*****
Dengan terpaksa, Marina akhirnya menyerah dan ikut bersama Willem. Lelaki itu terus mengancam akan menggendongnya, namun Marina berusaha untuk tidak menarik perhatian orang-orang di sekeliling.
Akhirnya, Marina dengan patuh masuk ke dalam mobil Willem ketika lelaki itu membukakan pintu untuknya. Mereka pun meninggalkan bandara menuju Mansion Blaxton.
Tak lama setelah itu, ponsel Marina tiba-tiba berdering. Panggilan tersebut dari Ibunya, Janeeta.
Marina sejenak melirik Willem, yang fokus pada jalan di depan. Kemudian dengan suara lembut, Marina menjawab panggilan dari Janeeta, "Ya, Halo Mom."
"Sayang, apakah kamu sudah meninggalkan bandara? Lalu sudah dimana sekarang?" tanya Janeeta di ujung telepon.
"Aku dalam perjalanan menuju Mansion Blaxton, Mom," jawab Marina.
"Sama Willem kan, Nak?" Janeeta memastikan.
Marina melirik sebentar pada Willem, yang terlihat acuh. "Iya," jawabnya.
"Syukurlah. Tadi rencananya yang akan menjemput kamu adalah Rio, tapi dia dan Axel sedang pergi bersama istri dan anak-anak mereka. Katanya akan terlambat, makanya Mom meminta bantuan Willem untuk menjemput kamu," terang Janeeta panjang lebar menjelaskan pada putrinya.
Marina menghela napas, "Seharusnya Mom tidak usah repot minta bantuan orang lain. Kalau nggak ada yang bisa menjemput aku, aku bisa naik taksi, Mom. Wellington bukan tempat yang baru bagiku," ujarnya dengan rasa keberatan. Willem melirik sebentar, kebetulan Marina juga melihat ke arah yang sama sehingga lirikan mereka bertemu. Marina segera fokus ke arah lain.
"Ya sudah, lain kali tidak seperti itu lagi. Mommy tunggu ya, Nak. Kalian hati-hati di jalan," ucap Janeeta penuh perhatian.
Tersenyum simpul mendengar perhatian sang Ibu, Marina membalas, "Ya, Mom," sebelum kemudian menjauhkan ponsel dari telinga dan menyudahi panggilan telepon dengan sang Ibu. Marina menatap sejenak layar perangkat canggih tersebut sebelum mematikan layarnya dan menyimpannya ke dalam tas branded miliknya.
Marina menghela napas pelan, kemudian mengangkat wajah. Ia mengerutkan kening sambil melirik pada Willem ketika lelaki itu menepikan kendaraan.
"Ada apa? Kenapa kamu berhenti?" tanya Marina sambil menatap datar pada Willem.
Willem kemudian memiringkan wajah ke samping kanan, menatap serius pada Marina. Sejenak sorot matanya terpaku pada wajah cantik sang wanita. "Aku minta maaf," ucapnya. Suaranya terdengar tulus. Marina menyadari, namun berusaha menyangkal. Dia menepis segala yang dia rasakan tentang lelaki itu.
Marina menarik pandangan dari Willem. Dia menunduk sejenak sebelum kembali mengangkat pandangan, lurus ke depan, "Sudah kumaafkan. Jadi aku rasa tidak perlu dibahas lagi yang sudah berlalu," suaranya terdengar tenang, namun hatinya terasa getir. Marina ingin menangis namun berusaha menahannya.
Dengan tatapan lekat, Willem menelan ludah dengan kasar, sekedar melembabkan tenggorokan yang terasa kering. Ia mencoba memberanikan diri membawa sebelah tangan ke arah Marina, hendak meraih tangan wanita tersebut. Namun, Marina dengan sigap menghindar.
“Aku sangat menyesal, Marina,” ucap Willem. Suaranya terdengar parau, mencerminkan penyesalan yang teramat sangat.
Marina membalas, “Semuanya sudah terjadi, lalu apa gunanya kamu menyesal?” setelah beralih menatap lelaki tersebut.
Menghembus napas kasar, Marina melanjutkan, “Permintaan maaf melalui surat yang kamu kirim, aku sudah memaafkan dan … melupakan semuanya. Jadi, aku mohon, hargai keputusanku. Aku tidak ingin membahas hal ini lagi, Will.”
Willem terdiam dan menatap lekat wajah cantik Marina.
“Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing, tidak pantas lagi kita membahas masa lalu. Bagiku, semua itu hanyalah kenangan buruk yang tidak layak untuk diingatkan lagi,” tambah Marina.
Deg!
Willem tertegun. Ucapan Marina layaknya sebuah tamparan keras yang menghantam wajahnya.
“Bertahun-tahun aku menghindari pertemuan di antara kita bukan karena aku benci padamu. Tetapi aku hanya berusaha melupakan semuanya. Dan kamu tahu? Berada di titik sekarang tidak mudah bagiku. Mungkin menurut kamu bukan apa-apa, tetapi tidak dengan aku,” ujar Marina dengan suara pelan di akhir kalimat.
“Kamu salah jika menilai ku seperti itu,” tangkas Willem. “Aku sangat mengerti bagaimana usahamu melupakan semuanya, melupakan aku dan yang pernah terjadi pada kita. Bukan berarti aku tidak menghargai keputusanmu, hanya saja…” Memberi jeda sebentar, Willem menarik pandangan dari Marina dan menatap lurus ke arah depan.
“Aku tidak pernah bisa benar-benar melupakanmu. Kamu ingin melupakan semuanya, tapi tidak dengan aku. Aku tidak bisa. Aku justru mengenangnya. Aku memikirkanmu setiap malam, tidak pernah terlewatkan satu malam pun,” sambung Willem, melirik sebentar pada Marina.
Wanita tersebut menggelengkan kepala, tak habis pikir terhadap lelaki itu. Semua kata yang diucapkan membuat hati Marina bergetar.
Tidak, Marina tidak mau mendengar semua itu. Dia tidak mau terlena, apapun alasannya. Kemudian dengan gesit, Marina mengambil headset di dalam tas brandednya. Dipasangkannya benda tersebut pada kedua telinganya; ia menyalakan musik.
Dengan begini, dia tidak akan mendengar apa yang diucapkan oleh Willem. Terserah lelaki itu mau bicara apa, Marina tidak peduli.
Willem memperhatikan sejenak. Dalam hatinya, ia mengulum senyum, ‘Kalau memang benar kau telah melupakan aku, kau tidak akan keberatan mendengar apapun yang akan aku ucapkan,’ bisiknya dalam hati.
Kemudian, detik berikutnya Willem kembali memacu kendaraannya, melanjutkan perjalanan menuju Mansion Blaxton. Selama perjalanan, suasana hening mengisi waktu di antara mereka.
Willem fokus menyetir, memperhatikan jalan yang terbentang luas di depannya, sementara Marina menatap kosong keluar jendela sambil mendengarkan musik.
Tak berapa lama, Willem dan Marina tiba di Mansion Blaxton. Wanita cantik keturunan Addison tersebut disambut hangat oleh seluruh keluarga besar, termasuk Roberto.
Careen, wanita yang merupakan Ibu kandung Willem, mencium dan memeluk erat Marina, menyatakan perasaan rindu yang amat sangat terhadap wanita tersebut.
Mereka sudah cukup lama tidak bertemu, Marina juga jarang berkomunikasi dengan Careen. Padahal dulu mereka sangat dekat sebelum hubungan Marina dan Willem terakhir.
Mereka pun berbincang-bincang di ruang keluarga. Sementara Willem langsung pergi usai mengantar Marina. Lelaki itu sengaja menghindar karena tidak ingin membuat Marina tidak nyaman di tengah-tengah keluarganya.
Dan benar saja, setelah Willem pergi, Marina terlihat berbeda. Dia tampak lebih ceria, terutama saat mengobrol dengan Careen dan Helena, adiknya Willem.
Di sela-sela obrolan mereka, Careen mengajak Marina untuk menginap di Mansion Roberto. Katanya, sekadar melepas rindu karena dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika Marina diasingkan dari Los Angeles ke Wellington karena suatu permasalahan, wanita itu tinggal di kediaman Roberto, yang mengakibatkan hubungannya dengan Willem kian dekat sehingga mereka memutuskan untuk menjalin hubungan serius.
Saat ditanya oleh Careen apakah dia mau menginap di sana walau semalam saja, tak ayal membuat Marina gelagapan. Dia ingin menolak namun tidak enak. Sehingga dengan terpaksa, Marina menyanggupi, tetapi tidak malam ini. Mungkin besok setelah perayaan ulang tahun sang keponakan.
Sebelum Marina pulang ke Los Angeles, dia akan memenuhi permintaan wanita paruh baya itu untuk menginap di kediamannya untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
***
Beberapa jam kemudian...
Saat ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Orang-orang sedang menyantap hidangan makan malam di meja makan.
Di meja makan tersebut juga ada Marina, Willem, dan Clarissa. Wanita beranak tiga itu sesekali melirik pada sepupunya Willem dan sang adik ipar Marina bergantian.
Sejak tadi, Clarissa menangkap gestur tubuh Marina yang tampak tidak nyaman. Tanpa perlu Clarissa bertanya apa alasannya, tentu dia tahu bahwa Marina merasa tidak nyaman karena kehadiran Willem di sana.
Hanya Clarissa yang mengerti, sebab hanya dia satu-satunya orang yang mengetahui rahasia di antara pasangan mantan kekasih itu.
Setelah beberapa menit berlalu, Willem tampaknya sudah selesai. Lelaki tampan itu meraih serbet khusus dan membawanya menuju bibir, mengelap sisa makanan yang terdapat di area bibir.
Willem minum air lalu setelahnya dia berdiri dari duduknya. Sebelum meninggalkan meja makan bersama Lucas dan Aland, ia pamit kepada para orang tua.
Willem melenggang pergi menjauhi meja makan, sedangkan Marina sejenak menatap lekat punggung lebar pria itu dengan perasaan berdebar.
‘Kamu mikir apa, Marina? Astaga,’ jerit Marina dalam hati karena tanpa disadarinya dia mengagumi sosok tampan penerus Roberto itu. ‘Ingat, dia hanya masa lalu. Dia pernah campakkan kamu. Dan kamu sudah punya Luke. Jangan coba-coba berpikir untuk bermain api!’ Lanjutnya seraya mengingatkan diri supaya jangan sampai tergoda oleh mantan kekasihnya itu.
Biasanya pria yang tergoda dengan mantannya. Ini justru kebalikannya. Marina susah mengalihkan perhatiannya dari sosok tampan itu. Masih ingat, dulu dia sangat tergila-gila pada Willem. Pun dengan lelaki itu yang tidak bisa berpaling dari dirinya.
“Kamu sudah selesai?” Tanya Clarissa pada Marina, menatap wanita itu berdiri dari bangku.
Mengangguk pelan, “Sudah. Aku ke toilet sebentar,” jawab Marina.
Clarissa membalas dengan anggukan kepala, “Kalau sudah selesai, nanti langsung ke gazebo saja. Kita bersantai disana sebentar sebelum istirahat,” ujar Clarissa.
“Oke,” sahut Marina seraya melempar senyum pada sang kakak ipar sebelum menjauh dari meja makan menuju toilet.
Beberapa saat berlalu, Marina berbelok ke arah kiri ke lorong yang sepi. Kemudian ia masuk ke toilet dan hendak menuju wastafel.
“Kamu?” Marina terkejut melihat kehadiran Willem di dalam toilet yang sama. Pun dengan Willem, juga terkejut namun ekspresi wajahnya tampak biasa saja.
“Kamu sedang apa disini?” Tanya Marina dengan suara lirih, menatap Willem dengan d**a berdebar kencang.
“Buang air,” jawab Willem dengan jujur.
Marina terdiam sejenak. Ia tidak ingin berurusan dengan lelaki itu, maka dengan sigap Marina memutar tubuh hendak keluar dari toilet.
Di sisi lain, Willem tak kalah gesit menghalangi Marina. Menarik pinggang ramping sang wanita, kemudian melingkarkan lengan kekar, ia memeluk erat. Sebelah tangan yang bebas ia gunakan untuk mengunci pintu toilet.
Marina terkejut oleh aksi tiba-tiba Willem. “Apa yang kamu lakukan?” Menengadahkan wajah pada lelaki itu, “Lepaskan aku, Willem,” pintanya. Willem mengulum senyum simpul. Dia sangat rindu dengan suara halus wanita ini.
“Kita bicara sebentar. Di sini,” ucap Willem dengan suara berbisik serak di depan wajah Marina. Wanita itu semakin gugup. Permukaan wajahnya terlihat memerah.
Marina menggeleng pelan, “Aku tidak mau. Ini toilet, Willem. Bagaimana kalau ada orang datang ke sini? Lalu melihat kita berdua di sini?”
“Toilet ada banyak. Mereka bisa masuk ke toilet lain,” balas Willem sebelum kemudian mengangkat tubuh ramping Marina dengan mudahnya ke pinggir wastafel, membiarkan wanita itu duduk di sana.
Marina hampir memekik karena kaget. Dia menutup mulut dengan sebelah tangan, sedangkan tangan yang sebelah digunakan untuk mencengkram bahu kekar sang lelaki.
Sejenak, keduanya saling berpandangan dalam diam. Marina dengan perasaan berdesir, sedangkan Willem dengan tatapan kagum melihat wajah cantik itu begitu dekat.
“Aku mau keluar,” ucap Marina setelah menarik pandangan dari tatapan penuh cinta Willem. Dia hendak turun dari atas wastafel, tetapi tangan lebar Willem sigap menahan pergerakannya, lalu kedua tangan lelaki itu menangkup wajahnya.
“Sebentar saja. Please,” mohon Willem dengan suara serak.
“Will, ini di toilet. Kamu jangan nekat. Kalau kakak-kakakku sampai melihat kita di sini, bagaimana?” ucap Marina dengan ekspresi penuh kecemasan.
“Kalau kita bicara di luar, apakah kau bersedia? Kita pergi sebentar, cari tempat yang nyaman untuk bicara. Aku akan minta izin pada orang tuamu,” ucap Willem, mencoba meyakinkan Marina.
Marina menggeleng kepala. “Tidak. Maaf, aku tidak bisa. Sudahlah, Will. Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah selesai,” ucapnya tegas.
“Tapi aku belum selesai. Aku mencintaimu, kau tahu? Aku tidak menikah sampai saat ini karena aku tidak bisa melupakanmu,” balas Willem dengan tulus.
Marina semakin gugup. Dadanya berdebar sangat kencang. “Padahal kamu sendiri yang mencampakkanku,” liriknya.
“Maaf,” gumam Willem sambil menatap dalam pada kedua mata Marina dengan tatapan bersalah.
Terdiam sejenak, Marina kemudian menghela napas. “Sudah kumaafkan. Tapi tolong, jangan seperti ini, Will. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku yang sekarang. Dan aku yakin, kamu juga pasti bisa bahagia. Kamu hanya belum mencobanya,” ucapnya.
Willem terdiam dan terus memandang penuh cinta wajah cantik Marina. Tatapannya sangat lekat sehingga Marina tidak tahan terus bertatapan dengannya. Wanita itu segera mengalihkan pandangan.
“Katakan kalau kau tidak mencintaiku,” pinta Willem dengan sengaja menantang. Marina sontak mengalihkan pandangan padanya, lalu detik berikutnya wanita itu kembali menundukkan wajah.
“Aku tidak mencintaimu lagi,” kata Marina, namun dengan wajah tertunduk. Kemudian Marina hendak turun dari wastafel, tetapi Willem sigap menghalangi. Menahan tubuhnya agar tetap duduk di atas wastafel.
“Katakan sambil tatap mataku baru aku percaya,” desak Willem. Marina menatapnya dalam diam dengan kedua mata berkaca-kaca.
Melihat wanita itu terdiam, Willem menangkup wajah cantiknya dengan kedua tangan lebar. “Berhentilah berbohong, karena aku yakin kalau … kita memiliki perasaan yang masih sama kuatnya,” bisik Willem sebelum memiringkan wajah lalu dengan berani mengulum bibir kenyal Marina.
“Hhmmppttt...”
Marina sentak dengan refleks namun tetap menutup kedua mata. Tubuhnya membeku ketika merasakan sentuhan lembut lelaki itu setelah enam tahun berlalu.
Meskipun Marina tidak membalas ciuman bibirnya, Willem tetap bersemangat. Dengan lembut ia menghisap dan melumat bibir manis sang wanita.
Tok! Tok! Tok!
Deg!
***