Bangla merupakan panggilan rahasia untukku. Hanya teman yang benar-benar akrab dan dekat yang diizinkan memanggilku demikian. Itu pun ketika keadaan sepi. Itu julukan pujian namun juga bisa dianggap sebagai ejekan.
Bangla diambil dari kata Bangladesh. Nama sebuah negara di Asia Selatan yang berbatasan dengan India di barat, utara, dan timur, Myanmar di tenggara, serta Teluk Benggala di selatan. Bangladesh secara harfiah bermakna "Negara Bangla". Ibu kota dan kota terbesar di Bangladesh ialah Dhaka
Beberapa temanku menjuluki demikian karena junior di balik celanaku, memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih panjang dibanding mereka yang sebaya denganku. Ditambah dengan bulu-bulu yang tumbuh subur di kaki, paha, perut hingga dadaku.
Berdasarkan ciri-ciri fisik itu, aku sempat dikira memiliki garis keturunan bangsa Bangladesh atau India. Walau wajahku sama sekali tidak memiliki nuansa warga keturunan negara-negara tersebut.
Paras wajahku lebih mirip Rezky Aditya artis sinetron Indonesia, dibanding dengan Shahrul Khan atau pemain-pemain film bollywood lainnya. Kulit wajahku cenderung putih cerah dan bulu-bulu halus yang tumbuh subur di kaki, d**a hingga perutku tidak selebat bulu-bulu lelaki India atau Bangladesh.
"Kamu dari mana dan mau kemana?" Aku bertanya mengalihkan fokus pandangan dan pikiran nakalnya pada si Bangla.
"Aku mau pulang. Baru selesai manggung." Senyuman Tiara makin genit dan menggoda. Suaranya pun terdengar sedikit merdu, mendesah dan berirama.
"Manggung?" Aku kembali tersentak, "manggung apaan?" tanya kemudian dengan dahi berkerut dan kedua alis saling mendekat.
"Biasalah manggung dangdut. Musik rakyat jelata. Mengais receh untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Agar dapurku tetap ngebul, kalau pun nanti ada sisanya terpaksa aku tabungkan, siapa tahu bisa untuk mencicil Ferrari, hehehe." Tiara menjawab manja dalam canda yang sedikit mengena.
"Kamu jadi penyanyi dangdut?" tanyaku setengah sadar.
Tiara mengangguk, wajahnya lurus menatapku dan kedua tangannya memegangi kedua lenganku dengan sangat lembut dan manja. Posisi yang seketika menyeret memoriku pada kenangan masa lalu yang telah silam.
Sebenarnya aku tak perlu bertanya tentang profesinya. Dari pakaian dan dandanannya pun dia sudah terlihat dangdut banget.
Sejak kapan dia menjadi artis dangdut? Kemana pakaian syar'i dan kerudung besarnya yang dulu selalu menutupi sekujur tubuhnya?
Beberapa tahun yang lalu, aku mengenal dia masih sebagai gadis yang sangat cantik, imut, pemalu, pendiam dan auratnya tertutup sempurna. Dia seorang ukhti yang sangat shalihah dipandang dari sudut gaya berdandan dan kepribadiannya.
Mengapa kini berbalik 179 derajat?
"Sejak kapan kamu jadi artis dangdut?" tanyaku ragu-ragu. Sejujurnya aku takut menyinggung perasaanya.
Mungkinkah Tiara sedang bercanda? Untuk urusan aurat, tak mungkin dia sebercanda ini.
"Hmmm belum lama sih, mungkin sudah setengah tahunan kali ya." Tiara pun ragu-ragu. "masih sebatas hobi dan iseng aja. Daripada bengong sendirian di rumah." lanjutnya seraya menyandarkan pantatnya pada motorku yang jadi saksi bisu pertemuan kembali aku dan wanita syar'i yang kini telah menjelma menjadi artis dangdut yang sangat seksi.
"Bukannya artis dangdut biasanya pulang tengah malam?" selidikku.
"Harusnya begitu. Tapi, aku minta izin pulang lebih dulu. Soalnya dari tadi siang udah ngerasa gak nyaman di atas panggung. Penontonnya rada-rada rese gimana gitu."
"Hmmm."
"Ya, aku yakin, nanti malam pasti lebih rese tak terkontrol. Siang bolong aja udah rese dikendalikan alkohol. Aku tidak terlalu suka dengan lelaki pemabuk, makanya setengah hari aja, hehehe." Tiara menjelaskan panjang lebar.
"Bukannya kalau yang jogetnya mabuk berat makin asik. Kan dia hilang kontrol, lupa diri dan mudah menghambur-hamburkan uang recehnya untuk nyawer, hehehe." Aku terkekeh malu hati. Teringat segala kekonyolan dan kebodohan yang dulu sering aku lakukan.
"Gak semua begitu. Malah lebih banyak yang rese saat mabuk berat. Terkadang mereka ngotot minta uang sawera, kan b******k. Namanya juga dalam pengaruh alkohol, mereka berasa paling berkuasa dan dunia miliknya, hehehe."
"Oh gitu," balasku kembali terkekeh.
Khusus yang satu ini, aku tak pernah konyol. Walau setiap berjoget di atas panggung, hampir dipastikan ada dalam pengaruh minuman keras. Namun tidak pernah sampai rese parah.
Mungkin karena sudah mengenal dan terbiasa dengan minuman beralkohol sejak kecil, hingga tidak pernah ada pemikiran meminum minuman keras untuk sekedar pamer atau dianggap hebat jika mabuk.
Di atas panggung aku malah jadi idola para penyanyi. Selain wajahku yang ehem-ehem dan tidak pernah rese aku pun sangat royal saat menerbangkan lembaran uang saweran. Mereka bahkan menjulukiku 'Abang Sawer Ganteng'
Sebenarnya aku tidak terlalu banyak mengenal Tiara. Kami beda sekolah dan beda kampung. Walau masih dalam satu desa. Kami saling mengenal hanya sebatas tahu nama dan wajah. Itupun karena saat pergi dan pulang sekolah sering kebetulan naik angkutan umum yang sama.
Aku tak pernah menduga bisa bertemu kembali dalam situasi seperti saat ini.
Dia telah menjadi orang yang benar-benar berbeda. Seorang ukhti shalihah yang berani memakai pakaian kekurangan bahan, terbuka di sana-sini.
Mengejutkan, menakjubkan juga sedikit membuat bulu romaku berdiri. Ada apa dengan Tiara? Tragedi kehidupan model apa yang telah menimpanya hingga dia mengubah dirinya sedrastis ini.
Dulu Tiara salah satu siswi yang sering menjadi sumber obrolan teman-teman sekolah dan gengku. Semua berharap bisa dekat dan menjadi pacarnya. Walau harapan itu perlahan-lahan pudar dan menguap. Benteng dan sandungan yang terbentang di depan mata, terlalu sulit untuk diterjang. Kami bahkan tak berani ambil resiko untuk masalah yang satu itu.
Siapa pula anak muda yang berani macam-macam dengan keluarga Pak Samsudin?
Aku pernah mendengar bisikan dari beberapa teman Tiara, yang menyebutkan kalau dia naksir berat dan menyukaiku. Tetapi tak pernah aku respon dengan serius. Tak percaya dengan bisikkan mereka. Sekaligus tak percaya diri. Minder, malu dan sadar diri.
Tiara anak seorang pengusaha tambak ikan yang sangat sukses. Bapaknya juga seorang Kyai besar pemilik pesantren dengan jumlah santri ribuan. K.H Qosim atau yang biasa disapa Ustad Qosim, hidup makmur bergelimang ilmu agama dan harta dunia. Tiara satu-satunya putri ustad Qosim yang bersekolah di sekolah umum dan bergaya hidup sederhana.
Sedangkan aku? Tak lebih hanya seorang cowok biasa dari keluarga melarat yang memiliki reputasi sangat buruk sebagai pematah banyak hati wanita sekaligus bastard 'pembobol perawan orang.'
"Sebenarnya aku masih belum percaya, kalau kamu berani tampil dan berdandan seseksi dan secantik ini, hehehe." Aku melanjutkan basa-basi.
"Gimana menurut kamu. Suka penampilanku yang dulu atau sekarang?" Tiara bertanya seraya melebarkan kedua tangannya, seolah ingin memamerkan dua gunung kembar yang membusung di balik jaket kulit yang retsletingnya telah diturunkan.
"Dua-duanya. Kan sesuai dengan zaman dan profesinya, hehehe." Aku berlaga bijaksana.
"Gila! Ternyata seorang Bangla bijaksana juga. Kirain hanya victor aja yang tersembunyi di sini, hehehe" Tiara memegangi keningku dengan lembut.
"Sembarangan!" sergahku, "Oh iya gimana rasanya setelah berubah begini,?" tanyaku lagi. Masih sangat penasaran. Apakah perubahan ini murni keinginan sendiri atau ada unsur keterpaksaan.
"Hmmm, gimana ya. Sangat nyaman. Awalnya aku juga risih dan gak percaya diri berdandan begini. Tapi, sekarang udah terbiasa. Soalnya hampir tiap hari berdandan begini." Tiara menyibakkan rambut sepunggungnya yang sebagian tergerai menutupi pipinya.
"Mau gimana lagi tuntutan profesi. Kan harus menyesuaikan dengan dunia entertainment yang telah aku putuskan sendiri." Tiara menggoyang-goyangkan kedua lenganku yang masih dipegangnya.
"Tapi gak ikut-ikutan latah aneh kaya penyanyi lain yang suka menyebut-nyebut perkakas cowok kan? hehehe," godaku.
"Hahaha, gak lah. Aku masih waras Wil. Tapi boleh juga kalau kamu ngizinin, tapi latahnya nyebut-nyebut si Bangla, hahahaha."
Aku sontak grogi dan salah tingkah karena kalah berani dan v****r oleh Tiara. Mentalku sedikit down. Maksud hati menggodanya, namun respon yang digoda di luar perkiraan.
"Emang suamimu kemana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dulu pernah dengar selentingan Tiara sudah menikah. Dengan siapa dan kapan persisnya dia menikah, aku tidak tahu.
Beberapa saat Tiara terdiam. Rona wajahnya mendadak mendung dan sorot matanya pun kembali layu menatapku dalam-dalam. Sepetinya ada sesuatu yang disembunyikan dan berat untuk diceritakan.
Apakah ini salah satu tragedi hidup yang telah mengubahnya? Dan itu sama sekali bukanlah urusanku.