Kuda Hantu

1264 Words
Perdana sudah berjalan jauh, tapi ia masih belum menemukan Jena dan Ara. Matahari pula sudah kembali ke peraduannya, membuat kegelapan mulai bertakhta. Ia mengurung mulut dengan dua telapak tangan, menyisakan lubang di ujungnya seperti terompet. "Jena!" teriaknya. Berulang-ulang dia melakukannya tapi masih belum menemukan Jena, bahkan sahutan kembali pun tidak ada. hikhikhikhikhikh Mata Perdana melebar. Ringkikkan kuda? Darimana? Ia memutar tubuh pada porosnya. Melihat ke semua penjuru. Tidak ada tanda-tanda kehadiran kuda. Bulu kuduknya secara tiba-tiba meremang. Berat hati ia pun melangkah kembali, tapi masih menyerukan nama Jena. "Mana Jena dan Ara?" tanya Sumarto begitu melihat Perdana kembali seorang diri. "Aku tidak menemukannya." Perdana menjatuhkan tubuh di samping Sagala. "Kalian tahu tidak? Aku malah mendengar ringkikkan kuda yang mengerikan." "Kamu salah dengar kali," kata Sagala. Ia menarik resleting tas dan mengambil senter. "Ayo kita cari lagi dua perempuan itu." Perdana tanpa memikirkan penat langsung bangkit. Dia juga mengambil senternya. "Kalian mau kemana?" tanya Hector menghampiri. Niatnya ingin memeriksa apakah tenda kelompok Perdana telah siap. "Mencari Jena dan Ara," kata Sumarto mewakili. "Mereka hilang?" Sagala mengedikkan bahu. "Mungkin." "Ayo ikut," ajak Perdana. "Gila kamu. Aku harus menjaga yang lain." "Bilang saja takut," ejek Sumarto. Sagala menyalakan senternya. "Kalau dalam 1 jam lebih kami tidak kembali, cari!" titahnya. Ketiganya pun meninggalkan Hector. Menyenterkan cahaya ke semua penjuru sambil terus memanggil Jena dan Ara. *** Ara dan Jena sudah dalam perjalanan pulang. Mereka berganti baju tidak jauh dari tenda berada, hanya saja kondisi hutan yang lebat memungkinkan orang-orang tidak melihat mereka. "Langit sudah gelap, Jen. Ayo cepat," kata Ara. Ia bahkan menyambar tangan Jena agar ikut mempercepat langkah. Mereka berganti baju cukup lama karena Jena harus mengoleskan bedak gatal ke seluruh tubuhnya. Begitu juga dengan Ara. hikhikhikhikhikh Kaki Jena berhenti. Membuat tubuh Ara tertarik mundur. "Kenapa, Jen?" "Kamu dengar tidak?" Ara mengerutkan dahi. "Dengar apa?" hikhikhikhikhikh Jena memutar tubuhnya ke asal suara. Nyaring terdengar ringkikkan kuda itu. Tak lama disusul oleh derap langkah kuda dengan irama cepat. "Kamu dengar itu?" Lagi-lagi Ara mengerutkan kening. "Maksudmu suara hembusan angin beradu dengan daun?" "Bukan. Suara kuda." "K..kuda?" Derap kaki kuda semakin mendekat, jantung Jena pun berdetak lebih cepat. Ia terbayang akan kuda di tenda semalam. Kuda hitam besar dengan mata merah menyala. hikhikhikhikhikh Jena dengan sigap mundur ketika kuda hitam yang entah darimana itu meringkik nyaring, mengangkat dua kaki depannya tinggi ke udara. Tap Dua kaki tersebut menapak mantap ke tanah. "Jen.." Ara mengguncang tubuh Jena pasalnya wajah perempuan itu pucat seperti baru melihat hantu. Jena tidak mendengar apa-apa lagi. Dua matanya tersedot masuk ke dalam mata merah nyala kuda tersebut. Pelan-pelan tangannya pun terdorong untuk mengelus kepala si kuda. Teksturnya kasar dan menggelitik bulu kuduk untuk meremang. Namun ia tidak bisa menarik tangan karena dua mata merah tersebut menitahkannya demikian. Sebuah tanduk secara mistis muncul di kepala kuda. Tanduk hitam yang tajam. Jena tidak ingin menyentuhnya, tapi tangannya melakukan yang sebaliknya. Ia memegang tanduk itu. Srasshhh "Aw.." Telapaknya tergores. Darah segar berlomba-lomba keluar, beberapa tetes terjatuh ke tanah. "Datang lah padaku segera. Aku menunggumu." Bisikan suara rendah, serak dan aroma darah kental membuat Jena tersentak. Ia memutar tubuh, tapi tidak menemukan siapa-siapa di belakangnya. Ia kembali melihat kuda di depannya. Tidak ada. Hanya tanah lapang saja yang ia dapati. Ara memundurkan langkah. Ia merasakan ketakutan melingkupinya setelah melihat Jena bertingkah aneh. Dari mulai mengelus udara, memegang tangannya seolah terluka hingga berbalik dengan mata penuh teror. "Dicariin kemana-mana ternyata disini," sembur Sagala kesal. Ia menyenter Ara dan Jena bergantian. Heran karena dua perempuan itu ketakutan melihat satu sama lain. "Kalian berdua kenapa? Habis melihat hantu?" Sumarto menyenggol kuat Sagala. Memintanya menjaga mulut karena saat ini mereka tengah berada di hutan, memungkinkan salah satu penghuni mendengarnya dan berujung tidak senang. "Sudah-sudah, ayo." Perdana mendorong Jena dan Ara untuk berjalan. "Menyusahkan," desis Sagala dengan terang-terangan menyenter mata pada Jena tidak senang. *** Sinar matahari pelan-pelan menyusup masuk, menyadarkan semua orang bahwa ini sudah waktunya bangun. Mereka keluar tenda. Beberapa langsung menyalakan api dan beberapa yang lain memilih duduk di atas rumput, menunggu nyawa mereka bangun seutuhnya. "Ayo bangun-bangun," seru Hector pada semua laki-laki. "Heboh banget sih lo, Hec," kata Sumarto seraya menguap. "Suka-suka gue dong," balas Hector nyolot. "Ayo cepat ambil pisau kalian." Sagala menautkan alis. "Untuk?" "Berburu." Jawaban Hector membuat meraka bersemangat. Akhirnya setelah melewati malam yang membosankan ada juga kegiatan yang menarik. Hampir semua laki-laki mengikuti Hector untuk berburu. Sementara sisanya dibiarkan untuk menjaga perempuan-perempuan di tenda. "Lo mau kemana?" Suara besar Sumarto membuat Perdana mengikuti arah pandang Sagala. "Cari ikan," kata pria itu berjalan mendekati sungai. Daripada berburu, lebih baik dia menangkap ikan. "Boleh juga." Perdana menghampiri Sagala. Sumarto yang juga takut berburu sendirian pun memilih ikut saja. "Gue bantu doa deh." Sumarto duduk di pinggir, menontoni Perdana dan Sagala yang turun ke sungai. Airnya lumayan dangkal. Banyak pula batu-batu yang memperkecil arus air. Berkat itu Sagala dan Perdana bisa aman hingga hampir ke tengah. "Orang-orang b**o," gumam Sumarto tidak habis pikir pasalnya Sagala dan Perdana asal memasukkan tangan ke air, lalu mengangkatnya kembali. Ya jelas tidak ada ikan yang tertangkap. "Dapat woi." Seruan heboh Sagala membuat Sumarto melotot. Bah bisa dapat juga? Ia pun menjadi tertarik untuk bergabung. "Hebat juga lo," pujinya. "Gue gitu loh," kata Sagala. Ia beranjak ke salah satu batu, langsung membersihkan ikan yang ia dapat menggunakan pisau. "Gue juga dapat woi." Perdana mengangkat tinggi ikan hasil tangkapannya. Tidak sebesar punya Sagala,tapi lumayan lah. "Kecil aja bangga. Nih lihat punya gue." Sumarto mencelupkan tangan ke dalam air. Ia berbinar merasakan sesuatu tertangkap olehnya. "Tara." Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Mata Perdana yang hampir lompat membuat ia menurunkan pelan tangannya. Benar, tidak terasa seperti ikan. "Tengkorak? Ihhh." Ia melempar jauh-jauh tengkorak dari tangannya. Pantas saja tidak terasa seperti ikan. Sumarto buru-buru menghampiri Sagala di atas batuan. Menggigil sudah tangannya. "Kok bisa ada tengkorak?" tanya Sagala santai. Perdana mengedikkan bahu. Ia memberikan ikannya agar Sagala bersihkan. "Udah balik yuk," ajak Sumarto menarik-narik kaos Sagala. "Cemen banget," ejek Sagala lanjut membersihkan ikan milik Perdana. "Cari lagi gih, Dan. Dua ekor mana cukup nih." Perdana dengan santai kembali mencari, sementara Sumarto menggigil ketakutan. "Itu tengkorak manusia loh, Gal." "Yang bilang itu tengkorak unta siapa?" Sumarto berdecak kesal. Tidak ada gunanya melapor pada Sagala. Bukannya takut, pria itu malah santai. *** "Jen.." panggil Ara pelan. Jena yang tengah merapikan rambut menjadi ikatan satu menoleh. "Apa?" "Semalam kamu kenapa?" "Aku?" Jena mengerutkan kening, mencoba berpikir apa yang terjadi padanya. "Tidak kenapa-kenapa," balasnya kemudian. "Masa sih? Semalam aku lihat kamu mengelus udara, setelah itu pura-pura memegang telapak seakan ada yang terluka, kamu kenapa?" "Aku mengelus udara? Mana ada, Ra. Kamu ini aneh-aneh saja." "Ya ampun, Jen. Aku melihat jelas dengan dua mata kepalaku loh. Terus kamu bilang ada suara kuda. Kamu melihat sesuatu eh?" Kuda? Ah iya. Jena melirik kanan dan kiri. Setelah dirasa aman ia berkata, "semalam aku melihat kuda hitam dengan mata merah menyala. Terus tiba-tiba aku tidak bisa mendengar suaramu. Aku seakan dihipnotis mata merah itu untuk mengelus kepalanya. Kamu tahu apa yang gila? Kuda itu punya tanduk dan karena mengelus itulah tanganku terluka." Jena mengangkat telapaknya. "Loh tidak ada bekasnya? Padahal semalam sampai berdarah." "Jen.. kamu sedang tidak berhalusinasi kan?" "Ya enggaklah. Untuk apa juga aku berhalusinasi mengerikan seperti itu." "Sudahlah." Ara mengelus-elus punggung Jena. "Lain kali kalau di hutan kamu jangan suka melamun. Makhluk-makhluk gaib memang suka menjebak siapapun yang kosong pikirannya." "Aku tidak melamun, Ra!" Ara tidak mau mendengarkan. Ia beranjak untuk menyalakan api, meninggalkan Jena dan pikirannya. Apa iya aku hanya berhalusinasi? Enggak ah, semalam memang dengan sadar aku melihat kuda hantu itu. **** Yey chap ketiga hari ini See ya besok, minggu depan deng:v

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD