Bab 07

2106 Words
Karena tidak ingin mendapat masalah lebih besar dari Katana -nya yang diambil, akhirnya Megumi memilih untuk mengikuti keinginan pria itu, mengikuti langkah pria itu membawa pergi entah ke mana. Pria itu membukakan pintu yang Megumi pikir terbuat dari kayu, tapi, ternyata pintu itu terbuat dari besi baja tebal, bahkan kuncinya pun adalah sebuah kode yang terhubung dengan sidik jari. Benar-benar sebuah penjara yang akan mematikan siapa pun yang bertindak ceroboh. Terlebih, ruangan ini kedap udara dan suara, pengap hingga tidak akan membiarkan siapa pun hidup lebih lama di tempat seperti ini. “Lihat, kau benar-benar luar biasa.” Ucap pria itu setelah menutup kembali pintu tadi. “Di dalam sana tidak ada tekanan udara, tidak ada ventilasi atau apa pun yang bisa memberikanmu udara. Orang yang terkurung di dalam sana akan mati hanya dalam hitungan jam, bahkan jauh lebih cepat jika mereka meronta, berteriak atau bahkan melakukan hal bodoh dengan mengamuk. Tapi, lihat dirimu, kau hanya mandi keringat hingga pakaianmu basah seperti itu.” Sambung pria itu sambil menunjuk Megumi dengan senyum yang sedikit mengejek. Sementara Megumi hanya melirik pria itu dan tetap bersikap tenang. “Apa untungnya buatmu kalau kau bisa membunuhku?” tanya Megumi sedikit menantang. Tapi, pria itu hanya menggeleng. “Tidak ada, sih, sebenarnya. Tapi, saat Carlos mengatakan bahwa kau adalah ancaman, Scott juga Hans tidak bisa menolak untuk menyetujui keputusan saat dewan meminta agar kau dikurung di dalam ruangan itu.” Ingatan Megumi kembali berkeliling, dia mungkin tidak mengenal nama-nama itu tapi, jika diingat dengan apa yang sudah dia perbuat, mungkin itu adalah orang-orang yang sama, yang sudah membawanya dari swalayan beberapa waktu lalu. Dan sekarang, dia tidak tahu di mana dia berada. Pria ini mengatakan kalau mereka berada di sebuah bungker. Tapi, bungker itu terlihat sangat aneh. Penuh lorong, penuh koridor dengan ruangan-ruangan berkaca film tebal hingga semua yang ada di dalam sana tidak terlihat sama sekali. Sementara ruangan di mana mereka mengurung Megumi, berada di ujung dan sangat ujung hingga tak ada siapa pun yang bisa melewatinya hanya untuk sekedar ‘lewat’ saja. Lagi pula, tempat ini juga sangat aneh. Tempat yang mereka sebut bungker itu penuh dengan cctv dengan sensor panas yang akan terus bergerak mengikuti ke mana pun langkah mereka. Dan itu, sangat membuat Megumi tidak nyaman. Namun, dia bisa apa, dia hanya tamu. Tamu yang bahkan tidak diundang di tempat itu. Mereka terus berjalan, terus melewati lorong-lorong itu hingga langkah mereka berhenti tepat di sebuah lift yang mungkin menjadi satu-satunya akses yang ada di tempat itu. “Silakan, wanita lebih dulu.” Ucap pria itu terdengar ramah. Namun, tetap saja terlihat sangat aneh di mata Megumi. Tanpa basa-basi lagi, Megumi pun mengikuti arahan pria itu untuk masuk ke dalam lift, diikuti oleh pria itu dan mereka pun mulai naik setelah pintu lift tertutup. Selama dalam lift, sesekali Megumi melirik pria itu. Pria itu memiliki tinggi sekitar seratus delapan puluh lebih dengan tubuh berotot meski usianya yang sudah memasuki senja. Kendati demikian, pria itu masih terlihat sangat bugar, kontras dengan rambutnya yang sudah nyaris putih semua oleh uban. Pria itu juga memakai sepatu bersol tebal, persis seperti yang sekarang dipakai oleh Megumi. Sehelai kaus berwarna hitam dengan kalung rantai yang sering dipakai oleh satuan militer angkatan darat. Setelah naik, kurang lebih sekitar tiga menit. Akhirnya pintu lift itu terbuka dan memperlihatkan pemandangan yang benar-benar di luar ekspektasi seorang Megumi. Megumi pikir, lift akan terbuka di sebuah gedung pencakar langit atau setidaknya, sebuah bangunan dengan beton kokoh yang cocok dengan bungker di bawahnya tapi, ternyata tidak sama sekali. Lift itu terbuka, di sebuah ruangan yang sama kecilnya dengan lift. Hanya sebuah dinding tembok dari batu-bata merah berpintu kayu. Dan saat pintu kayu itu dibuka, di sana adalah sebuah ladang. Perkebunan sayur dengan beberapa orang yang sedang sibuk memetik beberapa jenis sayur yang sudah terlihat siap untuk dipanen. Saat mereka ke luar dari lift dan melihat pemandangan itu, Megumi pikir, dia akan terkejut. Tapi, ternyata tidak sama sekali. Orang-orang itu malah menatap ke arah mereka dengan wajah yang terlihat bingung. Dengan keranjang di tangan mereka, orang-orang yang sedang memetik sayuran itu terlihat saling menatap dengan pertanyaan yang memenuhi kepala mereka, dan Megumi yakin, kalau orang yang sedang mereka pikirkan untuk mereka tanyakan, adalah dirinya. “Ayo, akan kutunjukan hal lain padamu.” Ajak pria itu, meski orang-orang di kebun seluas satu hektar itu memperhatikan mereka dengan tatapan yang terlihat tidak biasa. Kebun itu terlihat cukup unik. Seperti sebuah kubah dengan cekungan dan hanya terdapat satu pintu masuk juga ruangan penyetreril yang ada di dekat pintu masuk. “Ini adalah kebun kami. Di tempat ini, kami mendapatkan bahan makan juga persediaan makanan yang cukup untuk setiap hari, selama wabah ini masih berlangsung.” “Wabah?” “Ya, kami percaya kalau semua ini hanya sebuah wabah dan kami sedang berusaha mencari cara untuk menghentikan wabah ini.” Mendengarnya, Megumi menggeleng, seolah tidak setuju dengan ucapan pria itu. “Ini bukan wabah. Mereka sama sekali tidak menularkan apa pun.” “Dulu. Tapi, sekarang tidak.” lanjut pria itu dengan nada yang sedikit lemah. Sebelah alis Megumi bergerak. Hanya saja, tidak ada kalimat yang dia keluarkan setelah itu. Gadis berambut hitam panjang dengan kuncir kudanya ini hanya diam dan memilih untuk mendengarkan. Bahkan, saat pria itu mengarahkan mereka untuk ke luar dari area perkebunan, mereka lebih dulu disemprot oleh cairan desinfektan. Begitu pun dengan mereka yang hendak masuk ke dalam sana. Megumi yang sudah disemprot cairan desinfektan pun terlihat sedikit basah tapi, gadis itu sama sekali tidak merasa terpengaruh dengan semua itu. Ternyata, bukan hanya satu saja, tempat yang berbentuk seperti kubah di tempat itu. Tapi, ada beberapa dan jumlahnya mungkin sekitar empat dengan luas yang mungkin sama, yaitu satu hektar dalam jarak pandang Megumi yang terbatas. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu terus membawa Megumi berjalan. Melewati orang-orang yang terlihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tempat itu terlihat seperti koloni, dengan berbagai macam manusia, ras, budaya dan etnis. Entah itu kulis putih, hitam, sawo matang atau kuning langsat. Beberapa dari mereka pun terlihat masih mengenakan baju adat khas negara mereka, seolah mereka belum bisa menerima bagaimana negara-negara itu sudah hancur dan mengharuskan mereka bertahan tanpa adanya perlindungan politik, negara, atau pun kekuatan militer. Orang-orang itu bukan hanya mereka yang sudah berusia dewasa. Tapi, terlihat juga beberapa anak kecil berusia tiga, lima, hingga sepuluh tahun, bahkan remaja pun terlihat sibuk membantu. Yang laki-laki sibuk membantu membangun tenda-tenda yang terlihat rapuh, menjadikannya kembali