Panas Tak Tertahankan

1137 Words
"Ustadz bilang, rumah tangga, tuh, nggak harus terus dipaksakan berjalan kalau isinya cuma penderitaan, Wa. Kita diperbolehkan, kok, cerai dan memilih jalan hidup yang lebih baik," celoteh Fatih lantas mengulas senyum tipis menatap istriku. Menanggapi ucapan lelaki 25 tahun yang kerap tampil slengean ini, Najwa terlihat seperti memaksa diri untuk tersenyum meski masih dengan matanya yang terlihat merah dan sembap. "Walaupun katanya Allah benci dengan perceraian, tapi, aku yakin banget DIA pasti akan ridho jika hambanya melepaskan diri dari suami dzalim yang tidak pernah memperlakukan istrinya dengan baik," timpal sepupuku kemudian. Rupanya selain berniat membawakan Najwa martabak, dia juga berminat menjadi ustadz dadakan malam ini. "Wa, aku cuma mau ngingetin, Senin besok pengadilan buka, habis ini yok cari kebahagiaanmu, jangan mau terus-terusan diperlakukan seperti istri bodoh yang nggak punya perasaan. Kamu juga berhak bahagia betewe. Inget, yang kamu jalani sekarang itu rumah tangga bukan rumah duka. Jadi, cari dan raih kebahagiaanmu." Ada yang berkobar di dadaku saat mendengar omong kosong Fatih. Bukankah Bocah Tengil ini terlalu banyak bicara malam ini? "Saranku, sih, cuma satu, setelah lepas dari dia, carilah pendamping yang lebih bisa menghargai kamu, oke? Kamu sering lihat dan dengar, kan, di Twitter, IG, sama t****k, seumur hidup terlalu lama, Wa. Terlalu lama." Seakan tak ada lelahnya, Fatih terus mengoceh seperti burung Beo yang baru saja dikasih makan. Si*lan! "Setelah ini mau ke mana? Ayo aku antar," ujar Fatih sambil menatap dalam mata istriku. Najwa tak menjawab. Aku masih yakin jika dia memang tak memiliki tujuan akan pergi ke mana setelah ini. "Gimana kalau kamu ke rumah aku?" tawar Fatih yang tak langsung dijawab oleh wanita berbibir tebal dan penuh itu. "Satu yang perlu kamu tahu, Wa. Sebenarnya ... aku sudah menyukaimu sejak lama." Aku membeliak kaget dengan degup jantung yang terasa abnormal saat mendengar ucapan Fatih berikutnya. Apa aku tidak salah dengar? Tidak! Ternyata, bukan aku saja yang terkejut dengan pengakuan gila Fatih, tapi Najwa juga. Wanita yang usianya sebaya dengan adik sepupuku ini, menatap tak percaya laki-laki yang masih memegang plastik putih yang konon berisi martabak manis itu. "Aku menyukaimu sejak kita sama-sama masih berstatus sebagai mahasiswa baru hari itu," ucap Fatih terlihat serius. Membuat telingaku terasa panas dengan hati yang terasa tidak baik-baik saja saat mendengar pengakuannya. Mustahil jika aku cemburu, kan? Bukankah wanita ini terlalu biasa untuk dicemburui? "Dan setelah ini, aku cuma berharap kau mau mempertimbangkan untuk menerimaku setelah lepas dari sepupuku yang nggak guna ini." Najwa diam tak menyahut. Namun, senyuman tipis yang perlahan terbit dari bibirnya, membuatku meradang entah untuk alasan apa. Apakah dia begitu bangga karena ada yang menyatakan cinta dan siap menjadi pengganti saat dirinya masih sah berstatus sebagai istri orang? Istri Irham Dharma Wijaya. Begitu? Sekali lagi, bukankah ini penghinaan besar untukku? Tak ingin Fatih terus mengoceh panjang lebar dan mencederai diriku sebagai suami sah Najwa, aku lantas dengan tegas mengusirnya. Membuat Najwa meradang karena selain mengusirnya, aku juga tak memperkenankannya pergi bersama laki-laki sialan itu. "Kenapa harus menahanku? Bukankah jika aku pergi kau tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin berjumpa dengan Mbak Fira?" Dengan suara bergetar menahan emosi, Najwa menatapku dengan pandangan tajam yang terasa menusuk saat memperolok dan mengungkit tentang tindakanku yang secara tegas melarangnya keluar dari rumah ini. "Jadi, kau bangga jika sampai berhasil kabur dari rumah bersama laki-laki yang bukan mahrammu? Lantas, apa gunanya gamis dan jilbab lebar yang kau kenakan selama ini jika pada akhirnya kau pergi dengan laki-laki yang bukan suamimu malam-malam begini, ha? Apa kau berniat menjadi j*lang sebelum