Ah … betapa beruntungnya aku menjadi istri dari seorang Keenandra Surya Atmadja, pria sejuta pesona, penuh tanggung jawab, yang didamba oleh banyak wanita.
"Aruna ...!" Panggilan itu terdengar sangat tegas.
Siapa lagi? Aku berbalik dan menuju ke arah pintu. “Siapa?”
“Eh, Aruna? Tadi, katanya buket bunganya ketinggalan di tempat Andra.” Laki-laki berkata dari balik maskernya.
“Jadi … aku harus ambil ke tempat kak Andra? Emang Amih ngebolehin?”
“Ah, emm … terserah kamu. Aku cuma ngasi tau, aku pergi dulu!”
Laki-laki itu pun pergi meninggalkan sejuta tanda tanya. Aku memang memesan buket bunga untuk hari ini, dan buket yang dikirim kemarin tidak sesuai dengan pesananku. Aku mengajukan keluhan, dan akhirnya buket yang baru dikirim hari ini.
Tapi … mengapa si kurir malah menyimpannya di tempat kak Andra? Sudah tahu yang membawa bunga itu bakal pengantin perempuan. Dan pengantin perempuan dilarang bertemu dengan pengantin laki-laki sebelum sah. Huuuft!
Lalu … pria yang memberi kabar tadi itu …? Saudara kak Andra kah? Dari bajunya, sepertinya dia bagian dari pager bagus di pesta pernikahanku kali ini. Kalau dia mau kemari, kenapa tadi tidak sekalian membawakan buketnya untukku? Ah, apa sih? Kita, kan, tidak saling kenal.
Aku seharusnya masuk kembali ke kamarku, tapi entah kenapa aku malah ingin terus berjalan karena penasaran dengan buket bunga yang aku pesan. Apa si kurir akan salah lagi?
Namun, entah mengapa kakiku malah membawaku ke tempat ini. Bukan tempat kak Andra, tapi … ruang wardrobe untuk para pager bagus dan pager ayu lainnya. Tempat yang kusesali seumur hidup karena telah ku datangi sebelum pernikahanku usai.
Tempat yang membuatku mendengar kalimat-kalimat patah hati. Seakan disiram air garam yang panas tepat di atas luka cambuk. Perbincangan yang tertangkap oleh runguku ini … benar-benar meremas paru-paruku. Membuatku kesulitan bernapas.
“Kenapa kamu nggak jujur sama Aruna, Ris?” Teh Santi bertanya pada teh Riska di sudut ruangan.
“Aku … aku … aku nggak tega, Teh!” jawab teh Riska terbata-bata.
Di ruangan itu sudah tak ada siapapun, sepertinya para pager ayu sudah selesai dirias. Hanya tersisa teh Santi, teh Riska, dan seorang pager bagus yang memberitahu tentang buket bunga padaku tadi.
“Riska, Riska, lihat teh Santi! Lihat ke teteh!” Teh Santi memegang bahu teh Riska dan memaksanya untuk menghadap ke arahnya. “Andra belum pernah melakukan apa-apa dengan Aruna, sementara dia sudah merusak kamu! Meski itu ketidaksengajaan, tapi Andra harus tanggung jawab, Ris!”
Hanya terdengar isak tangis teh Riska, keduanya terdiam tak ada yang berkata-kata. Aku masih berdiri di ambang pintu, sepertinya tak ada yang menyadari keberadaanku. Pun dengan pria itu, yang seakan santai saja mendengar pembicaraan penuh privasi dari kedua perempuan tersebut.
“Anak ini butuh ayahnya! Anak ini butuh Andra!” tuntut Teh Santi.
Dari pembicaraan mereka … ternyata lelaki tak bermoral itu adalah … priaku, pria yang akan menikahiku. He should be my groom today.
Perasaanku bergejolak, jantungku berdentam-dentam. Ujung bibirku bergetar, rasanya ingin mengelak apa yang kudengar saat ini. Tak dapat kucegah lagi, air mata menggenang di pelupuk mata yang sekuat mungkin kutahan agar tidak jatuh.