kokoh hingga layak untuk ditinggali, sementara yang perempuan, sibuk membawa bahan makanan, menjemur pakaian dan merawat orang tua. Yang membuat menarik perhatian Megumi, adalah tempat itu terlihat seperti sebuah perkampungan dengan tenda-tenda dome yang muat menampung beberapa orang dalam satu tempat setinggi satu setengah meter tersebut. Tempat ini, benar-benar seperti tempat di zaman dulu. Tempat yang bahkan puing-puing bangunan beton pun tak ada, hanya kayu, dan sisa-sisa yang bisa diselamatkan dari reruntuhan kota mati. Yang membuat berbeda, hanyalah orang-orang yang terlihat berpatroli, memakai seragam dengan rompi anti peluru, night visual google dan seenjata di tangan mereka, juga HT yang terus berbunyi, memberi informasi satu orang ke orang lainnya dalam radius yang mungkin hanya berputar di tempat itu. "Silakan." Ujar pria itu lagi, mempersilakan agar Megumi untuk kembali berjalan di depannya. Dan di sana, dia di bawa pada sebuah anak tangga yang menuju ke dinding setinggi dua puluh meter, dengan orang-orang yang juga terlihat beridri memandang ke arah luar dengan night visual google juga sennjata di tangan mereka. Bukan hanya itu, di depan mereka pun terlihat ada rantai besi yang dililit melingkar, seolah membentengi tempat itu dengan sempurna. Langkah mereka terdengar menghentak. Sol tebal dari sepatu yang mereka pakai membuat suara yang cukup keras tapi, tidak terlalu mengganggu aktivitas orang-orang yang ada di bawah sana. Megumi terus naik dan ketika mereka tiba di ujung anak tangga, pria yang bertugas menjaga ujung anak tangga pun memberi hormat pada mereka, terutama pada pria yang membawa Megumi ke tempat itu. Megumi terkesan. Tempat itu terlihat seperti pangkalan para sniper yang siap melakukan pertahanan pertama dari serangan yang datang dari luar sana. Lahan yang menjadi pijakan merkea saat itu mungkin cukup luas, sekitar satu meter dengan peralatan militer, seperti meriam juga beberapa pelontar, seperti peralatan perang orang-orang zaman kerajaan dulu. Dan tentu saja, semua itu dipasang untuk menghalau serangan. Sementara di luar dinding itu, adalah pemandangan kota mati dengan reruntuhan kota yang sama sekali tidak bisa dikatakan indah. "Selamat datang di SECTOR 72." Ujar pria itu. Megumi masih belum berkomentar apa pun, gadis dengan kuncir kudahya ini masih diam dan memperhatikan. Setelah dia selesai dengan pemandangan kota dan reruntuhannya, Megumi berbalik untuk melihat tempat yang selalu dibanggakan oleh sisa umat manusia di luar sana. Dan jujur saja, Megumi mengagumi bahwa tempat itu memang tidak terlalu buruk untuk dijadikan tempat bertahan hidup. Kubah besar yang menjadi lahan pertanian pun ada sekitar empat buah dengan ukuran dan ketinggian yang sama. Sesuai dengan yang dilihat olehnya saat di bawah tadi. Hanya saja, di dalam sana ditanami beberapa macam jenis berbeda. Dua kubah di antaranya ditanami sayuran, padi, juga jagung dan labu. Satu kubah lain berisi tanaman buah berbagai jenis dan satu lainnya, entah apa, Megumi tidak terlalu bisa melihat jauh ke dalam kubah itu. Bukan hanya kubah kaca itu yang terlihat sangat besar tapi, juga tanaman yang tumbuh di dalamnya seperti dibuat seolah tidak untuk diekspos. "Di sini adalah koloni di mana umat manusia tersisa dan sebagai pelopor masa depan yang lebih baik." Ujar pria itu lagi. "Tempat yang tidak terlalu buruk untuk bertahan hidup dan membesarkan anak-anak kemudian jadikan mereka bahan makanan segar untuk para Phantom itu." Ucap Megumi mulai menanggapi. Mendengarnya, Gutz hanya terkekeh. "Satu pertanyaanku. Bagaimana bisa kau tetap hidup di tengah makhluk pemakan manusia itu?" "Bersembunyi" jawab Megumi singkat. "Benarkah? Hanya itu?" "Itu cara yang sanhat efektif dan dilakukan oleh orang-orang yang berhasil kalian bawa ke tempat ini, juga, bukan?" "Ya, dan kurasa ... bersembunyi memang adalah cara satu-satunya untuk bertahan hidup." Pria itu mengangguk mendengar ucapan Megumi. Kemudian, dia menunjuk ke satu arah, ke kubah-kubah kaca dengan lahan seluar satu hektar itu. "Di sana, adalah kebun sayuran, gandum, jagung, padi dan beberapa tanaman lain yang bisa kami makan. Sementara kubah terakhir dan paling pojok, berisi tanaman obat juga tempat penyimpanan beberapa obat-obatan medis yang masih tersisa dan layak digunakan. Juga sebagai tempat operasi penanganan pasca trauma. Sementara di belakang kubah terakhir, ada kandang ternak, berisi kuda, domba, sapi, ayam, dan babi. Semuanya hewan yang bisa diambil keuntungannya. Mulai buku, daging, kulit hingga tulang mereka." Jelas pria itu sangat bangga. "Bukan hanya itu, di tempat ini juga adalah tempat terama di muka bumi untuk saat ini, dengan peralatan medis, tenaga medis juga militer dengan perseenjataan paling kuat dan orang-orang terlatih untuk menghadapi semua kemungkinan terburuk." "Dengan tempat sebesar ini dan jumlah manusia sebanyak ini, bukan tidak mungkin, kalau kalian jadi incaran mereka, para Phantom." Kali ini Megumi yang berkata. Dan pria itu, mengangguk sebagai tanda bahwa dia sama sekali tidak menyangkal hal tersebut. "Karena itulah kami memasang semua ini." Ujarnya sambil menunjuk ke arah rantai besi yang dililit, mengelilingi tempat yang sangat luas tersebut. Tempat itu mungkin berhektar-hektar luasnya, dengan satu bangunan yang mirip fasilitas militer untuk memantau perkembangan, dan gudang lain berisi perseenjataan serta lapangan berisi helikopter juga mobil-mobil militer yang sangat banyak. Megumi mengikuti ke mana pria itu menunjuk. Seluruh tempstnitu terlihat sangat tertata, sangat apik dengan sistem keamanan luar biasa. "Rantai itu aliri listrik bertegangan tinggi yang terhubung ke dalam gardu yang ada di belakang sana." Tunjuknya ke arah di mana pangkalan helikopter berada. Benar saja, di sana ada beberapa gardu listrik yang berdiri kokoh, dengan orang-orang yang setiap detiknya berlalu-lalang dan memeriksa tekanan. "Dinding yang kami bangun memang tidak sempurna tapi, kami selalu berusaha menyempurnakannya setiap ada kesempatan," lanjut pria itu, "kami menempatkan para sniper dan beberapa pemantau yang akan menyiarkan keadaan di luar dinding pada kaminyang berada di dalam, memberikan rasa tenang dan aman dari mereka yang tidak terlihat. Kami juga melakukan pergantian patroli setiap lima jam sekali. Dengan orang-orang terlatih dan siap mati untuk kelangsungan umat manusia. Bukan hanya itu, di tempat ini juga kami sedang berusaha mencari cara agar kami bisa memusnahkan mereka dari muka bumi. Setahun lalu, kami baru tahu kalau mereka bisa dilihat mengunakan night visual google, kami mencoba memodifikasi benda itu dan membuat proyeksi visual sempurna yang bisa membantu kami mengalahkan mereka, dengan cara itu, setidaknya kita tahu, berapa jumlah mereka, di mana kita berhasil menembak, bahkan bentuk menjjiijikan mereka. Setelah setahun invasi makhluk aneh pemakan manusia itu menghancurkan hampir separuh dari umat manusia, kau adalah adalah satu-satunya yang bisa melihat mereka dengan mata telanjang." _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD