Bab 11

3322 Words
Pertemuan rahasianya dengan Greta Summers pagi itu menjadi sesuatu yang terlarang, sekaligus menggairahkan. Semoga Arthur memaafkannya, tapi Sebastian tidak bisa menahan diri untuk menyembunyikan ketertarikan yang dirasakannya terhadap Greta sejak hari pertama mereka bertemu, dan setiap detik setelahnya, bukannya memudar, ketertarikan itu justru terasa semakin mencekik. Kemarin, Greta mengungkapkan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebastian tidak pernah berpikir kalau wanita secantik dan serapuh Greta pernah memiliki seorang ayah pemabuk yang suka menyiksanya. Pada detik itu, Greta mengizinkan Sebastian untuk melihat lebih jauh ke dalam dirinya, dan Sebastian benar-benar melakukannya. Ia melihat sosok yang sepenuhnya berbeda dalam diri Greta. Entah bagaimana Sebastian punya firasat bahwa ada lebih banyak yang disembunyikan Greta dari apa yang disampaikannya. Dan di balik tampang anggun dan rapuhnya itu, Greta adalah sosok wanita yang cukup berani dan kuat. Sebastian bisa mengenali keberanian itu dari caranya berbicara. Entah bagaimana, wanita itu berhasil menguasai pikirannya hanya dalam rentang waktu beberapa hari saja. Ia belum lama mengenal Greta, dan hubungan mereka akan menjadi sesuatu yang terlalu berbahaya dalam situasi ini, tapi – semoga Tuhan menolongnya – Sebastian tidak bisa menahan godaan untuk mengambil langkah lebih jauh. Tindakan itu membuatnya bersemangat, tapi sekaligus khawatir. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya, tetang bagaimana Greta akan bereaksi saat mengetahui kedok penyamarannya. Apakah wanita itu akan bersikap sama setelah mengetahui bahwa Sebastian bukanlah pewaris tunggal gelar Earl of Cleveland? Apakah wanita itu benar-benar tertarik pada sosoknya yang asli – atau identitasnya benar-benar menjadi sebuah masalah besar disana? Well, Sebastian berencana untuk menyelidikinya hari ini. Ia telah merancang rencana pertemuan itu dengan begitu apik. Sebastian hanya perlu menyakinkan William dan teman-temannya kalau ia membutuhkan waktu istirahat seharian setelah kegiatan berburu mereka kemarin. Alasan itu akan mudah diterima mengingat tidak ada rencana khusus yang hendak mereka lakukan sepanjang hari ini. Sebastian bisa menyelinap keluar tanpa ketahuan, dan mengingat sangat jarang pelayan yang mengunjungi istal kecuali pengurus kuda, hal itu akan membuat rencana pertemuannya rahasianya dengan Greta tidak terlalu menarik banyak perhatian. Sebastian bangun lebih pagi dari biasanya. Disaat orang-orang masih tertidur lelap setelah aktifitas berburu yang menguras tenaga, Sebastian terkejut mendapati dirinya begitu bersemangat, nyaris tidak merasa kelelahan sedikitpun. Sekitar pukul delapan, Sebastian sudah menunggu di istal. Ia memberitahu seorang pengurus kuda saat itu kalau ia akan membawa seekor kuda untuk berkeliling kawasan Housted Hill dan tanpa banyak bertanya, pemuda itu segera menyiapkan kuda untuknya. Satu jam kemudian, Sebastian berdiri di belakang pohok oak besar dan melihat sosok anggun dengan gaun satin berwarna biru muncul dari kaki bukit. Ia segera menegakkan tubuhnya dari sandaran saat mendapati sosok itu berjalan dengan tergesa-gesa menghampirinya. Sebastian tidak bisa menahan senyumnya melihat bagaimana ekspresi Greta tampak gelisah. Tidak hanya sekali ia mendapati wanita itu mengedarkan pandangannya ke sekitar seolah-olah hendak memastikan tidak ada seseorang yang membuntuti ataupun mengawasinya berjalan sendirian ke arah bukit di dekat istal untuk menemui seorang pria. “Kau terlambat beberapa menit,” ucap Sebastian saat Greta berjarak tiga langkah jauhnya. “Aku tidak mengerti, kenapa kau harus menemuiku disini?” “Karena aku ingin menikmati pagi yang cerah ini tanpa gangguan, apa itu sebuah permintaan yang terlalu besar untukmu?” Greta memincingkan kedua matanya dengan tidak percaya, dan senyuman Sebastian menjadi semakin lebar. “Kita bisa berjalan-jalan di taman jika memang hanya itu alasanmu untuk bertemu.” “Kau benar. Ada hal lain..” “Apa itu?” Sebastian menunjuk ke seekor kuda yang dibawa bersamanya. “Kau lihat kuda ini? Namanya Hercules, seperti dewa Hercules..” Kerutan di dahi wanita itu semakin dalam. “Baiklah, senang bertemu denganmu Hercules. Lalu apa?” Sebastian mendengus keras. “Aku ingin mengajakmu mengelilingi bukit ini bersama Hercules.” “Apa?” “Kau akan menungganginya.” Kini ekspresi Greta berubah muram. Kedua alis gelapnya bertaut dan Sebastian sudah menebak bahwa wanita itu akan menolaknya. “Aku tidak akan menungganginya, aku sudah menjelasakannya padamu kemarin.. kupikir itu sudah jelas.” “Tentu, aku mengingatnya dengan jelas, itulah mengapa aku disini untuk mengajakmu berkuda. Hanya jika kau memercayaiku, tentu saja.” Ketika wanita itu tidak meresponsnya, Sebastian menujulurkan satu telapak tangannya ke arah Greta. “Maukah kau..?” “Ini tidak akan berhasil. Cleveland, aku sangat takut..” “Tidak bersamaku. Aku akan menjagamu, aku janji. Kumohon..” “Bagaimana jika..” “Ini akan menyenangkan,” potong Sebasrian. Ia mencondongkan tubuhnya untuk menyakinkan wanita itu. Sementara itu Greta berdiri dengan gamang di sana sembari menatap telapak tangan Sebastian dengan ketakutan yang terpancar jelas dalam raut wajahnya. Namun, setelah melewati detik-detik yang mencekam, Greta akhirnya menyambut genggaman tangannya dan membiarkan Sebastian mengangkat tubuhnya naik ke atas pelana. Sebastian melompat setelahnya. Ketakutan yang dialami Greta terpancar dalam cengkraman tangannya yang begitu kuat pada lengan Sebastian. Dengan penuh kesabaran, Sebastian meminta wanita itu untuk meletakkan tangannya di atas tali kekang sementara ia memegang sisi tali yang lain untuk membantu Greta mengendalikannya. Dan ketika Greta sudah merasa cukup siap, Sebastian mengentakkan kaki di atas pelana hingga kuda yang mereka tunggangi itu perlahan bergerak menuruni bukit. Nafas Greta tercekat dan wajahnya memucat karena rasa takut. Sebastian membiarkan wanita itu menyandarkan kepala di pundaknya. Hawa panas dari kulitnya mengirimkan sebuah getaran yang memenangkan ke tubuh wanita itu hingga lambat laun, cengkraman Greta yang begitu erat perlahan mulai mengendur, dan kedua bahunya yang sebelumnya tampak tegang kini merosot dengan lebih rileks. “Begitu.. bagus.. kau melakukannya dengan baik,” bisik Sebastian di telinga Greta. Ia bisa melihat Greta memaksakan senyum yang kaku di wajahnya. Andrenalinnya berpacu kuat, namun seiring dengan berjalannya waktu, wanita itu pada akhirnya dapat mengendurkan ketegangannya dan menikmati perjalanan mereka. “Aku tidak tahu, Cleveland. Kurasa itu bukan aku, tapi kau. Aku hanya duduk disini. Kau mencoba membuatnya seolah-olah aku yang mengendalikan kuda ini, tapi kita sama-sama tahu kalau aku tidak melakukan apa-apa.” Sebastian tertawa. “Ya, tapi bagaimana perasaanmu?” “Tidak seburuk itu..” “Lihat? Satu-satunya cara untuk menaklukan ketakutanmu adalah menghadapinya.” “Mmm..” Angin yang berembus kencang menerbangkan helai rambut Greta hingga menyentuh kulit wajahnya. Dari jarak sedekat itu, Sebastian bisa mencium aroma kulit Greta yang harum. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur, sementara punggung wanita itu menekan dadanya, gaunnya menyapu kakinya. Di bawah perutnya, Sebastian merasakan gairahnya menegang. Ia menelan liurnya dengan susah payah, menahan desakan untuk melingkari lengannya ke seputar pinggul sang lady, menyusuri jarinya di atas kulit lembut wanita itu dan menenggelamkan wajahnya disana. “Kenapa kau melakukan ini?” tanya Greta setelah lama terdiam. Pertanyaan itu sekaligus memecahkan lamunan Sebastian. “Melakukan apa?” “Mengajakku berkuda. Kenapa kau bersikeras untuk melakukannya?” Sebastian mencoba memikirkan penjelasan paling relevan yang tidak hanya bisa diterima oleh wanita itu, tapi juga dirinya. Sejujurnya, Sebastian sendiri tidak yakin tentang mengapa ia bersikeras mengajak wanita itu berkuda. “Agar kau tidak merasa takut lagi.” Greta tersenyum, seolah Sebastian baru saja memberinya tanggapan paling konyol. “Oke, jadi mengapa itu penting bagimu?” “Kau penting bagiku.” Wanita itu terdiam cukup lama. Sebastian berusaha menilai ekspresinya, tapi Greta nyaris tidak menanggapi apa-apa. Malahan, wanita itu duduk diam dengan sepasang mata terpaku ke depan. Genggamannya pada tali kekang kembali mengerat. Kemudian, seolah hendak mengusir ketidaknyaman itu dengan cepat, Greta kembali bertanya. “Siapa yang mengejarimu berkuda?” “Ayahku.” “Kau dekat dengannya?” “Sangat dekat.” “Jadi kau menyayanginya?” “Aku mengaguminya.” “Tampaknya kau bisa melakukan banyak hal yang umumnya tidak bisa dilakukan oleh para bangsawan, bagaimana kau..” “Aku menghabiskan waktuku untuk berlatih,” ucap Sebastian. “Apa kau keberatan jika aku bertanya sesuatu yang lebih pribadi?” Sebastian menundukkan kepalanya. Wajahnya berada begitu dekat hingga ia bisa merasakan kulit Greta di atas kulitnya. “Tentu.” “Apa kau memiliki hubungan dengan seorang wanita sekarang?” Pertanyaan itu membuat Sebastian tersenyum lebar. “Apa pentingnya?” “Aku tidak tahu.. rasanya tidak pantas berada disini bersama pria yang sudah beristri atau..” “Tidak ada wanita manapun,” potong Sebastian. “Apa kau merasa lebih baik sekarang?” “Kuharap kau tidak mengatakan itu hanya untuk menghiburku.” “Tentu saja tidak. Kenapa aku harus berbohong padamu?” “Karena rumor itu mengatakan..” “Rumor? Bukankah kita sudah sepakat kalau tidak ada yang perlu kau khawatirkan tentang semua rumor itu? Memangnya apa yang dikatakan rumor itu tentangku? Bahwa aku seorang hidung belang? Pria beristri yang kejam?” “Ya, salah satunya..” “Ya Tuhan.. tidak satupun dari semua rumor itu yang benar tentangku. Jadi jangan khawatirkan itu, oke?” “Tentu,” Greta menarik nafas panjang dan mengembuskannya. Tindakan itu sekaligus menarik perhatian Sebastian ke arah kulit lembut di seputar dadanya yang sedikit terekspos. “Aku hanya perlu memastikannya.” “Baiklah, kau sudah mendapatkan jawabanmu. Sekarang, giliranku.” “Apa?” “Kau menanyakan sebuah pertanyaan pribadi padaku, maka aku juga berhak menanyakannya padamu.” “Apa yang ingin kau tahu?” Apa kau menyukaiku? Sebastian menelan liurnya, berharap dapat mengucapkan kalimat itu keras-keras, tapi malah bertanya, “Apa aku melanggar batasanku?” Keheningan yang menyelimuti mereka setelahnya membuat Sebastian merasa khawatir. Tidak ada yang terdengar selain suara tapak kaki kuda dan embusan angin. Sejak dulu, Sebastian menyukai ketenangan, tapi entah bagaimana sekarang ia benar-benar berharap mendengar sesuatu dari mulut wanita itu. “Tidak,” ketika jawaban itu keluar dari mulut Greta, Sebastian bisa merasakan ketegangannya mengendur. “Aku sama sekali tidak keberatan.” Ungkapan itu sedikit menenangkan Sebastian. Meskipun ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu, setidaknya ia tahu bahwa Greta juga menyambutnya dengan tangan terbuka. Wanita itu juga menyukainya, hanya saja situasinya tidak tepat, kecuali jika Sebastian dapat meluruskan beberapa hal yang keliru di antara mereka. Karena itulah, selepas berkuda, Sebastian memutuskan untuk tidak segera kembali alih-alih mengajak Greta berjalan-jalan menyusuri danau dan duduk beristirahat di bawah pohon oak besar. Dari sana ia bisa melihat cahaya matahari pagi yang cukup cerah membanjiri permukaan danau yang tenang. Bukit dan pepohonan tinggi membentang di kejauhan. Dahan pepohonan yang rimbun melambai ke arah mereka dalam jarak beratus-ratus meter jauhnya. Pohon-pohon itu menyembunyikan bayangan gelap di atas jalur setapak yang basah, dimana embun-embun yang mencair telah membentuk kubangan air di permukaan tanah. Sementara seekor burung mengepakkan sayapnya dengan bebas dan baru saja terbang melewati mereka. Sebastian tidak bisa mengharapkan pemandangan yang lebih menarik lagi ketimbang perbukitan di sekitar lahan Housted Hill itu. Ia menikmati ketenangannya disana. Kehangatan dari cahaya sinar matahari menyentuh kulit wajahnya dan memberinya gambaran yang lebih menarik akan sosok wanita yang duduk di sampingnya. Selagi menyandarkan tubuhnya di dahan pohon oak dengan rileks, Sebastian nyaris tidak bisa melepas tatapannya dari wanita itu. Sementara Greta sibuk memandangi selembar kain tipis di tangannya kemudian menyerahkan itu pada Sebastian. “Sapu tanganmu..” katanya. “Simpan saja.” Setelah terdiam cukup lama mengamati wanita itu, Sebastian akhirnya menggeser tubuhnya lebih dekat dan mulai mengajukan pertanyaan. “Kenapa kau belum menikah?” Pertanyaan itu sudah ada sejak kali pertama Sebastian mengenal Greta, tapi ia menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya. “Sebut saja aku terlalu keras kepala untuk menerima lamaran seseorang,” aku sang lady. Sebastian nyaris tidak dapat menahan senyumannya. “Kenapa begitu?” “Aku terlalu naif dengan berpikir bahwa aku akan menikah karena cinta.” Kini, kedua alisnya bertaut. Sebastian tidak begitu melibatkan diri dengan persoalan cinta. Ia dibesarkan oleh seorang ayah tunggal dan nyaris tidak mengenal ibunya. Dan karena didikan ayahnya yang tegas, bisa dikatakan kalau Sebastian tidak memahami jenis emosi seperti itu. Ditambah lagi, ia belum pernah bertemu seseorang yang membuatnya merasa demikian, setidaknya sampai hari ketika ia melihat Greta untuk pertama kalinya. Meskipun begitu, Sebastian tidak yakin kalau emosi yang dirasakannya terhadap wanita itu dapat dikatakan sebagai cinta. Ia bukan jenis orang yang tergesa-gesa terhadap hal itu meskipun Sebastian percaya bahwa emosi seperti bisa terjadi padanya kapan saja. “Jadi kau tidak percaya kalau ada pernikahan berdiri atas dasar cinta.” “Tidak, tidak sepenuhnya. Aku mencoba menjadi lebih.. realistis tentang hal itu.” Kini Sebastian tertawa. “Oke, jelaskan padaku soal itu.” “Aku, sebagai wanita tidak memiliki banyak pilihan untuk menentukan nasib hidupku. Tidak seperti kalian, para lelaki, wanita membutuhkan sesuatu lebih dari sekadar cinta untuk dapat bertahan dalam sebuah pernikahan..” “Seperti apa?” “Jaminan kalau kami akan hidup damai tanpa kekurangan apapun.” “Aku mengerti. Jadi tidak ada yang memenuhi kriteria itu sejauh ini?” “Aku bertemu beberapa pria. Mereka cukup mapan dan baik. Dan..” Greta menggigit bibirnya ketika merasa ragu untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Sementara itu, Sebastian dapat membaca dengan jelas dari raut wajah wanita itu tentang apa yang hendak disampaikannya. “Tapi kau tidak mencintai mereka?” tuntas Sebastian dan Greta langsung menatapnya. Wanita itu hendak membantah, tapi kemudian mengurung niatnya. “Itu tidak mudah ketika kau menjadi satu-satunya orang yang bertanggungjawab untuk urusan keluargamu.” Satu alis Sebastian terangkat. “Kupikir kau memiliki kakak laki-laki. James?” Tiba-tiba ekspresi wanita itu berubah muram dan Sebastian khawatir kalau ia sudah menyinggungnya. “James tidak dapat diandalkan. Sejak ayah meninggal, dia pergi meninggalkanku dan Eloise ke London. Dan karena dia sudah menikah sekarang, jadi dia kurasa dia tidak akan kembali untuk mengambil tanggungjawab untuk urusan di rumah.” Sebastian tertegun, tatapannya terpaku pada wanita itu. Kesedihan dalam raut wajah Greta benar-benar membuatnya takut. “Apa dia memberimu kesulitan?” “Tidak, hanya saja.. terkadang rasanya berat untuk menjadi satu-satunya orang yang bertanggungjawab untuk keluargamu ketika kau sendiri masih terlalu muda untuk mengurus hidupmu.” “Kapan dia meninggalkanmu?” “Saat usiaku delapan belas tahun.” “Dan kau hidup sendirian sejak saat itu?” “Aku bersama adikku Eloise, usianya tiga tahun lebih muda dariku. Dulu terasa mudah karena kami masih memiliki nenek, tapi.. sejak nenek meninggal, tidak banyak yang kami miliki.” “Jadi apa yang kau lakukan?” “Aku hanya.. berusaha menikmati hidupku. Aku menghadiri pesta dan dan kegiatan sosial lainnya. Aku berusaha keras menjaga nama keluargaku tetap dikenal di masyarakat, dan aku melakukan apa yang perlu kulakukan sebagai kepala keluarga. Aku mengurus semuanya di rumah.” “Ya, lalu apa rencanamu setelah ini?” “Aku mungkin akan menikahi seseorang, seseorang dengan gelar yang bagus.” Pada saat itu, tubuh Sebastian membeku. Wajahnya memerah dan meskipun sedikit goyah, ia masih menjaga tatapannya tetap tertuju ke arah Greta. “Seseorang dengan gelar? Bagaimana jika situasinya berbeda?” “Apa maksudmu?” “Apa kau akan menikahi orang yang tidak memiliki gelar dan pengakuan apapun di masyarakat?” “Kenapa aku harus menikahinya? Aku tidak mengenal satupun pria yang tidak memiliki gelar atau pengakuan apapun.” “Ya, tapi bagaimana jika suatu saat kau menemuinya?” “Aku tidak tahu, Cleveland. Orangtuaku menginginkanku untuk menikahi seorang lord. Setidaknya itu yang kubutuhkan.” Bagaimana dengan cinta? Sebastian ingin bertanya, tapi tahu bahwa pertanyaan itu akan terdengar sangat tidak relevan di telinga Greta untuk saat ini, karena ia sendiri tidak yakin tentang apa yang dirasakannya terhadap wanita itu: apa yang begitu mendesaknya untuk berada dekat dengan Greta – desakan untuk memilikinya. “Lupakan soal apa yang diinginkan orangtuamu untuk sejenak. Bagaimana dengan apa yang kau inginkan?” “Sebagai wanita, aku tidak dibesarkan untuk mengutamakan apa yang kuinginkan.” “Bayangkan saja aku memberimu kesempatan untuk memperoleh apa yang kau inginkan. Apa yang benar-benar kau inginkan?” Greta menatapnya lurus, seolah sedang berusaha menilai maksud dibalik pertanyaannya. Ada keraguan dalam sepasang mata hazel itu. Sebastian bisa mengartikannya sebagai ketakutan. Greta pasti memiliki sesuatu yang diinginkannya. Entah bagaimana Sebastian mau percaya kalau Greta adalah wanita yang mau memercayai cinta. Namun, entah badai apa yang telah dihadapinya, membuat wanita itu tampak begitu keras. Bahkan ketika Sebastian bisa melihat ketulusan dalam kedua matanya yang polos, Greta justru memberinya jawaban lain. “Aku akan menikahi pria yang memiliki gelar. Itu yang kuinginkan.” “Begitu..” “Mengapa kau mengajukan pertanyaan seperti itu? Bukankah sudah jelas kalau kita memiliki tuntutan untuk menjaga nama keluarga dan gelar kita?” “Tentu saja,” Sebastian menyetujui, tapi ia tidak memiliki hal lain untuk disampaikan. Ia sudah mendapatkan semua jawaban yang diperlukannya, sudah saatnya untuk mengambil tindakan, sekalipun hal itu tidak sesuai kehendaknya. Sebastian menyesali keputusannya untuk bertanya. Lagipula apa ia benar-benar berpikir kalau Greta dapat menoleransi hubungan dengan seorang pria tanpa gelar, ditambah lagi Sebastian secara jelas telah menipu wanita itu dengan identitasnya. Pikirnya, kedekatan yang mereka rasakan saja sudah cukup, tapi Greta jelas jauh lebih rasional menanggapi situasi ini. Ketertarikan saja tidak cukup, itu sudah jelas. Sebastian menelan kekecewaan itu dalam sisa pertemuan mereka. Ia berharap bisa menikmati sisa waktu yang dimilikinya bersama Greta, tapi fakta bahwa wanita itu telah menetapkan keputusannya untuk menikahi seorang pria dengan gelar begitu mematahkan hatinya hingga rasanya sulit sekali untuk berpura-pura. Sementara Greta terus berbicara di sepanjang perjalanan mereka, Sebastian lebih banyak diam. Benaknya dipenuhi oleh banyak hal dan yang paling mendominasi sekarang adalah kekecewaan. “Pertemuan rahasia ini akan terlihat tidak pantas, tapi.. aku senang kau mengajakku keluar,” ungkap Greta dengan wajah bersemi-semi. Sebastian merasa kalut saat melihatnya, ia tidak pernah memikirkan dirinya begitu menginginkan seseorang dan tidak memiliki kesanggupan untuk memilikinya diwaktu yang bersamaan. Rasanya seperti bermain-main dalam mimpinya sendiri meskipun mimpi itu terasa begitu nyata sekarang. “Hmm..” “Dan aku harus berterima kasih padamu karena kau mengajakku berkuda.. kau tidak tahu betapa itu sangat berarti bagiku.” Sebastian diam, lagi-lagi hanya menanggapinya dengan anggukan singkat. Ketika Greta meletakkan satu tangan di atas lengannya, Sebastian langsung menghentikan langkahnya untuk menatap wanita itu. “Aku tidak pernah merasa begitu bahagia seperti sekarang. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku dan aku merasa senang karena kau orangnya..” Sebastian ingin memercayai semua itu. Tentu saja ia akan percaya seandainya Greta tidak mengatakan suatu kebenaran pahit untuknya. Ia jadi bertanya-tanya apakah Greta akan merasakan kebahagiaan yang sama setelah mengetahui kalau Sebastian bukanlah ‘pria dengan gelar’ seperti yang diharapkannya? Boleh jadi wanita itu akan segera menolaknya. Entah bagaimana pemikiran itu membuat Sebastian merasa gusar. Pikirnya Greta adalah wanita yang berbeda dari kebanyakan lady yang pernah dijumpainya. Nyatanya mereka semua sama. Mereka tidak pernah benar-benar menginginkannya, mereka hanya menginginkan statusnya. “Kau tahu apa? Aku juga senang mendengarnya. Dan aku benar-benar tulus melakukannya untukmu,” timpal Sebastian dengan sedikit ketus. Ia tidak memiliki waktu untuk omong kosong itu lagi. Sebaiknya Sebastian pergi sebelum segalanya menjadi semakin jauh dan ia hanya akan mengacaukan rencana penyamarannya. Sembari menundukkan kepala untuk meredam kekesalan yang dirasakannya Sebastian melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Ia bisa merasakan ketegangan hadir di antara mereka ketika Greta tertinggal di belakang. Wanita itu harus mengangkat roknya untuk dapat menyandingi langkahnya yang panjang dan cepat. Sebastian bahkan tidak mau repot-repot memedulikan soal kesopanan lagi. Ia sudah begitu dibutakan oleh amarah dan kekecewaan – suatu sikap yang tidak akan disukai Arthur. “Tunggu, Cleveland!” seru Greta di belakangnya. “Apa semuanya baik-baik saja?” “Tentu, semuanya baik-baik saja.” “Entah mengapa aku merasa kau jadi lebih diam dari biasanya. Apa aku mengatakan sesuatu yang buruk? Aku tidak bermaksud..” “Hentikan!” sela Sebastian sembari memutar tubuhnya untuk menatap langsung ke dalam mata gelap itu. “Apa?” “Aku hanya butuh sedikit ketenangan, jadi jika kau tidak keberatan, aku mau kau berhenti bertanya apa semuanya baik-baik saja. Apakah itu menjadi masalah buatmu?” Ketika Greta tidak merespons, Sebastian melanjutkan. “Aku akan mengambil itu sebagai ‘ya’. Jadi begini rencananya. Aku akan mengantarmu kembali, setelah itu kita bisa beristirahat. Hari sudah mulai sore jadi sebaiknya kita bergegas. Tidak ada ucapan terima kasih atau pertanyaan lagi. Kurasa itu tidak begitu sulit untuk dimengerti, bukan?” Greta menautkan kedua alisnya dan menatapnya dengan kaget. Jelas kalau sikap Sebastian yang berubah dingin mengejutkannya, tapi Sebastian juga tidak ingin memperbaiki apapun saat itu. Ia sudah begitu kalut dan juga kelelahan, hingga dengan putus asa Sebastian melanjutkan langkahnya, bergerak dengan terburu-buru untuk kembali ke housted hill. Greta mungkin akan membencinya setelah ini, tapi biarkan saja wanita itu membencinya. Sebastian hanya perlu melanjutkan penyamarannya dan ia akan segera pergi meninggalkan properti itu tanpa harus berurusan dengan Greta Summers. Seandainya semudah itu.. Sialan, wanita itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD