Hati siapa yang tak sakit?
Hati siapa yang tak hancur?
Entah bagaimana aku harus menanggapi curahan hati temanku saat ini. Tepat di hari pernikahanku, dia bercerita jika ada seorang lelaki telah merenggut kesuciannya dengan paksa. Lalu … buah dari perbuatan b***t itu, kini bersemi dan tumbuh menjadi suatu kehidupan.
Ini hari bahagiaku, tapi … aku tak bisa tersenyum lagi.
*
1 Desember 2020
Selasa pagi. Setelah semalam mendung menyelimuti Kota Bandung yang sejuk, namun nyatanya langit enggan menumpahkan air untuk mengguyur daratan kota kembang yang semakin sesak ini. Entah enggan, entah karena sungkan.
Mungkin karena ini adalah hari bahagiaku, hari dimana aku akan memakai gaun kebaya putih yang telah kurancang sejak berbulan-bulan lalu. Gaun yang akan menjadi saksi pertautan cintaku pada seseorang yang sangat kukasihi. Juga sebagai gaun dimana aku akan memasrahkan diri pada seseorang yang akan meminangku sebagai istri.
Kota Bandung pagi ini tampak cerah, sepertinya pihak langit juga merestui pernikahan ini.
"MashaAllah Aruna .... Senyum kamu cantik sekali hari ini." Itu suara teh Riska, dia sudah kembali. Seorang MUA yang tadi mendandaniku hingga aku sendiri dibuat kagum oleh pantulan di depan cermin, tadi dia pamit keluar sebentar. Aku menoleh dan menatapnya, matanya terlihat sedikit memerah dan berair.
Ah, sepertinya dia begadang semalam karena turut andil menyiapkan pesta pernikahanku.
"Makasih ya, Teh." Aku mengucapkan dengan tulus kata itu."Makasih sudah bekerja keras selama pandemi sampai hari ini."
"Sama-sama, aku bahagia karena akhirnya teman dekatku menikah juga. Untung nggak harus ditunda-tunda karena pandemi seperti orang lain." Tawa teh Riska terlepas saat itu.
"Haha iya, alhamdulillah. Aku do'akan semoga Teteh cepat nyusul."
"Aamiin .... Aamiin."
“Sayang banget, senyumnya harus ketutup masker, nih!”
“Iya, juga, ya! Ah, tapi masih untung, Teh. Karena orang lain pernikahannya harus gagal, aku dan kak Andra masih bisa berlangsung, ya … alhamdulillah,” ucapku dengan penuh syukur.
Sejenak kami berbincang, lalu teh Riska pun memutuskan untuk pergi dari ruang pengantin perempuan. "Aku meriksa Andra dulu ya, dia kan sebentar lagi mau ijab qabul, jadi harus keluar duluan." Begitu pamitnya.
Aku mengangguk dan merasakan jantungku semakin berdegup dengan kencang. Dengan perginya teh Riska menjemput kak Andra, itu artinya, tak lama lagi aku akan segera resmi menjadi istri pria itu.
Teh Riska adalah teman kak Andra, mereka berdua kakak kelasku saat kami masih SMA. Sejak dulu, teh Riska memiliki bakat untuk merias wajah. Tak ku sangka, keluarganya malah memiliki usaha wedding organizer dan berkat itu pula yang menjadikannya seorang MUA.
Atas saran kak Andra, tentunya karena keinginanku juga, aku menggunakan jasa teh Riska untuk mengurus pernikahan hari ini.
"Hmmm hmmm hmmm ...." Aku dendangkan sebuah nada lagu dengan gumaman. Jika ada orang yang melihatku hari ini, mereka semua pasti dapat melihat betapa bahagianya aku.
Jujur saja, aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia penuh syukur ini, walau sedikit saja.
Keenandra Surya Atmadja. Kak Andra. Laki-laki blasteran Sunda-Jawa yang hendak menikahiku, adalah salah satu pewaris dari perusahaan Indosurya, milik keluarga Surya Atmadja. Dia merupakan cinta pertamaku. Bersamanya, aku telah menjalin hubungan selama sepuluh tahun lamanya.
Banyak yang menyebut aku sangat beruntung dinikahi oleh seorang Keenandra. Bahkan keluarga kak Andra, meski dengan seluruh keturunan ningrat yang mengalir kental dalam darahnya, mereka tetap mau menerimaku. Seorang yatim piatu, yang bukan siapa-siapa.
"Hiks … hiks …." Sebuah suara tangis memanggil rasa penasaranku.
"Siapa?" gumamku. Sambil mengangkat kebaya pengantin yang sedikit terseret di atas lantai, aku menghampiri pintu.
“Tapi, Teh …? Apa aku harus menyembunyikan semua ini?” Suara teh Riska agak terisak. Entah dengan siapa ia mengobrol.
“Teh Riska …?” sapaku dari celah pintu. Oh … ternyata dia sedang bersama teh Santi, sang wedding organizer, masih saudara dari teh Riska. Mereka mengobrol di lorong hotel ini.
“Kenapa, Teh?” Aku merasa sakit melihat air matanya, meski entah apa yang ditangisi.
Teh Riska adalah teman dekat kak Andra sejak mereka masih SMA. Semenjak berpacaran dengan kak Andra, aku menjadi akrab dengannya. Bahkan kita juga menjadi pasangan ‘sobat nakal’ dulu, atau bahasa kerennya adalah soulmate in crime.
“Katanya Teteh mau ke tempat kak Andra? Masih belum, ya?” Aku bertanya lagi, karena baik teh Riska maupun teh Santi tidak ada yang menjawab pertanyaanku yang sebelumnya.
Teh Santi menyenggol siku teh Riska. Ada apa ini? Kenapa aku seakan menjadi orang asing di antara mereka?
“Kalian bicaralah di dalam. Biar Andra diurus sama tim penata rias yang lain!” perintah teh Santi.
“Ada yang mau teh Riska omongin ke aku?”
Sejenak, teh Riska diam. Lalu setelah teh Santi pergi meninggalkan kami, ia pun menggenggam tanganku. “Aruna, kita bicara di dalam, ya!”
“Hayuk!” kataku.
“Runa ….” Berdiri membelakangiku, teh Riska memanggilku, matanya yang menatap sendu terpantul di depan cermin.
“Maaf, ya! Aku tidak bisa totalitas membantumu hari ini,” ungkapnya yang jelas menimbulkan sejuta pertanyaan di benakku.
“Tidak bisa totalitas bagaimana? Teteh yang banyak membantuku hari ini, lho!” sanggahku. Apalagi dalam suasana pandemi seperti ini, sangat susah mengatur sebuah pernikahaan dengan menerapkan protokol kesehatan agar tetap berjalan dengan lancar.
“Runa … kondisiku nggak fit sekarang,” jawabnya.
“Teteh sakit?”
Ia terdiam. Melamun, menyisakan detak suara jarum dari jam tangannya.
Beberapa detik kemudian ia menjawab, “Aku hamil, Runa!”
Aku menganga mendengar pernyataannya, mataku membulat tak percaya. Kenapa harus hari ini kau beritahu aku, Teh?
“Nggak, Teh! Kenapa bisa?” elakku tak percaya.
Jelas! Aku sangat tak percaya! Teh Riska belum menikah.
“Bisa, Runa! Aku … aku …,” isaknya menyela di setiap perkataannya.
Telingaku berdengung. Harus bagaimana aku sekarang? Siapa laki-laki yang sudah tega menghamili teh Riska dan tak bertanggung jawab itu? Siapa?
“Aku pergi dulu, Na! Lain kali aku bercerita,” pamitnya sambil menyeka air mata.
“Teh …?” panggilku tak menghentikan langkahnya.
Pantas saja, sejak tadi aku seakan melihat anak sungai yang agak mengering di pipinya.
Ah, seandainya tak ada larangan. Aku pasti sekarang sudah berlari ke tempat kak Andra. Aku benar-benar tak sabar melihatnya menggunakan jas pengantin ala Sunda. Tapi … apakah dia sudah tahu musibah yang menimpa kawan baiknya ini?
Jika kak Andra tahu, aku yakin dia pasti akan menghabisi laki-laki tak bermoral itu hingga tak bisa bernapas lagi dengan hidungnya.