Lord Cleveland berusaha menghindarinya. Greta tidak memerlukan isyarat lain untuk dapat mengetahui hal itu. Jelas bahwa laki-laki itu berusaha meledek atau menghukumnya dengan cara mengabaikannya. Meskipun Greta sendiri tidak tahu dimana letak kesalahannya, ia tetap tidak bisa menerima sikap sang Earl yang berubah dingin dalam sekejap.
Laki-laki itu tidak lagi tersenyum secara tulus padanya. Selama hampir dua hari terakhir, Cleveland akan menghindari obrolan kecil apapun dengannya. Bahkan saat pesta dansa kecil-kecilan kembali digelar, sang Earl dengan segala pesonanya berusaha mengabaikan Greta alih-alih mengajak Daphne yang berdiri di sampingnya, untuk berputar-putar di atas lantai dansa.
Greta merasakan perutnya melilit saat melihat kedekatan sang Earl pada sahabatnya. Ia tidak pernah merasakan kecemburuan yang begitu besar pada wanita itu, tapi sekarang Cleveland berhasil melakukannya. Greta terus mengawasi mereka bahkan ketika ia sendiri memulai putaran bersama Lord Jeffrey dan William. Mereka laki-laki yang sopan dan menyenangkan, tapi sama sekali tidak menarik perhatian Greta. Pada akhirnya, Greta yang kesal memutuskan untuk meninggalkan pesta lebih awal dari yang seharusnya. Ia merasa bersalah pada Daphne yang sudah antusias merencanakan semua itu, tapi Greta juga tidak bisa tinggal terlalu lama disana dengan suasana hatinya yang begitu kalut. Cleveland tanpaknya juga menyadari kepergian Greta, tapi laki-laki itu sama sekali tidak berusaha menegur ataupun mencegahnya. Cleveland memainkan perannya dengan sangat baik, seolah-olah mereka tidak lebih dari dua orang asing yang baru bertemu di suatu pesta dan bukannya dua orang yang sudah begitu dekat selama beberapa hari terakhir.
Pesta besar yang diselenggarakan Daphne akan dilaksanakan lusa. Setelah pesta itu berakhir, pertemuan akan dibubarkan dan Greta akan mengendarai keretanya pulang kembali ke rumah. Greta tidak pernah merasa segundah itu sebelumnya. Ia pernah gagal, tapi tidak pernah merasa begitu putus asa menghadapi kegagalan dalam rencananya. Greta sadar bahwa ia akan kehabisan waktu dan pada saat momen itu tiba, Greta tidak akan kehilangan kesempatannya – sekali lagi – untuk mendapatkan seorang suami.
Awalnya Greta merasa bingung untuk mengambil langkah selanjutnya, setidaknya sampai surat yang dikirimkan Eloise untuknya, memberitahu Greta bahwa penagih utang itu sudah datang dan sepakat untuk mendapatkan pelunasan utangnya dalam kurun waktu sebulan.
Eloise-nya yang cerdik berhasil mengulur tenggat waktu pelunasan utang-utang itu. Tapi Greta juga tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan seperti itu: menyusun rencana, gagal, kemudian menyusunnya lagi. Greta benar-benar kehabisan waktu dan fakta itu terasa amat mencekik. Rasa bersalah juga menggerogotinya karena pergi meninggalkan saudarinya sendirian untuk menghadapi penagih utang itu. Meskipun Mrs. Gilbert mengatakan bahwa Eloise menanganinya dengan baik, Greta tetap tidak dapat duduk tenang selama utang-utang itu belum dilunaskan.
Mereka tidak hanya akan kehilangan barang-barang berharga tapi juga propertinya – rumah tempat mereka tinggal selama ini, dan ketika hal itu benar-benar terjadi, Greta tidak akan punya tempat lain untuk pergi. Karena itu ia segera bekerja untuk mengirimi James sebuah surat yang meminta agar laki-laki itu bersedia menemui Greta dan membantunya. Greta juga mengirim surat pada pengacara neneknya untuk bertanya apakah ada yang dapat mereka lakukan untuk mempertahankan properti itu sebelum Mr. Breuman merebutnya.
Tidak ada yang menjamin bahwa usaha itu akan membuahkan hasil, namun dalam situasi mendesak seperti itu, Greta bisa melakukan apa saja. Ketidakpastian itu sekaligus membuatnya gelisah sepanjang hari, membuat tidurnya terasa sangat tidak nyenyak dan bahkan membuatnya bangun lebih bangun lebih pagi. Sesekali Greta memutuskan untuk keluar sekitar pukul enam kemudian berjalan menyusuri bukit di sekitar housted hill. Usaha itu dilakukannya hanya untuk menyingkirkan semua kegelisahan yang dirasakannya. Ia tidak ingin orang-orang di sekitarnya menyadari hal itu, jadi Greta akan bergerak setenang mungkin, nyaris tidak mengatakan apa-apa sehingga orang-orang tidak akan banyak bertanya tentang apa yang sedang dialaminya.
Sikap diam dan tertutupnya sempat menarik perhatian Cleveland. Meskipun enggan mendekatinya, Greta mendapati laki-laki itu menatapnya dalam beberapa kesempatan pertemuan mereka. Greta sendiri merasa sedih, kebingungan apakah ia harus mendekati laki-laki itu atau menjauhinya.
Puncak dari kegelisahannya terjadi pada malam pesta besar yang digelar Daphne di housted hill. Malam itu akhirnya tiba, semua orang merasa antusias kecuali Greta. Dan seperti yang sudah direncanakan oleh sang tuan rumah, mereka mengundang beberapa relasi dari kalangan ton termasuk Lord Pryce dan juga Lady Huxley, si pria pengacau dan penyebar gosip nomor satu di penjuru kota. Greta beberapa kali bertemu dengan wanita itu dalam sejumlah pesta yang dihadirinya. Sang Lady bertubuh mungil, berambut pirang, dan memiliki sepasang mata biru yang besar. Kecantikannya tidak diragukan lagi telah memikat banyak pria. Meskipun begitu, mereka yang cukup bijaksana lebih memilih untuk menghindarinya jika tidak ingin terseret dalam masalah. Orang-orang percaya bahwa Lady Huxley adalah penulis berita dalam kolom surat kabar yang menggunakan nama samaran Lord X. Nyaris semua orang mengenal Lord X, meskipun tidak pernah benar-benar bertemu dengannya. Namun semua kolom-kolom yang ditulis oleh Lord X dalam surat kabar telah menguliti skandal beberapa orang di kalangan ton dengan sangat tepat. Yang membuat orang berasumsi bahwa Lady Huxley adalah Lord X adalah bukti bahwa kemunculan setiap rumor yang beredar selalu dikaitkan dengan keberadaan wanita itu. Greta juga percaya kalau Adelaide Huxley adalah orangnya. Dan karena itulah ia segera menyusun rencana.
Sementara itu, para pria berusaha bersenang-senang dengan Lord Pryce dan membuktikan kehebatan mereka di meja taruhan. Sepanjang pesta malam itu, Greta tidak bisa hanya membaur dengan semua orang dan bersikap tenang. Matanya menatap ke sekitar seolah hendak mencari mangsa sementara tubuhnya terus bergerak-gerak dengan gelisah. Ia mengamati Cleveland yang sedang berada di tengah lingkaran kerumunan orang bersama teman-temannya. Laki-laki itu memegang gelas brendinya dengan percaya diri, sesekali tertawa keras saat salah satu temannya bergurau. Sementara Greta nyaris tidak terlihat di tengah-tengah ruangan itu. Ia begitu gusar dengan fakta bahwa malam itu akan menjadi malam terakhirnya menetap di Housted Hill sementara Greta masih belum mendapatkan apa-apa. Ia begitu kesal dengan fakta bahwa Cleveland benar-benar telah mengabaikan Greta selama dua hari terakhir. Ia ingin bertanya apakah laki-laki itu tidak merasakan sesuatu dari kedekatan mereka selama satu minggu terakhir, tapi Greta dengan cepat mengurung niatnya dan malah berdiri diam memandangi gelas anggurnya yang masih terisi penuh.
Daphne di sudut lain berdiri di sebuah lingkaran kecil bersama sekelompok lady. Huxley juga hadir disana. Matanya mengamati Daphne dengan serius saat wanita itu sedang berbicara, seolah sedang mencari sesuatu yang bisa dijadikannya bahan gosip setelah ini. Greta berencana untuk memberi wanita itu satu bahan gosip yang besar nanti.
Pesta nyaris terasa begitu panjang dan tidak pernah berakhir untuk Greta. Sekitar pukul sepuluh, William mengumpulkan para pria di aula untuk memulai permainan kartu mereka. Orang-orang itu membuat kegaduhan disana. Dari ruang tengah, Greta bisa mendengar dentingan gelas keramik dan cairan brendi yang dituangkan ke dalamnya. Kemudian Greta mendengar suara makian berkali-kali dan tawa yang keras disaat yang bersamaan. Para Lady memutar bola matanya, merasa sepemikiran tentang para pria di dalam sana.
“Sampai berapa lama itu akan berlangsung?” tanya Lady Phillipa yang sedari tadi terusik dengan suara bising dari aula. Daphne menanggapinya dengan mengangkat kedua bahu, seolah-olah kebisingan disana bukan sesuatu yang baru untuknya.
“Sampai kapanpun mereka merasa cukup lelah. Kuatkan dirimu, sayang. Hanya malam ini saja mereka akan menginap disini.”
“Kenapa mereka tidak pergi ke pondok?”
“Tidak ada barang-barang yang diperlukan mereka untuk permainan kartu di pondok itu. Semuanya tersimpan di aula dan William berikeras mengatakan kalau mereka akan menggunakan ruangan itu untuk bermain.”
“Yah, kurasa kita memang perlu bersabar,” timpal Lady Sabrina yang menempati bagian sofa paling sudut.
Greta nyaris tidak mengikuti arah percakapan mereka sepanjang malam itu. Benaknya dipenuhi oleh banyak hal, dan kegelisahan tentang apakah rencananya kali ini akan berhasil atau tidak benar-benar membuatnya membeku.
Sekitar pukul satu, Greta masih terjaga, begitupun dengan beberapa lady dan para lord. Namun, pesta sepenuhnya sudah berakhir. Orang-orang bersiap untuk tidur, para pelayan juga sibuk untuk menyiapkan semua kebutuhan para tamu yang hadir disana. Greta sendiri bergerak mondar-mandir dengan gelisah di kamarnya. Ia telah melepas gaunnya, menggantinya dengan sebuah piyama tidur dan menggerai rambutnya . Ketika lilin-lilin dimatikan, Greta mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu aula dibuka, dan beberapa lord keluar dari sana. Cleveland termasuk salah satunya. Laki-laki itu berbicara dengan William, sepertinya hendak meminta sesuatu. William kemudian mengarahkannya ke ruang perpustakaan dimana Cleveland bisa menemukan apapun yang sedang dicarinya. Sementara laki-laki itu berjalan menyusuri lorong menuju perpustakaan, Greta mengamati William pergi ke arah yang berlawanan, mungkin hendak berniat keluar menuju pondok. Di sudut lain, Lady Huxley, Phillipa dan juga Daphne sedang mengobrol di ruang tengah. Mereka berniat untuk mengelilingi setiap ruangan untuk memastikan lilin-lilin sudah dimatikan dan oranng-orang tertidur nyenyak.
Pada saat itu, Greta melihat kesempatan untuk mengendap-endap keluar dari kamarnya. Ia meraih selendang yang pernah diberikan neneknya kemudian menggunakan kain itu menutupi tubuhnya dari piyama tipis yang membuatnya terekspos. Greta berjalan dengan tenang menyusuri lorong. Ia mengikuti pantulan cahaya temaram yang mengarahkahnya ke perpustakaan. Tak jauh darinya, Greta mendengar Lord Jeffrey berusaha menyapa para Lady yang ditemuinya. Daphne mendengus keras ketika laki-laki itu mendekatinya.
“Kau mabuk, Jeffrey!” tuding Daphne dengan ketus.
“Tidak, aku tidak mabuk, hanya sedikit pusing..”
“Jangan mendekati tangga ini atau kau akan terjatuh.”
“Aku tersentuh kau memedulikan keselamatanku, terima kasih.. Aku hanya perlu keluar dari sana..”
“Tidak, Jeffrey! Lord Wellington, bisa bantu aku disini?
Greta mendengar beberapa derap langkah lain yang bergerak mendekat, ia menatap ke arah sumber suara itu sebelum membulatkan tekadnya untuk melanjutkan langkah menuju perpustakaan. Dari ujung lorong, Greta bisa melihat cahaya keemasan berpendar dari sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka. Ketika mendekat, Greta melihat bayangan Cleveland sedang berdiri di depan sebuah rak kayu yang tinggi dan berusaha meraih kotak yang diletakkan disana. Laki-laki itu meletakkan lilinnya di atas meja kemudian begitu mendapatkan kotaknya, Cleveland mengeluarkan sebuah buku bersampul tebal dari dalam sana.
Cleveland sedang mendekatkan buku itu ke arah penerangan dari cahaya lilin di atas meja ketika Greta sampai di ambang pintu. Ia berjalan mendekatinya dengan ragu-ragu kemudian terdiam begitu mendengar laki-laki itu berkata,
“Aku menemukannya. Tapi disini tidak dikatakan..”
Kalimat itu menggantung begitu saja begitu Cleveland menyadari bahwa seseorang yang diajaknya berbicara bukanlah William melainkan Greta. Kini sepasang matanya menatap Greta lurus, laki-laki itu tampak kaget tapi kemudian tatapannya merayap turun, menyusuri piyama tipis yang dikenakannya itu. Cleveland menelan liurnya sebelum kembali menatap Greta. Seolah baru menemukan suaranya, laki-laki itu berkata, “Greta!”
Greta mendekat dan seketika itu juga Cleveland bertanya, “apa yang kau lakukan disini?”
Cahaya keemasan lilin di atas meja menyentuh kulit wajahnya, tiba-tiba membuat Greta meremang. Ia menatap sang Earl untuk waktu yang lama. Greta sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Kedua matanya nyaris basah karena air mata. Ia sudah begitu putus asa hingga mengambil keputusan nekat. Greta tahu bahwa Cleveland mungkin akan membencinya setelah ini, tapi ia benar-benar membutuhkan pernikahan itu secepatnya. Ia membutuhkan bantuan dari sang Earl untuk membebaskan utang-utangnya. Karena itulah Greta memantapkan niatnya. Ia menunggu dan membiarkan laki-laki itu bertanya-tanya sampai ketika Greta mendengar derap langkah beberapa orang yang bergerak mendekati perpustakaan, Greta mempersiapkan dirinya.
Di hadapannya Cleveland tampak panik. Laki-laki itu memedulikan reputasinya karena segera saja Cleveland meminta Greta untuk pergi dari sana sebelum orang-orang melihat mereka bersama-sama.
“Kau seharusnya tidak disini..” bisik Cleveland. “Greta! Greta!”
Suara langkah kaki semakin dekat. Greta bisa mendengar percakapan orang-orang di luar sana. Ia segera mengenali suara itu milik Daphne, Lady Huxley, William, Wellington, dan juga Lady Sabrina. Sembari menelan ketakutannya, Greta mendekati Cleveland, perlahan-lahan menyibak kain selendang dan menurunkan piyamanya. Laki-laki itu tidak menjauh, tapi tubuhnya menegang dan tampak waspada. Kedua matanya kini terpaku pada tubuh Greta yang terekspos dan tiba-tiba wajahnya memerah.
“Greta, apa yang kau lakukan?”
Selagi menahan kesedihannya, Greta menutup jarak di antara mereka sembari berbisik pelan di dekat telinga Cleveland. “Kumohon maafkan aku..”
Greta melingkari lengannya ke seputar pundak Cleveland kemudian berjinjit untuk mencium pria itu. Cleveland sempat terpaku tapi begitu kesadaran menyentaknya, laki-laki itu mendorong tubuh Greta menjauh. Sayangnya usaha itu tidak berhasil. Greta telah mengunci tubuh Cleveland dengan lengannya, menjaga mereka tetap berdekatan persis ketika ia mendengar seseorang terkesiap di ambang pintu.
“Lord Cleveland! Apa yang kau lakukan pada sahabatku?”
Greta mengenali suara itu. Itu adalah suara Daphne yang disampaikan dengan ketus. Pada saat yang bersamaan, Greta melepas tubuhnya dari sang earl. Wajahnya memerah sedangkan nafasnya memburu. Ketika ia memberanikan diri untuk menatap pria itu, Greta melihat kemarahan yang terlukis jelas dalam raut wajah sang Earl. Sementara Greta berusaha menutupi kembali tubuhnya dengan kain selendang, Cleveland menatapnya dengan kedua mata membeliak tidak percaya. Laki-laki itu terlalu marah untuk dapat mengucapkan sesuatu, tapi apa yang sudah terjadi tidak bisa ditarik kembali dan orang-orang itu telah melihat mereka berduaan di dalam sudut ruangan yang gelap, saling mendekap dan berciuman. Ditambah lagi, tubuh Cleveland berbau alkohol, sementara Greta sendiri - semoga Tuhan menolongnya, nyaris tidak mengenakan pakaian apapun di balik piyamanya. Lady Huxley yang berdiri di ambang pintu tampak terguncang, sementara Daphne berusaha menarik Greta menjauhi laki-laki itu dan memeluknya.
“Sial, Cleveland.. apa kau sudah gila?!” William menyerukan kalimat itu dengan marah. Melihat dari cara laki-laki itu memelototi Cleveland dan tampak seperti memusuhinya, membuat Greta merasa bersalah. Namun Cleveland masih diam seribu bahasa, pandangannya berpidah dari William dan Greta kemudain Daphne secara bergiliran. Ia seperti hendak menjelaskan sesuatu, tapi segera mengurung niatannya.
“Sebaiknya kau punya penjelasan yang bagus tentang ini, sialan!” kecam William.
“William, hentikan! Jangan buat keributan!” Daphne memeringati. Dekapannya pada Greta kian mengerat.
Merasa diintimidasi, Cleveland yang tidak bisa membendung amarahnya memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Semua orang yang hadir di dalam sana tampak terguncang, sementara William berusaha mengejarnya, Wellington menatap mereka dan berkata, “maaf.. aku akan berbicara dengannya.”
Greta merasakan air matanya mengalir jatuh di atas wajah seketika itu juga. Segera setelah para pria pergi, para wanita itu mulai mengelilinginya, namun Daphne tidak memberi mereka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada Greta tentang apa yang baru saja terjadi, karena dengan cepat, Daphne membimbing Greta meninggalkan perpustakaan dan membawanya ke kamar - tempat yang tiba-tiba terasa begitu aman untuknya.