berpisah denganku?!" Plak! Satu t*mparan keras mendarat di pipiku. Ini pertama kalinya dia berani mengangkat tangannya setelah kami resmi menjadi suami istri. Sebelum ini, dia adalah istri yang patuh dan selalu berbakti kepada suaminya. Namun, sekarang? Oh ... apakah dia sudah sangat besar kepala karena ada laki-laki lain yang bukan suaminya, mengaku cinta padanya? "Jaga mulutmu dan tidak perlu menghakimi terlalu jauh jika kau saja seorang p3selingkuh!" Jari telunjuk Najwa sampai bergetar saat menunjuk wajahku usai memberikan satu tamparan luar biasa tadi. "Sebentar lagi, kita bukan siapa-siapa. Jadi kau tak berhak mengatur-ngatur hidupku!" Lagi. Ada yang berkobar di dalam dadaku saat dia kembali mengatakan hal yang sebenarnya sudah aku inginkan sejak lama. Namun, entah kenapa aku tidak begitu menginginkannya sejak malam ini. "Jadi kau benar-benar sedang berbangga hati karena ada laki-laki lain yang menyatakan cinta padamu? Begitu?!" "Bukan urusanmu!" ucapnya t*jam, dengan pandangan nyalang serta napas yang terlihat naik turun saat menatapku. Najwa yang rasanya semakin besar kepala setelah mendengar pengakuan cinta Fatih, benar-benar hampir meninggalkan rumah andai saja aku tak gerak cepat menahannya dan mengunci pintu gerbang secepat kilat. "Apa yang kau inginkan sebenarnya? Aku hanya sedang memberimu kebebasan. Kenapa harus repot-repot menahanku?!" Untuk pertama kalinya, dia menyuarakan protes dengan suara lantang saat aku berhasil kembali mengurungnya dan tak membiarkannya pergi. Setidaknya untuk malam ini. "Kita akan segera bercerai, jadi tolong, jangan membuat semuanya jadi semakin rumit. Tolong, izinkan aku pergi. Izinkan aku menentukan jalan hidup seperti apa setelah lepas dari laki-laki yang tidak pernah bisa memanusiakan istrinya." Amarah dalam d**a semakin memuncak saat kata tak pernah 'memanusiakan istri' meluncur dari bibir wanita satu ini. Bukankah nafkah yang kuberikan selama ini sangat lebih dari cukup? Bagaimana bisa dia menyebutku tak pernah memanusiakan dirinya? Omong kosong macam apa ini? "Kembalilah pada Mbak Fira jika kebahagiaanmu ada padanya. Aku ikhlas, Mas. Aku ikhlas," ucapnya yang entah kenapa sanggup membuatku begitu muak mendengarnya. Najwa tersentak kaget saat aku tiba-tiba menarik p*ksa ransel di punggungnya dan melemparnya ke sembarang arah. "Tutup mulutmu! Kau terlalu banyak bicara malam ini," ucapku sambil menyeringai tajam menatapnya. Najwa menarik langkah mundur saat aku mendekatinya dan membuat jarak diantara kami semakin tak berjarak. "Jangan mendekat!" Mungkin aku sudah benar-benar gila saat menikmati ekspresi ketakutan yang terpancar jelas di wajahnya. "Kenapa? Bukankah kita masih suami istri?" tanyaku sambil tersenyum sinis menatapnya. "Bagaimana kalau kita menghabiskan waktu untuk b******a sepanjang malam ini? Rasanya ... sudah lama kita tidak melakukannya." Najwa menggeleng cepat dengan ekspresi wajah yang masih menyiratkan ketakutan yang teramat sangat. Hei! Apakah aku begitu mengerikan? Bukankah dia sudah menyukaiku sejak lama? "Jangan jual mahal, Najwa. Aku tahu kau telah lama menaruh rasa suka padaku, makanya kau tak menolak saat orang tuamu memintamu menjadi pengantin pengganti tiga tahun yang lalu. Iya, kan?" "Jangan terlalu besar kepala, Irham! Satu yang perlu kau tahu, rasa itu telah lama mati dan alasanku bertahan selama ini hanya karena wasiat ibuku. Kau dengar itu?!" D*rahku mengalir cepat dengan rasa panas yang perlahan naik ke ubun-ubun saat mendengar ucapan Najwa yang aku tak tahu pasti kebenarannya. "Setelah ini, aku ingin kau mengatakan dengan jujur kalau rasa itu masih ada atau tidak." Najwa jelas kaget saat aku menarik paksa jilbab hitamnya dan lantas menatap tubuhnya yang entah kenapa terlihat begitu menggoda malam ini. Ya, bahkan, balutan gamis yang masih melekat tak bisa menghalangi keindahan yang pernah aku lihat sebelum-sebelum ini. "Layani aku sebagai suamimu malam ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD