*****
Esok harinya, di Mansion Blaxton, sebuah kediaman mewah dan megah yang menjadi tempat berkumpulnya seluruh keluarga besar setiap hari. Keluarga Addison pun turut menginap disana selama kunjungan mereka ke Wellington.
Setiap kali keluarga Addison datang ke Wellington, mereka selalu disambut hangat di Mansion Blaxton, tidak pernah dibiarkan menginap di penginapan seperti hotel. Sebaliknya, pintu Mansion Blaxton selalu terbuka lebar untuk mereka, memperlihatkan keramahan dan kedekatan antar-keluarga.
Hal yang sama berlaku ketika keluarga Blaxton berkunjung ke Los Angeles. Mereka pun sering kali menginap di Mansion Addison atau di kediaman Axel dan Clarissa, tergantung pada jadwal dan kebutuhan. Semua ini dilakukan agar kunjungan mereka tetap berjalan lancar dan adil bagi semua pihak yang terlibat.
Saat ini, di teras depan Mansion, seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Janeeta, berdiri dengan menatap sambil fokus pada layar ponsel yang dipegangnya. Dengan cermat, ia mengutak-atik layar canggih tersebut sejenak sebelum akhirnya membawa ponsel dekat ke telinga kanannya, membiarkannya menempel disana.
"Halo, Rio," serunya setelah berhasil terhubung dengan putra pertamanya, Mario.
"Iya, Mom," balas suara dari ujung telepon.
"Sayang, apakah kalian masih lama pulang?" tanya Janeeta dengan penuh kehangatan.
"Sekitar sejam lagi kami akan pulang. Ada apa, Mom?" jawab Mario, lalu bertanya.
"Ah begitu rupanya," gumam Janeeta pelan. "Sebentar lagi adikmu akan tiba di bandara, sayang. Jadi, siapa yang akan menjemputnya?"
“Mungkin lebih baik Mom meminta bantuan Uncle Morgan untuk mengirimkan sopir untuk menjemput Marina. Kalau aku yang pergi, sepertinya tidak akan keburu, Mom. Jaraknya cukup jauh, kasihan kalau Marina harus menunggu lama di sana," ujar Mario memberikan solusi dengan bijak kepada Ibunya.
Janeeta mendesah pelan, "Ah, ya sudahlah, kalau begitu. Akan Mom bicarakan dengan Morgan. Terima kasih, sayang. Sekarang Mom akan menutup teleponnya ya."
"Okay, Mom," jawab Mario sebelum Janeeta menurunkan ponsel dari telinganya. Ia kemudian melihat ke depan dan melirik sebentar saat melihat sosok tampan Willem hendak melintas di depannya.
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak sebelum berjalan ke arah Janeeta. “Aunty, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Terlihat seperti kau sedang memikirkan sesuatu," tebak Willem seraya menatap penasaran pada Janeeta.
Janeeta terdiam sejenak, menatap wajah tampan Willem. Kemudian, dengan senyuman, ia menjawab, “Ah, ya, Nak. Tadi aku baru saja berbicara dengan Mario. Aku kira mereka sudah dalam perjalanan pulang, ternyata belum juga."
Willem mengangguk perlahan. “Ada masalah apa, Aunty?” tanyanya dengan rasa ingin tahu.
“Marina akan segera tiba di bandara, namun belum ada yang menjemputnya di sana. Aku berharap Rio bisa menjemput adiknya, tapi sepertinya tidak memungkinkan,” jawab Janeeta sambil mendesah pelan.
Willem terdiam sejenak, tampak merenung sebelum akhirnya berkata, “Kalau boleh, biarkan aku yang menjemput Marina.”
Janeeta menatap Willem dengan serius, “Apakah ini tidak merepotkanmu, Nak?” tanyanya sambil menunjukkan ekspresi sungkan pada lelaki itu.
Willem menggeleng pelan dan tersenyum simpul, “Tidak sama sekali, Aunty. Aku senang bisa melakukannya,” jawabnya. Bagaimana mungkin ia tidak senang jika orang yang akan ia jemput adalah wanita yang dicintainya, yang sangat dinantikan kehadirannya, dan yang sangat ingin ia lihat wajah cantiknya secara langsung.
Dengan senyum lebar, Janeeta mengucapkan, “Terima kasih, Nak, atas kesediaanmu untuk membantu seperti ini.”
“Tidak masalah, jangan terlalu dipikirkan. Hm, bagaimana kalau aku berangkat sekarang saja? Jam berapa Marina tiba di bandara?” tanya Willem dengan antusias.
Setelah melirik sebentar pada angka jam di layar ponselnya yang menyala, Janeeta beralih menatap Willem. “Setengah jam lagi, Nak,” jawabnya.
“Baiklah,” Willem mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku akan segera pergi. Permisi, Aunty,” ucap Willem dengan sopan sebelum bergerak menuju mobilnya.
Janeeta mengangguk sambil tersenyum, “Sekali lagi, terima kasih, Nak Willem,” ucapnya dengan tulus.
Willem membalas dengan ramah, “Sama-sama, Aunty,” sebelum bergegas menuju mobilnya yang terparkir di depan teras.
Willem segera masuk ke dalam mobil, memasang seatbelt, dan menyalakan mesin kendaraan. Dengan perasaan berdebar, Willem memacu mobilnya melintasi gerbang yang tinggi yang dibuka lebar oleh bodyguard.
Sementara itu, Janeeta merasa lega setelah mobil Willem menghilang dari pandangannya. Ia tersenyum, “Anak itu sangat baik dan sopan. Sayang sekali Marina sudah bertunangan,” gumam Janeeta tanpa sadar.
Janeeta tidak pernah mengetahui bahwa beberapa tahun yang lalu putrinya Marina pernah menjalin hubungan dengan Willem, dan konflik yang terjadi di antara mereka.
Jadi, wajar saja jika Janeeta merasa sedih. Ia merasa menyesal karena putrinya sudah bertunangan dengan putra dari rekan bisnis suaminya. Mungkin, jika tidak ada perjodohan tersebut, Janeeta bisa sedikit berharap putrinya bersama Willem.
Menggelengkan kepala dengan cepat, “Sudahlah. Apa yang aku pikirkan?” pikir Janeeta dalam hatinya. “Putriku akan segera menikah. Lagi pula, Luke tidak kalah baik dan sopan.” Janeeta mendesah pendek, kemudian memutar tubuh dan melangkah masuk ke dalam mansion, menuju ruang keluarga di mana semua orang sedang berkumpul.
***
Saat ini di bandara, Marina turun dari pesawat dan melewati serangkaian prosedur di dalam bandara. Dengan langkah ringan, wanita cantik itu melangkah sambil menyeret koper hitam berukuran sedang dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang ponsel.
Ia mengutak-atik layar canggih yang menyala terang di depan wajahnya. Dengan ibu jarinya, Marina mengusap layar, membuka pesan dari Ibunya, Janeeta.
Dalam pesan singkat tersebut, Janeeta memberitahu Marina bahwa sudah ada yang menjemputnya di bandara, tanpa memberitahu bahwa yang menjemput adalah Willem.
Tanpa curiga sedikit pun, Marina tersenyum anggun setelah membaca pesan dari Ibunya. Kemudian, ia mematikan layar ponsel dan fokus pada langkahnya.
Beberapa menit kemudian, langkah Marina tiba-tiba terhenti ketika matanya terpaku pada sosok tampan yang berdiri bersama orang-orang di tempat tunggu.
Dada Marina berdebar sangat kencang, tubuhnya seketika lemas. Bahkan kedua kakinya seperti jelly, nyaris tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.
“Kenapa dia? Kenapa dia yang datang, kenapa harus dia?” bisik Marina dalam hati, pandangannya masih terpaku pada sosok tampan itu, keduanya saling menatap lekat dalam diam.
Menelan ludah dengan kasar, Marina kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain dan melintasi Willem begitu saja. Berusaha mengabaikan kehadiran lelaki itu disana.
Namun tiba-tiba, “Marina…” tangan lebar sang lelaki sigap menahan lembut tangan kanan Marina, menyebabkan wanita itu terpaksa berhenti dan menengadahkan wajah padanya.
Menatap lekat paras tampan Willem dengan tatapan benci, kecewa dan rindu yang bercampuran, “Lepaskan aku. Jangan sentuh aku,” pinta Marina dengan suara bergetar, kedua matanya memerah.
Tetapi Willem tidak mengindahkan permintaan Marina. Sejenak, ia mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, melihat orang-orang berlalu-lalang tanpa menghiraukan apa yang terjadi di antara mereka berdua.
Willem kemudian beralih menatap Marina, “Aku tahu kamu tidak suka aku yang datang menjemput,” ucapnya.
“Kalau kamu tahu, lantas mengapa kamu datang?” sindir Marina.
“Karena aku ingin melihatmu. Aku sangat merindukanmu,” balas Willem dengan jujur.
Terdiam sejenak dalam tatapan lekatnya pada wajah tampan Willem, kemudian Marina mengalihkan pandangannya. Dia tidak ingin berlama-lama menatap lelaki itu.
Meskipun terlihat sangat benci pada Willem, tidak dapat dipungkiri bahwa hati Marina berdesir ketika pandangan mereka bertemu. Apalagi sosok Willem yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Sekarang, lelaki itu terlihat dewasa dan semakin menawan.
Marina menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. Dia berdecak dalam hati, kesal pada dirinya sendiri mengapa ia justru mengagumi perubahan Willem. Lelaki yang pernah membuat hatinya remuk redam. Lelaki yang paling jahat yang pernah Marina temui seumur hidupnya.
“Tolong lepaskan tanganku,” pinta Marina tanpa melihat pada Willem. Lelaki itu bergeming, tak menunjukkan tanda-tanda akan mengabulkan permintaan Marina, tetap menggenggam tangan wanita itu dengan lembut.
“Lepaskan, Will!” Sentak Marina namun tak berhasil melepaskan tangannya dari cengkraman Willem.
Dalam hati, Willem tersenyum mendengar Marina memanggilnya seperti barusan. ‘Will’ ah, Willem sangat suka mendengarnya. Walaupun sebenarnya itulah panggilan biasa dari orang-orang terdekat untuk dirinya, tetapi jika Marina yang melakukannya, terdengar berbeda di telinganya.
“Ayo, kita ke mobil,” ajak Willem tanpa peduli bahwa Marina menolak untuk ikut dengannya.
“Aku tidak mau. Jangan paksa aku seperti ini. Kalau kamu datang ke sini dengan tujuan menjemputku, maka sekali lagi aku katakan, aku tidak mau ikut denganmu. Aku akan naik taksi saja,” ujar Marina, tetap menolak dengan tegas.
Sejenak, Willem menatap serius Marina, memperhatikan bibir seksi wanita tersebut. Dia ingin menyapa, tetapi sadar bahwa saat ini bukan waktunya.
Willem mendesah pelan setelah menarik pandangan dari Marina, lalu dia berkata, “Aku sudah berjanji pada Ibumu bahwa akan membawamu ke Mansion Blaxton dengan selamat. Jadi, aku mohon, lupakan sebentar rasa bencimu padaku. Biar aku antar kamu dan memastikan kamu sampai di sana dengan selamat,” ucapnya kembali menatap kedua netra indah Marina.
“Tidak perlu. Kalau alasannya hanya karena janji, kamu ikuti saja aku dari belakang. Yang jelas, aku tidak mau berada dalam mobil yang sama dengan kamu. Dan jangan paksa aku!” tegas Marina. Meskipun marah terhadap Willem, suaranya tetap terdengar lembut.
Mengangguk pelan, Willem bertanya, “Kamu ingin aku gendong?” Dia menatap tajam pada Marina.
Wanita itu dengan refleks memundurkan langkah, menciptakan jarak antara dirinya dan Willem. Sedangkan tangannya tetap dalam genggaman tangan lebar sang lelaki.
“Kalau mau, ayo aku gendong. Kalau tidak, ikuti aku ke mobil,” ucap Willem melanjutkan.
“Marina?” Suara seraknya memanggil sang wanita yang tengah menatapnya dalam diam. “Mau di gendong?”
Marina menggeleng pelan sambil menarik pandangannya dari Willem. Lelaki itu mengangguk pelan sebelum mengambil alih koper dari tangan sang wanita.
Kemudian Willem melangkah. Tangan kirinya menggenggam lembut tangan kanan Marina, sementara tangan yang lain menyeret koper. Mereka berjalan menuju mobil di tempat parkir.
Marina merasa terjebak dalam situasi ini, tanpa banyak pilihan selain mengikuti langkah Willem. Meskipun ada keraguan di benaknya, namun ia tidak mampu menolak dengan tegas.
‘Kamu sangat cantik, Marina. Semakin bertambah usiamu, kamu semakin menarik, membuat aku... semakin gila,’ batin Willem, matanya penuh kagum saat menatap Marina.
“Tolong, jangan menatapku seperti itu,” ucap Marina pelan, menyadari betapa intensnya pandangan Willem.
“Kamu sangat cantik, sulit membuatku berhenti memandangi wajahmu,” balas Willem sambil membuka pintu mobil untuk Marina. Marina menatap dalam diam.
“Silakan masuk, sayang,” ucap Willem sambil tersenyum hangat. Marina menatapnya sejenak sebelum akhirnya memilih duduk dengan tenang di kursi mobil.
*****