Keutamaan Salat
Selain sebagai penghapus dosa, salat juga mengandung rahmat, kelembutan, dan kemurahan Allah SWT.
Suatu hari, di musim dingin, Rasulullah SAW keluar dari rumah dan mengambil ranting sebatang pohon sehingga daun-daunnya berguguran. Rasul memanggil Abu Dzar, sahabat, yang menyertai beliau.
“Labbaik, ya Rasulullah,” jawab Abu Dzar.
“Sesungguhnya seorang muslim, jika menunaikan salat dengan ikhlas karena Allah, dosa-dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun ini dari pohonnya,” sabda Rasulullah SAW.
Dalam hadis yang lain, Abu Hurairah berkata, ”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian jika di depan rumah kalian ada sebuah sungai yang mengalir dan kalian mandi di dalamnya lima kali sehari? Apakah akan tersisa kotoran di tubuh kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak akan tersisa kotoran di tubuh kami sedikit pun.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Begitulah perumpamaan salat lima waktu. Allah akan menghapuskan dosa-dosa kita’.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Selain sebagai jalan penghapusan dosa, salat juga mengandung rahmat, kemurahan, dan kelembutan Allah SWT yang berlimpah. Hanya karena kebodohan kita sendirilah kita tidak memanfaatkan salah satu dari kemurahan Allah itu. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Seseorang yang ketika hendak tidur berniat melaksanakan salat Tahajud tapi kemudian tertidur, dia mendapatkan pahala salat Tahajud.”
Karena kandungan rahmat Allah SWT yang begitu besar, jika mengalami kesulitan Rasulullah SAW segera melaksanakan salat (HR Ahmad dan Abu Dawud). Maka, jika seseorang bersegera mengerjakan salat ketika mengalami kesusahan, sesungguhnya dia sedang menuju rahmat Allah SWT. Jika rahmat Allah datang dan membantu, kesusahan apa lagi yang tersisa?
Kisah keutamaan salat juga terungkap dalam cerita Ummu Kultsum. Suatu hari Abdurahman, anaknya, menderita sakit parah, sehingga semua orang khawatir ia akan segera meninggal. Maka Ummu Kultsum pun melaksanakan salat. Segera setelah itu Abdurrahman sadar kembali, lalu bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya.
“Apakah keadaan saya menunjukkan seolah-olah telah meninggal?
“Ya!” jawab mereka.
Dalam hadis lain, Abdullah bin Salam berkata, apabila keluarga Rasulullah SAW sedang tertimpa kesusahan, beliau memerintahkan melaksanakan salat sambil membaca ayat 132 surah Thaha: Wamru ahlaka bishshalati wash thabir ‘alaiha, la nasaluka rizqan, nahnu narzuquka. Wal ‘aqibatu littaqwa (Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah. Kami tidak minta rezeki kepadamu, bahkan Kami-lah yang memberi rezeki. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa).
Sementara, menurut Asma binti Abubakar, kakak Aisyah, istri Rasul, Rasulullah SAW bersabda, ”Pada hari kiamat seluruh manusia akan dikumpulkan di satu tempat, dan suara yang diumumkan oleh malaikat didengar oleh seluruh manusia. Ketika itu diumumkan, di manakah orang-orang yang selalu memuji Allah dalam setiap keadaan, baik ketika senang maupun susah?
Mendengar seruan itu, sebuah rombongan manusia berdiri lalu masuk ke dalam surga tanpa hisab. Kemudian diumumkan lagi, “Di manakah orang-orang yang menghabiskan waktu malamnya dengan beribadah dan lambung mereka jauh dari tempat tidur?” Maka sebuah rombongan berdiri lalu masuk surga tanpa hisab. Lalu terdengar seruan berikutnya, ”Di manakah orang-orang yang dalam perniagaannya tidak melalaikan mengingat Allah?” Maka sebuah rombongan berdiri dan masuk surga tanpa hisab.
Tidakkah kita ingin menjadi anggota rombongan yang masuk surga tanpa hisab? Untuk bisa menjadi anggota rombongan yang bisa langsung masuk ke surga tanpa hisab, kita harus menyempurnakan salat. Bukan sekadar menunaikan salat sebagai kewajiban, tapi berusaha meraih puncak-puncak kenikmatan cinta dan rahmat Allah SWT, sehingga mendapat limpahan taufik dan karunia-Nya. AST
Hikmah
Berperilaku Jujur
Oleh: Aji Setiawan
Berperilaku jujur terkadang sangat pahit pada awalnya, tetapi percayalah, buah manis akan kita dapat di akhirnya. Perilaku tidak jujur hanya dapat menghindarkan kita dari masalah secara sementara, bukan untuk menghilangkannya, bahkan akan menambah rumit masalah tersebut.
Sekali kita bersikap tidak jujur, maka suatu saat kita akan berada lagi dalam kondisi untuk menambah ketidak jujuran untuk menutupi ketidak jujuran yang dilakukan sebelumnya.
Ada beberapa hikmah perilaku jujur yang dapat kita petik antara lain sebagai berikut perasaan nyaman dan hati tenang, jujur akan membuat kita menjadi tenang, nyaman, tidak takut akan diketahui kebohongannya karena memang tidak berbohong.
Kehidupan yang semakin keras dan penuh persaingan, telah membawa kepada sikap pragmatis dengan menanggalkan kejujuran dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemewahan dan kesenangan materi. Di kalangan masyarakat terdapat sebuah pandangan yang mengatakan kalau orang berperilaku jujur dan lurus maka dia akan dijauhi, tidak disukai, dan hidupnya susah.
Paradigma semacam ini harus dihilangkan. Kejujuran seakan sudah menjadi barang mahal di zaman kita sekarang. Banyak orang begitu mudahnya berbohong, tanpa merasa bahwa akan ada konsekuensi yang jelas merugikan dirinya sendiri dan orang lain dari kebohongan yang dilakukannya. Jika kita mengikuti kabar berita baik media cetak maupun elektronik setiap harinya, kita akan mendapati begitu banyaknya tindak pidana korupsi yang tidak pernah selesai di negeri ini, hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai kejujuran semakin menipis di tengah masyarakat Indonesia.
Allah SWT berfirman dalam surah at-Taubah ayat 119 yang bunyinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwa-lah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur”.
Suatu perintah yang sangat indah. Yang tentu saja akan membuat kita selalu dalam kebaikan. Sungguh, kejujuran adalah sesuatu yang akan berbuah dengan berbagai kebaikan.
Rasulullah SAW juga bersabda,”Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada syurga. Dan seseorang senantiasa jujur, maka di-catat disisi Allah sebagai seorang yang jujur. Sementara kebohongan akan mengantarkan ke-pada kedurhakaan, dan kedurhakaan mengantar-kan kepada neraka. Seseorang yang senantiasa berbohong sampai dicatat baginya sebagai seorang pembohong”. (HR Bukhari dan Muslim).
Seseorang yang senantiasa berbohong bisa menjadi pembohong karena ia akan melakukan kebohongan lanjutan untuk menutupi kebohongan yang disampaikan sebelumnya. Sedangkan se-orang yang jujur, justru akan merasakan ketenangan dalam jiwanya. Tidak ada sedikit pun keraguan karena adanya pertolongan Allah.
Kejujuran akan memberikan pengaruh positif yang sangat banyak dalam hidup kita. Oleh karenanya, sebagai seorang yang beriman, hendaklah kita menjaga sifat jujur ini.
Bangsa Indonesia adalah bangsa panutan. Rakyat selalu melihat ke atas. Kalau para pemimpinnya jujur dan taat, maka rakyatnya akan meniru mereka. Sebaliknya, kalau tidak jujur, maka rakyat akan menjadi tidak jujur dan kehilangan panutan.
Akibatnya, rakyat meneladani yang mereka lihat di televisi dan di lingkungannya. Inilah yang dialami bangsa Indonesia. Maka untuk memperbaiki dan menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia, sudah saatnya para pemimpin di semua tingkatan, para birokrat/pegawai, dan pejabat negara, haruslah mencontoh dan meneladani kejujuran Nabi Muhammad SAW dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.
Kebohongan tidak jarang membuat campur-aduknya antara yang hak (kebenaran) dan yang bathil. Sesuatu yang bathil bisa tampak seolah sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase. Mungkin memang sulit, tapi harus kita lakukan agar hidup kita menjadi berkah baik di dunia maupun di akhirat. Kita juga harus menyadari dan mengetahui akibat dari kebohongan sehingga kita bisa menjauhi sifat buruk tersebut.
Firman Allah: “Ketahuilah, laknat Allah atas orang-orang yang dusta.” (QS Ali Imran: 61).
Rasulullah SAW mengingatkan: “Berkata benar membawa ketenteraman, sedangkan berbohong menimbulkan ketidak-tenangan.”
Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti membohongi diri sendiri atau orang lain. Kejujuran bukan sekadar slogan dan retorika, tapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Kalau hal itu dilakukan, maka rakyat akan mencontoh kepada para pemimpin dan inilah awal munculnya pemerintah yang bersih. Pemerintah yang bersih merupakan syarat mutlak terciptanya masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan Indonesia merdeka.(***)
Agama Moderat
Oleh : Aji Setiawan
Islam merupakan agama yang moderat atau wasatihyah. Al-Qur’an sendiri menekankan umat Islam agar tidak hanya mengedepankan simbol dan status legal-formal, melainkan kualitasnya, yakni moderat, berwibawa, dan mengusai segala bidang. Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insan-insan yang mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan sempurna pula.
Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW. “Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,” (QS. Al-anbiya’ :lO7.
Bahwa tidak semua orang mampu bersikap moderat. Sebab, dibutuhkan kecerdasan dan dukungan ilmu pengetahuan agar seseorang bersikap moderat. Tanpa ilmu, siapa pun tidak akan bisa bersikap moderat.Tanpa ilmu pengetahuan tidak mungkin bersikap wasathiyah atau sebaliknya, yang tidak bersikap wasathiyah berarti masih belum memahami agama Islam dengan benar, dengan baik.
Sikap moderat yang digambarkan Al-Qur’an pada penggalan ayat 256 Surat Al-Baqarah yang berbunyi “la ikraha fi al-din”, yakni tidak ada paksaan dalam beragama.
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah adanya seorang sahabat yang memaksa anaknya untuk memeluk agama Islam. Bahkan, sahabat tersebut mengancam akan membunuh anaknya jika tidak mengikuti kemauannya untuk masuk Islam.Ini bukti jelas bahwa Islam agama yang sangat wasathiyah, sangat moderat.
Nabi Muhammad SAW juga mempraktikkan langsung sikap moderat. Nabi membuat dan menghormati perjanjian dengan non-Muslim, menjalin hubungan baik dengan Gubernur Mesir Maqauqis. Nabi juga menghargai keberadaan suku-suku Yahudi (Bani Nadhir, Quraizhah, dan Qainuqa). Mereka diperlakukan dan diberikan fasilitas yang sama baik dengan umat Muslim, di samping diberikan hak dan kewajibannya. Tidak ada perbedaan padanya karena mereka juga satu umat.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah” penuh sikap kemoderatan agama Islam, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah).
Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin).
Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut. Itu artinya Nabi Muhammad menjalankan sistem citizenship, sistem kewarganegaraan yang satu visi misi, satu cita-cita, Muslim dan non-Muslim di negeri Madinah tersebut.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyarakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmuran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhammad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).(***)
BIOGRAFI PENULIS
Aji Setiawan,ST lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia.
Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, Anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.
Memutuskan diri menjadi kontributor banyak media dari tahun 2009. Mulai dari Majalah alKisah, Majalah Risalah NU, Tabloid Media Ummat (www.mediaummat.co.id), Majalah Sufi (www.sufinews.co.id), NU Online h***:://www.nu.or.id , Berita9Online www.berita9online.com, mediasantri (www.santrinews.com), islampos (www.islampos.com), Suraupos (www.suraupos.com), muslimmedia (www.muslimmedia.or.id), Islam Garis Lurus (www.garislurusnu.com), majalah tabloid online Islam, dan lain-lain.
Tel NO: 081229667400
E-mail: ajisetiawanst@gmail.com
aji_setiawan2000@yahoo.com
Honor ditransfer ke Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535