Ternyata laki-laki itu adalah kak Andra. Kak Andra calon suamiku. Kak Andra ternyata ayah dari bayi itu.
Ternyata itu … kak Andra. Kak Andra, Keenandra Surya Atmadja, pria sejuta pesona, penuh tanggung jawab dan diidamkan banyak wanita. Pria kebanggaanku yang selalu menjadi bunga dalam setiap mimpiku. Pria yang namanya selalu kusebut dalam do’aku.
Isak tangis tertahan di pelupuk mata. Ingin ku gebrak pintu di depanku dan melabrak kedua manusia yang sedang saling bercerita itu. Tapi … ini bukan salah mereka!
Aku muak, jijik, dan benci.
Bukan, bukan pada mereka berdua yang telah mengkhianatiku. Tapi pada diriku sendiri yang terlalu mudah percaya pada mereka berdua. Entah polos atau terlalu naif aku ini.
Aku berlari meninggalkan ruangan itu. Seakan ada suara langkah kaki lain yang membuntuti di belakangku. Tapi … aku tak ingin menoleh, aku tak ingin ada orang yang melihat air mataku.
Kemarahanku tak bisa usai hanya dengan menyobek kebaya dengan cape beserta hijabnya. Seonggok kain yang beberapa detik lalu membalut dengan indah tubuhku. Bahkan berhari-hari aku terus menerus memajangnya di manekin sambil terus berswafoto di sampingnya.
Kuambil setelan tunik dan rok plisket biru, juga sebuah kerudung segi empat yang kugunakan dengan asal, aku pergi meninggalkan hotel dengan membawa barang-barang pribadiku. Aku tidak bisa berpikir barang apalagi yang tadi kubawa menuju ke hotel ini.
Aku melangkah dengan terburu-buru.
Cklek
“Astaghfirullah hal ‘adzim!” Aku terkejut saat mendapati pria buket bunga tadi sedang berdiri di depan pintu.
“Ada apa dengan penampilanmu?” tanyanya sambil melihat ke arah pakaianku.
“Anda salah orang!” ujarku dengan cepat.
Aku keluar dan berlari, berharap pria tadi tidak mengejarku. Lagipula siapa dia? Aku tidak mengenalnya sebagai keluarga kak Andra, kenapa dia hadir?
Waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit. Masih ada waktu lima belas menit menuju prosesi ijab qabul. Waktu yang cukup untukku pergi sebelum membuat mereka tersadar bahwa aku tak ada lagi di tempat ini.
Aku tinggalkan hotel mewah yang telah menyediakan singgasana pengantin untukku. Hotel yang aku dan kak Andra pilih jauh-jauh hari lalu.
Aku menunduk berharap tak ada orang yang mengenaliku sepanjang perjalanan turun menuju ke lobby hotel menggunakan lift.
Ting
Lift itu pun terbuka dan seorang pria jangkung yang tak dapat kulihat wajahnya masuk ke dalam lift itu mendahuluiku. Pria itu menggunakan beskap dan sarung batik ala pakaian seorang pager bagus.
Tunggu ....
Itu kan pria buket bunga yang tadi? Demi keberhasilan rencanaku, aku harus berhati-hati dan terus menundukkan pandanganku.
Aku tak ingin pria di sampingku ini menyeretku kembali dan memaksaku duduk di pelaminan bersama Andra, pria yang kini ku anggap sebagai sebagai MANTAN kekasihku.
"Maaf! Mau turun juga?" Suara bariton yang gagah itu mengagetkan lamunanku.
Aku, masih dengan posisi hati-hati, hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaannya. Takut dia mengenaliku. Aku masih berasumsi jika pria ini adalah pager bagusnya Andra.
"Lantai berapa?" tanyanya lagi.
Ah, rupanya aku lupa menekan tombol lantai berapa di lift. Dengan cepat, aku tekan tombol menuju ke lantai dasar. Dan lift pun bergerak.
Ting
Pintu lift pun terbuka di lantai yang aku tuju, aku bergegas turun. Begitu pula dengan pria buket bunga yang entah kemana tujuannya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan dia. Semoga dia tidak mengenaliku.