Sebuah Permohonan

781 Words
Mungkin aku sudah benar-benar gila saat memuji keindahan raga yang ada pada dirinya dalam diam. Mungkin aku sudah benar-benar gila saat tak mengharapkan kepergiannya, baik untuk malam ini, besok, atau pun di waktu-waktu nanti. "Jangan mendekat!" Jiwa lelaki dalam diri justru semakin tertantang saat wanita 25 tahun yang rambutnya sudah tampak acak-acakan setelah jilbabnya aku tarik paksa, memberi peringatan dengan sorot kebencian. Aku tak peduli. Selanjutnya, tanpa berkata apa pun, aku menangkap dan menggendongnya ke kamar meski dengan sedikit paksaan. Perlawanan yang diberikan olehnya sama sekali tak berarti malam ini. Aku kalap dan memaksanya memberikan hak dengan cara yang jauh dari kata lembut. Ucapan-ucapan Fatih; tentang kepedulian, nasihat, dan juga ungkapan cinta untuknya, terus berkelindan di kepala saat aku tengah menyentuhnya. Membuatku tak peduli dengan kesakitan yang mungkin dirasakannya ketika semua sedang terjadi. Benarkah aku telah cemburu buta dan berharap memiliki wanita ini seutuhnya? Najwa terisak setelah hubungan suami istri yang terjadi cuma atas kehendak dari salah satu pihak, berakhir. Aku mendecak kesal. "Jangan berlebihan, Najwa. Kita belum bercerai dan masih sah sebagai suami istri. Aku tidak berdosa jika menuntut hak darimu. Apa yang kau tangisi?" Aku yang muak dengan isak tangis yang terus diperdengarkan, berucap sedikit ketus padanya yang kuanggap terlalu berlebihan dalam mendramatisir keadaan. Najwa diam tak menyahut. Mulutnya terkunci rapat dengan lelehan bulir bening yang mengucur deras di pipinya. Jari jemarinya meremas dengan kuat selimut yang menutup tubuhnya. Tubuh yang sebelum ini kujadikan tempat pelampiasan setelah lama kami tak melakukannya. Selama tiga tahun, aku memang tak pernah mengakui kecantikannya. Namun, bukan berarti tak pernah meminta hak batin padanya yang kuanggap terlalu biasa. "Najwa ...." Dia masih terisak lirih dengan bulir bening yang seperti tak ingin berhenti mengalir dari kedua matanya yang teduh. Ini pertama kalinya dia menangis setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang istri. Ini pertama kalinya kulihat ada air mata setelah kami bersatu menjemput surga dunia. Surga? Surga seperti apa yang mampu menghadirkan air mata dan tangis kepedihan untuk penghuninya? Surga yang seperti apa? Najwa buru-buru memalingkan wajah saat mungkin menyadari tatapanku terus terfokus menatapnya. Aku tercekat dengan tenggorokan yang mendadak seperti disumpal batu besar. Tak menyangka jika keadaan bakal berbalik 180 derajat seperti sekarang ini. "Wa ...." "Jangan berbicara apa pun lagi. Aku muak mendengar suaramu," ucapnya, meski dengan suaranya yang terdengar serak. Aku terdiam seribu bahasa dan benar-benar kehabisan kata-kata untuk mendebatnya meski hanya dengan satu kata. Dan detik kemudian, aku tersentak kaget saat melihatnya tiba-tiba bangkit dan lantas berjalan dengan tergesa menuju kamar mandi setelah menyambar handuk sekenanya. Aku meneguk ludah dengan berat melihat pemandangan itu. Dan .... Wanita itu membuatku panik ketika dirinya tak kunjung keluar padahal sudah hampir satu jam berada di dalam sana. Apa yang dia lakukan di dalam sana? Ya Tuhan! Apakah dia baik-baik saja? Hatiku mendadak tak tenang. "Wa ...!" Aku menggedor pintu kamar mandi dengan panik. Ketakutan dia akan berbuat nekat setelah apa yang terjadi tak bisa dihindari. Bisa saja dia frustrasi dan melakukan sesuatu di luar kendali, kan? Tidak! Aku tidak mau dihantui perasaan bersalah jika sampai hal-hal buruk terjadi. "Wa ...?" Aku berusaha memanggil namanya dengan suara yang lebih lembut daripada sebelumnya. Bukankah wanita suka dengan kelembutan? Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Hanya gemericik air shower yang jelas terdengar dan itu lebih dari cukup untuk membuatku semakin panik. "Wa ...?" Aku masih tak berputus asa menyambut jawabannya. Masih sunyi. Tak ada tanda-tanda dia bersuara apa lagi akan keluar dari kamar mandi dalam waktu dekat. Akhirnya, dengan segala upaya aku nekat mendobrak pintu kamar mandi. Dan ... sebuah pemandangan tersaji yang menghadirkan rasa perih tiba-tiba datang menghantam dadaku begitu pintu kamar mandi berhasil kubuka paksa. Wanita itu tergolek lemah di bawah pancuran air shower yang terus mengguyur tubuhnya yang masih dalam keadaan polos. "Najwa!" Dengan perasaan campur aduk, aku mengangkat tubuhnya dan lantas membaringkan tubuh kurus ini di atas ranjang kami. Tempat yang sama dengan tempat di mana seorang Irham menuntut hak dengan cara yang kurang terpuji sebelum ini. Apakah aku sudah sangat bersalah padanya? "Najwa?" Aku semakin dibuat panik saat menyadari panas tubuhnya meningkat tajam setelah aku berhasil memakaikannya baju tebal untuk menghangatkan tubuhnya. "Kamu akan tetap baik-baik saja. Tenang, aku akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu." Aku sedang mencari nomor kontak dokter pribadi langganan keluarga saat sebuah suara membuat fokusku teralihkan. Wanita itu membuka matanya pelan. Najwa sudah sadar? "Tidak perlu repot-repot memanggil dokter. Satu yang perlu kamu lakukan agar aku baik-baik saja. Cukup lepaskan aku dan jemput bahagiamu." Aku meneguk ludah dengan susah payah saat melihatnya berucap dengan kedua matanya yang tampak sayu. "Izinkan aku lepas dari pernikahan yang menyiksa ini. Tolong." Lirih suaranya saat mengucap kalimat permohonan. Dan percayalah, itu lebih dari cukup untuk membuatku kembali merasakan perih yang kesekian kali malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD