padahal wajahnya cukup asing untuk diingat. Dia Rowena Tristan. Anak dari baron Tristan yang menempati daerah pedesaan jauh dari ibu kota. Sekaligus pelayan Restia yang sudah ia anggap sebagai teman sendiri. "Keadaannya sudah membaik. Nona Restia akan segera pulih jika rutin minum ramuan. Saya akan menyiapkannya." What? Ramuan? Kening Restia mengernyit. Ia tidak bisa mengharap itu adalah sesuatu yang manis seperti obat batuk anak-anak kan? "Nak, istirahatlah," suruh Chalid lembut. Ia pergi setelah mengecup kening Restia dan diikuti oleh Rowena. Setelah pintu itu benar-benar tertutup. Restia langsung bangkit. Ia diam cukup lama dengan segala keruwetan pikiran yang mencetuskan praduga tidak logis. "Masak aku masuk novel Matahari Eraslan sih?" "Hahaha, enggak, nggak! Ini pasti mimpi. Oke, kalau gitu aku nggak perlu khawatir," beonya kemudian merebahkan diri lagi. Sedetik kemudian ia bangkit lagi. Ia merasa ini semua terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi. "Oke! Cuma satu cara yang bisa membuktikan ini mimpi atau bukan." Matanya memejam kuat. Dengan tekad bulat ia melambungkan tangan kanannya dan, PLAK! "AW!" Rasa nyeri mengitari pipinya. Sejurus dengan itu vonis semesta telah ditetapkan. Restia benar-benar terjebak di dunia novel! "Terus gimana sama interview ku?" "Aku kan seharusnya udah dapet kerja. Hiks." "Masak aku harus di sini sambil meranin karakter antagonis sih!" "Mana ujung-ujungnya mati juga! Hiks..., huhuhuu, hiks..., aku pingin pulang. Ibu..., bapak... hiks." Lama tersedu membuat Restia lelah sendiri. Sudah dapat dipastikan mukanya sebengap apa karena berjam-jam menangis. Merasa haus, Restia bangkit untuk meminum segelas air di meja. Tadi sebelum beranjak Rowena sempat membawa air putih dan madu di meja. Sesenggukan masih terdengar. Restia memandangi gelas porselen bermotif bunga lavender. Bagaimana jika dirinya terjebak selamanya di sini? Air matanya kembali menetes. Menyayangkan apa yang sudah ia usahakan di dunianya. Sebuah kilau terpantul mengenai pandangan Restia ketika ia akan kembali ke ranjang. Ia sigap menghalangi dengan jemari. Di sana, sorot Restia menemui cermin yang menjadi dalang atas pemantulan cahaya matahari yang datang dari jendela. Ia menghampiri cermin besar yang tiap sisinya terukir pahatan bunga lavender. Restia mendapati beberapa barang-barang kecil yang ia yakini sebagai perlengkapan make up. "Dilihat kayak mana pun ini meja rias. Bedanya mungkin agak kuno soalnya terbuat dari kayu sih. Mana banyak ukirannya lagi. Kalau dijual pasti mahal banget," beo Restia. Sejenak ia melupakan kesedihannya. Setelah selesai menyentuh barang-barang yang menurutnya antik itu. Tatapannya tertuju pada cermin. Pandangannya tidak bisa melihat jelas wajahnya sendiri karena cahaya redup. Restia kemudian menyibak horden besar bermotif lavender. Lagi-lagi lavender! Matanya membola, tubuhnya menegang beberapa detik. Ia memegang pipinya sendiri. "Ini beneran aku?" Rambut coklat keemasan panjang bergelombang seolah berpadu apik dengan warna kulit yang juga putih bersih. Mata beririskan zamrud melingkar indah. Hidung mancung terkesan mungil lalu bibir tipis seranum buah ceri. Ah, Restia lupa, karakter Restia kan memang pernah digadang sebagai wanita tercantik seantero Eraslan. Tentu saja sebelum kedatangan Aurora-- female lead sesungguhnya. Perlahan hati Restia dibuat iri. Pertama karena perhatian orang tertuju pada Aurora yang juga cantik jelita dan berakhir dengan cinta Kaisar yang ternyata ditujukan untuk Aurora, si gadis tawanan perang. "Hah, percuma cantik kalau ujung-ujungnya jad mayat," keluh Restia mendudukan diri di kursi rias. "Gimana ya caranya balik. Kalau prediksi ku sih kayaknya aku belum mati. Mungkin aja masih koma di rumah sakit," gumam Restia. "Ayo berpikir Restiaa! Ayo! Pasti ada cara buat kembali! Inget! Nggak ada yang mustahil kalau berusaha. Fighting!" serunya semangat. Bakal jadi apa antagonis KW satu ini. Next nggak nih? Bantu Lope & komen ya Lope sekebon ??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD