Perjalanan Hari Pertama

1399 Words
"Woi itu Jenana." Mau tidak mau Jenana menoleh ke sekumpulan cowok berkaos biru tua. Itu mahasiswa dari kampus di seberangnya. Mayoritas anak-anaknya dikenal sebagai anak yang berdompet tebal dan bertampang rupawan. Benar saja. Sekelompok yang tengah berbisik-bisik namanya didominasi oleh cowok-cowok tampan. Hanya satu yang Jenana kenal, cowok dengan potongan rambut undercut yang ditata rapi oleh gel. Namanya adalah Sagala, cowok paling diincar semua generasi di dua universitas—universitasnya dan universitas asal cowok itu sendiri. "Jenana." Cowok yang menata rambutnya dengan kuncir kuda melambai. Meskipun Jenana bukan pecinta pria berambut panjang, tapi tidak bisa dipungkiri garis wajah cowok itu membuatnya terpesona. "Perdana." Ia mengulurkan tangan. Tidak mau kehilangan kesempatan untuk berkenalan dengan salah satu perempuan unik dari kampus tetangga. Kenapa Jenana unik? Itu karena perempuan itu tidak pernah pandang bulu dalam berteman. Semester 2 tahun lalu ia bahkan berteman dengan salah satu bekas napi. Luar biasa sekali karena hampir 90 persen yang lain memilih mengucilkan orang tersebut. Jenana mengulas senyum ramah. "Jenana," balasnya menjabat tangan Perdana. Siul-siul terdengar dari belakang. Alih-alih Jenana yang salah tingkah eh malah Perdana yang demikian. "Itu.." Perdana mengusap pelan tengkuknya. "Kenapa kamu tidak pulang dengan rombongan pertama?" "Ada deh," balas Jenana bersama selipan senyum. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia lari dari saudara dan ibu tirinya yang psikopat itu. Selain malu, ia akan dalam bahaya besar. Gelakan bersahut terdengar dari belakang. Apa lagi. Mereka mentertawakan nasib temannya yang yang baru saja menjadi begitu memalukan di hadapan seorang perempuan. "Jenana Arinai Rusadi." Kepalanya bergerak kembali ke barisan depan. "Hadir," katanya seraya mengangkat tangan. Nama-nama lain kemudian berlanjut. Siang ini mereka memang harus absen sebelum memulai perjalanan menuju hutan berdarah. Dibutuhkan setidaknya 5 hari untuk sampai di sana. Untuk mempersingkat waktu mereka pun akan bergerak lebih awal. "Sebelum memulai perjalanan. Saya minta kalian untuk membuat kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang, 2 putri dan 3 putra. Setelahnya, ketua kelompok tolong maju untuk mengambil persediaan." Perdana loncat dari bulatan kayu yang ia duduki. "Mau satu kelompok?" tawarannya pada Jenana. "Boleh, tambah temanku juga ya? Namanya Ara." Dari rautnya Perdana terlihat bisa diandalkan dan kedua, badannya juga kekar, pasti tangguh untuk menghadapi serangan. Itulah kenapa Jenana setuju satu kelompok dengannya. Perdana merobek secarik kertas dari notebooknya. Ia menuliskan namanya, Jena, Ara, Sumarto dan Sagala. Ia mengarahkan tangan pada Sagala dan Sumarto. "Lo berdua, satu kelompok dengan gue." "Terserah dah yang penting kalau ada apa-apa lo duluan maju," kata Sumarto tidak mau tahu. "Pengecut!" ejek Sagala. "Ganti aja sana celana lo dengan rok." Jena tertawa kecil mendengar kalimat sarkas Sagala. Siapa sangka ia malah mendapat hadiah tatapan tajam dari Sagala yang seakan menitahkannya untuk berhenti tertawa. "Hati batu," bisik Ara ke telinga Jena. "Udah ada pawangnya juga. Makanya dia jadi terlihat tidak suka sama perempuan lainnya. Jaga perasaan ratu gitu loh." "Pantas saja, " ujar Jena dalam hati. Anyway, beruntung banget perempuan yang mendapatkan Sagala. Dia tampan, memilki kinerja bagus setiap melakukan pekerjaan dan kaya pula. Tanpa Jena sadari ia pun menjadi iri. Berharap ia juga bisa memiliki seorang cowok. Tidak harus sesempurna Sagala sih, tapi cukup pengertian, bukan orang yang kasar dan penyabar. Sekarang pertanyaannya, emang ada cowok seperti itu? Mungkin ada, tapi Jena belum pernah menemukannya. Maklum saja, ia terlalu sibuk mengabdi pada saudara dan ibu tirinya daripada pada kehidupannya sendiri. *** Elinda baru keluar dari bus ketika pupil matanya menangkap salah satu sosok yang ia kenal sekaligus sosok yang ia benci pula. Sam Rusadi—kakak tiri Jenana. Dia bersandar pada mobil lamborghini urus hitamnya dengan satu tangan diselipkan ke saku jeans robek, sementara tangan yang satunya menyelipkan rokok ke bibirnya. Mata gelapnya pula menatap nyalang ke semua orang yang baru menuruni bus. "Berhenti." Suara berat tersebut membuat kedua kaki Elinda berhenti. Ia menarik nafas pelan, lalu menoleh dan tersenyum. "Ada apa ya, Kak?" Mengikuti Jena. Ia terpaksa memanggilnya kakak juga. Ia menarik rokoknya keluar, menghembuskan asap putih hingga ke wajah Elinda. Sontak ia menarik tangan untuk menutup hidungnya, tidak tahan akan aroma nikotin yang terlampau berat itu. "Dimana Jena?" "Dia belum pulang. Masih ada satu trip lagi yang harus ia ikuti." Manik gelapnya menyipit dalam. "Kenapa kamu bisa pulang, sedangkan dia tidak?" Elinda mengedikkan bahu. "Berapa lama lagi?" "Satu minggu." "Satu minggu? Apa kau yakin itu memang acara komunitas pecinta alam atau.. dia malah bersenang-senang dengan pria di sana?" Tangan Elinda terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dasar pria tidak berpendidikan! Berbicara seenaknya saja. Tidak pernah memikirkan kalimatnya sebelum meluncurkannya. Sam melempar rokoknya asal. "Dimana trip terakhirnya?" "Hutan berdarah." Mata gelap itu terbelalak. "Hutan berdarah?" "Iya." Elinda mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu, Kak." Ia tidak menyahut. Membiarkan saja perempuan itu hilang dari pandangannya. "Hutan berdarah?" gumamnya lagi. "Bukankah itu hutan yang tahun lalu memakan ratusan korban?" *** "Hati-hati, Jen," seru Perdana dari atas bukit. Jenana mendongak sesaat untuk melihat manik pria itu. Ia lalu kembali menatap air yang memakan celananya hingga sebatas paha. "Pelan-pelan saja," kata Ara dari belakang. "Iya, Ra." Jenana melangkah perlahan melawan arus sungai. Memang tidak besar arusnya, tapi warna gelap air sungai membuatnya jijik. Ia membayangkan aneka bekas kotoran yang membuat warna air sungai menjadi demikian. Eww, menjijikkan sekali. "Bisa cepat tidak sih," gerutu Sagala. Sudah hampir lima belas menit ia berendam, namun belum kunjung sampai ke daratan lagi. Tentu saja, itu karena dua perempuan di depannya yang lambat sekali bergerak. "Sabar, Mas," tegur Sumarto. "Jangan panggil gue mas, bangke!" sentak Sagala tidak terima. "Ya udah iya. Sabar, Kang." "Marto, lo minta gue lelepin di sungai ini ya?" Sumarto menggeleng cepat. Ogah atuh dilelepin ke sungai yang kotornya mengalahkan kali ciliwung itu. Sagala menatap lurus kembali. Masih saja dua perempuan itu melangkah pelan. "Woi, cepat! Udah menggigil nih gue!" "Berisik banget sih," gerutu Jena. Akhirnya setelah 30 menit dia sampai juga ke darat. "Lambat banget," dengus Sagala sengaja menabrak bahu Jena. Hampir saja ia terjatuh. Beruntung Ara segera menahannya. "Sabar, Jen. Dia memang terkenal emosian," kata Ara menenangkan. Jena juga mencoba sabar, tapi masih saja ia kesal mengingat tatapan tidak suka dari Sagala. Itu seakan menunjukkan ia pernah berbuat salah pada Sagala sejak lama, tapi pada kenyataannya kan tidak. Lantas, kenapa Sagala seperti memusuhinya? Aneh sekali! "Jen, sini." Perdana melambai. Ia baru saja membuat api unggun untuk memasak air. Jenana dan Ara mendekat. Sengaja duduk dekat dengan api untuk menghangatkan tubuh. Tanpa sengaja mata Jena bertemu dengan mata galak Sagala. "Ngapain lo langsung duduk? Sana, ganti dulu tuh celana! Mau muntah gue dengan baunya." Hati Jena langsung mengecil. Memang celananya sedikit bau karena lumpur sungai, tapi apa tidak bisa Sagala mengatakannya dengan pelan. Tidak perlu berteriak seperti itu hingga anak-anak kelompok lain menatapnya aneh. "Ayo, Jen." Ara berdiri, menarik tangan Jena. "Lo jangan kasar-kasar sama Jena dong," kata Perdana kesal. "Dia itu perempuan. Hatinya sensitif, Gal." "Bodo amat." Sagala mengeluarkan satu cup mie dari ranselnya. "Udah masak belum airnya?" "Belum lah. Baru juga gue naikin." Perdana menatap lurus ke bekas jalan yang Jena ambil. "Mereka ganti baju dimana ya?" "Hayo, lo mau ngintip ya," tuduh Sumarto. "Otak lo minta gue tampol eh?" Ya kali Pradana berniat semesum itu. Dia hanya khawatir Jena tersesat atau ketakutan karena bertemu hewan-hewan hutan seperti ular atau monyet. "Jadi, malam ini kita dirikan tenda disini?" tanya Sagala. "Lo tadi denger kan kata Si Hector?" Pertanyaan balik Perdana membuat Sagala mendengus malas. "Yang bener aja nih kita dirikan tenda yang tidak jauh dari sungai bau itu." "Ya udah sih ikutin aja." Perdana menurunkan cerek mungil, mengambil cup mie Perdana, Sumarto dan ketiga miliknya. Ia lalu menuangkan air ke dalamnya membuat dalam sekejap aroma mie naik ke udara. "Emangnya lo mau dimana?" tanya Sumarto heran. "Ya pokoknya jangan disini." "Jadi dimana? Di pluto?" sarkas Sumarto. "Tahu tuh," ejek Perdana. "Terlalu banyak maunya lo." "Berisik!" Sagala meraih cup mienya. Begitu juga Sumarto. "Kok mereka belum kembali ya?" Hati Perdana mulai resah. "Apa mereka tersesat?" "Gih susul," suruh Sumarto. "Sendirian?" "Ya iyalah. Gue dan Sagala mau dirikan tenda. Iya kan, Gal?" Sagala mengangguk. Perdana pun bangkit. "Jahat banget lo berdua." "Awas tersesat," teriak Sagala setengah terkikik. "Khawatir banget sama perempuan jelek itu." "Jangan-jangan dia suka lagi sama Jena," duga Sumarto. Sagala mengangkat alis tebalnya. Tidak yakin bahwa Perdana menyukai Jena. Pria itu menyukai perempuan pemberani, tangguh dan berpenampilan baddas. Jena jelas tidak memiliki itu semua. "Lo sendiri?" Sagala mengerutkan kening akan pertanyaan ambigu Sumarto. "Masih suka sama Jena gak?" Manik gelapnya menyalang tajam, langsung menutup bibir Sumarto rapat. *** Eits jangan lupa tap love dulu sebelum kabur ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD