Setelah puas ngobrol basa-basi dan hari pun mulai gelap, aku dan Tiara memutuskan untuk segera pulang. Sang penyanyi dangdut pun kini sudah nemplok di punggungku. Memeluk erat pinggangku, tak ayal lagu tubuh bagian depannya merapat ke punggungku.
Matic besar yang selama ini setia menjadi partnerku mengais rizki di jalanan, perlahan mulai meggelindingkan kedua kaki bulatnya di jalan aspal. Tampaknya si bongsor pun sangat senang bisa diduduki penyanyi dangdut dengan bodi dan penampilannya yang sangat aduhai, laksana gitar Bandung.
Sejatinya aku belum terlalu percaya kalau Tiara benar-benar penyanyi dangdut yang mengandalkan kemerduan suaranya.
Aku belum pernah jadi juri kontes menyanyi dangdut. Tapi, sebagai penggila dangdut panggung, telingaku sudah sangat terlatih dan sensitif. Sanggup membedakan jenis suara penyanyi yang benar-benar merdu dengan yang standar. Bahkan dari cara mereka berbicara.
Motor aku pacu dalam kecepatan sedang. Jalan desa aspalnya masih licin relatif sepi. Tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang, sehingga akupun akupun bisa membawa motor santai tanpa menganggu atau terganggu pengendara lain.
Kami sama-sama tidak memakai helm, agar bisa ngobrol dengan jelas selama menghabiskan waktu perjalanan yang mungkin akan lebih lama dari seharunya.
Tiara yang dulu aku kenal gadis pemalu dan pendiam, benar-benar telah mengubah diri dan image-nya. Mulut seksinya tak pernah berhenti berceloteh, cekikikan genit hingga tertawa riang.
"Wil, sumpah! Aku tuh serasa bermimpi. Gak pernah kebayang bakal dibonceng sama kamu. Dari dulu aku merasa keinginanku itu hanya akan menjadi impian dan khayalan tak berkesudahan. Aku sangat ingin dibonceng kamu, sejak kelas dua SMK loh, hahaha." Tiara menyandarkan dagunya di bahu kananku.
"Lah, kenapa dulu gak ngomong. Eh tapi, lagian dulu kan gak ada motornya, hahaha." Aku menjawab dengan pandangan tetap fokus pada aspal yang sebagian mulai rusak dan sedikit berlubang.
"Ya, minimal diajak jalan di angkot gitu. Dulu waktu kelas tiga STM kamu kan suka iseng jadi sopir kadal, hahaha." Tiara mencubit manja perutku.
"Haha, zaman dulu mana berani deketin kamu. Takut sama Pak Ustad Qosim. Yang ada, aku malah dirukiyah sama beliau, hehehe." Aku sedikit mendorong dan memiringkan kepala, sehingga mulut dan hidung Tiara menyentuh pipi kananku.
"Iya sih. Zaman sekolah dulu, mana bisa pergi sama cowok. Kecuali berangkat atau pulang sekolah. Pernah ada teman sekelas yang main ke rumah, padahal cuma nanyain tugas sekolah. Eh langsung dapat ceramah panjang lebar dari bokap, hahahaha." Tiara menaikan tangan dan melingkarkan pada bahu kanan serta dadaku.
"Nah kan, aku juga pernah denger, kalau kamu naksir empunya si Bangla. Sejujurnya aku juga naksir berat sih sama kamu. Tapi, ya itu tadi, ngeri-ngeri sedap sama Pak Samsudin, hehehe."
"Banyak sih cowok yang ngomong kek gitu. Sebenarnya dari zaman sekolah, aku tuh udah gak betah tinggal di rumah. Makanya sebulan setelah lulus SMK, aku iya in aja saat ditawarin nikah dengan seseorang yang usianya jauh lebih tua. Aku pikir bakal bisa membuat suasana yang beda, minimal sedikit bebas. Tapi ternyata makin parah." Tiara mulai membuka misteri tabir pernikahannya.
"Makin parah gimana?" Aku makin memperlambat laju motor dan membiarkan Tiara sesekali mencium dan menyesap leherku.
"Ternyata aku dijadiin istri ketiga, hihihi." Jawab Tiara seraya mengigit manja leherku.
"Ya, gak apa-apa, kan kalau lelaki boleh punya satu, dua sampai empat istri. Yang penting kamu diperlakukan adil dan dicukupi nafkah lahir batinnya." Aku berbicara mengikuti gaya Aa Gingin.
Mantan sahabatku di STM yang mendapat hidayah. Dia menjadi ustad muda yang sedang naik daun. Dikabarkan telah memiliki dua orang istri dan sekarang sedang bersiap-siap untuk meminang seorang gadis yang baru lulus Aliyah untuk jadi istri ketiganya.
Beberapa saat kami saling berdiam. Motor pun tetap melaju dalam kecepatan yang sedikit naik. 30 Kilo meter per jam. Keadaan perkampungan di sepanjang jalan, relatif sepi. Jalanan diterangi cahaya rembulan yang tidak terlalu terang. Tak ada lampu penerangan jalan. .
"Keadilan itulah yang tidak aku dapatkan, Wil. Suamiku terlalu sibuk ceramah ke sana kemari. Juga terlalu sibuk dengan keluarga dan anak-anaknya yang lain. Nafkah lahir tak ada masalah, tapi nafkah batinku sering terbengkalai." Suara Tiara kembali melemah.
"Kok gitu?"
"Suami Pertamaku berusia 45 tahun, sedangkan aku baru 19 tahun. Gadis yang baru beranjak dewasa sedang mekar-mekarnya. Libidoku sedang tinggi-tingginya dan selalu ingin dimanja. Tapi yang terjadi sebaliknya. Aku tak ubahnya istri yang tak dianggap, hehehe." Tiara kembali mencium dan menyesap pipiku dengan hangat.
"Oh gitu. Aku kira kamu menikah dengan lelaki yang sebaya," ucapku sambil memegangi tangan Tiara yang kembai nakal mengajak bercanda si Bangla.
"Sampai hari ini pun aku masih gak tahu. Apa sebenarnya alasan dia mau menikahiku karena sangat terasa jika dia tidak mencintaiku. Bayangin aja. Dua tahun menjadi istrinya, bisa dihitung dengan jari dia meniduriku. Daripada kami sama-sama berdosa dan tersiksa, akhirnya berpisah menjadi jalan terbaik." Tiara memindahkan posisi kepalnya ke bahu kiriku.
"Hmmm, coba kita ketemu dari dulu, saat kamu sering dianggurin, mungkin ceritanya jadi bedaya, hehehe." Aku berangan–angan kosong seraya membalas kecupan kecil di bibirku.
"Ih dasar otak m***m! Kalau statusku masih istri orang, gak mau dong kenal sama kamu. Taaaakut diajak selingkuh, hahaha." Tiara mengigit gemas bibir bawahku. Lalu berpindah ke pipi dan leherku.
"Hmmm emangnya sekarang kita bukan selingkuh?" tanyaku memancing.
"Bukan dong, kan aku single. Kecuali kalau kamu punya istri."
"Hehehe gitu ya."
"Hmm aku jadi curiga. Wil please jujur, sebenarnya kamu punya istri atau masih single sih? Aku gak mau kalau kamu udah punya istri." Tiara tiba-tiba melepaskan pelukannya.
"Stop dulu, Wil" Tiara pun mendorong punggungku.
Motor matic segera aku parkir di pinggir jalan dengan mesin masih menyala walau lampunya sedikit meredup, bersaing dengan rembulan yang masih malu-malu menampakkan wajahnya.
"Sebenarnya aku sudah punya istri. Tapi gak jauh beda dengan yang pernah kamu alami dulu. Istriku terlalu sibuk bisnis dengan keluarganya. Penghasilan yang jauh berbeda telah menempatkan aku pada posisi suami yang tak dianggap. Namun anehnya, dia tetap gak mau aku ceraikan." Aku menjelaskan panjang lebar.
"Alasannya gak mau cerai?" tanya Tiara sambil kembali memelukku.
"Dia masih mencintaiku dan gak mau kehilangan si Bangla, hehehe."
"What? kamu suami yang gak dianggap. Tapi si Bangla masih sangat dibutuhkan? Luar biasa! beruntung sekali punya si Bangla. Aku jadi makin penasaran, hahaha." Tiara kembali mendaratkan kedua telapak tangannya di atas si Bangla.
"Jadi gimana nih, gak masalah kalau kita selingkuh?" tanyaku bercanda.
"Hmmm, aku gak mau selingkuh sama kamu, tapi penasaran, ingin kenalan dengan si Bangla, hihihi." Tiara beralasan.
"Hmmm, kok gitu sih, masa gak mau selingkuh dengan empunya, tapi mau bahagia dengan si Bangla?"
"Ya, terserah kamu aja deh, hehehe."
"Oke deh."
Aku kembali menarik gas motor dan melanjutkan perjalanan. Obrolan pun kami lanjutkan dengan topik ranjang suami istri yang panas. Tiara semakin berani dan leluasa memancing libido dan birahiku hingga jiwa kelelakianku bergelora dahsyat.
Dua gunung kembarnya yang hangat, empuk dan kenyal menekan punggungku. Kedua tangannya pun makin intens bercanda dengan junior yang telah berdiri maksimal.
"Hmmmm," Aku bergumam memberi kode.
"Kenapa?" tanya Tiara dengan nada yang makin mendesah basah.
"Si Bangla kesakitan, mungkin sarangnya mulai kekecilan." jawabku.
"Oh gitu, sabar ya, Bangla," balas Tiara manja.
Tak lama kemudian kedua tangan Tiara kembali bergerak-gerak di depan perutku. Kali ini bukan sedang mencandai si Bangla. Namun membuka ikat pinggang, kancing dan retsleting celanaku untuk memberi sedikit ruang dan udara segar pada si Bangla yang sudah kelabakan.
"Gila!" Tiba-tiba Tiara berseru, "ternyata beneran Bangla! Oh my ghost!" lanjutnya di daun telingaku. Tangan kanannya sangat kuat memegangi si Bangla yang baru terbebas dari belenggu celana dalamku.
"Sok tahu, emang kamu pernah pegang batang orang Bangla?" tanyaku seraya melebarkan kedua kaki, memberikan space pada dia untuk terus bermain-main dengan si bungsu.
"Pernah dong. Bukan megang tapi cuma ngeliat aja di video. Sejak aku ngedenger kamu punya julukan Bangla, langsung deh cari-cari video orang Bangla di internet. Dan aku benar-benar tercengang, hehehe." Tiara makin kuat memegangi dan meremas-remas si Bangla. Lidahnya pun mulai nakal menjilati leher dan daun telingaku dalam deru napasnya yang memburu.
"Gak semua cowok Bangla batangnya besar dan panjang, kali. Dan gak semua orang kita batangnya kecil dan pendek, hehehehe."
"Mungkin juga sih, hanya kebetulan aja, yang aku lihat di video itu emang ukurannya sangat wow, padahal dia pun masih brondong kaya kamu. Sepertinya ukurannya pun gak jauh beda deh sama si Banglamu, hehehe."
Aku kembali mengurangi kecepatan motor. Tak ingin kehilangan moment indah belaian tangan lembut sang penyanyi dangdut pada mike karaoke kebanggaanku.
"Emang, kamu tahu dari siapa sih, kalau aku dijuluki Bangla?" pertanyaan tadi sore yang hanya bersemayam dalam hati, kini berani terlontar.
"Tante Grace Zaenal kamu kenal, Wil?" Tiara kembali menyesap pipi kiriku.
Dek! Tangaku refleks menekan tuas rem dan si bongsor pun berhenti mendadak.
"Kamu serius kenal Tante Grace? dimana?" tanyaku seraya memiringkan kepala menatap Tiara dalam remang cahaya rembulan yang masuk melalui cela-cela dedaunan yang rapat.
"Kenal dong. Aku sering main dengan groupnya dia." Tiara menjawab renyah.
"Oh, sekarang dia udah punya group dangdut sendiri?" tanyaku excited.
"Hmmm, dangdut besar malah, tapi di daerah Karawang. Aku udah tiga kali ikut job dia, cari pengalaman dengan group besar main di luar daerah. Dia sering ngobrolin si Abang Sawer Ganteng."
Tanpa menimpali ucapan Tiara, aku kembali menarik gas motor. Tiara pun tak lagi mengeluarkan suaranya, fokus dan terlena bercengkrama dengan si Bangla. Sementara pikiranku melanglang buana. Mengingat segala kenangan yang pernah tercipta dengan seorang wanita bernama Grace Zaenal.
Kenangan terindah, ternekat dan terkonyol yang aku lakukan beberapa tahun silam. Entah apa yang merasuki jiwaku saat itu.
Ketika kelas dua STM, aku tergila-gila oleh para artis dangdut panggung. Tidak peduli lagi bagaimana paras wajah mereka. Namun di mataku semua artis dangdut panggung, selalu seksi, cantik dan menor menggairahkan ketika di atas panggung.