Bab 03

1923 Words
2023 Los Angeles Torrance California — Amerika Serikat . . . Napasnya terdengar sangat berat, setiap helaan, setiap tarikan benar-benar seperti sebuah perjuangan untuknya. Udara pengap dan ruangan sempit tanpa cahaya itu sudah menguras seluruh tenaga yang dia miliki, sementara tubuhnya yang dia sandarkan pada dinding kayu terlihat sudah tidak bertenaga, matanya yang terlihat sayu terus bergerak, melihat di antara gelap. Sementara pendengarannya terus dia pertajam agar saat sesuatu di luar sana terasa tidak beres, dia bisa langsung melompat keluar. Ya, dia memang harus keluar. Karena jika dia tetap berada di dalam sana, mungkin dia akan mati konyol dalam hitungan jam tapi, jika dia nekat keluar dengan situasi seperti ini, mungkin kematian yang akan menyambutnya dengan senyum lebar. Di luar sana, sejak dia memutuskan untuk masuk ke dalam lemari itu, 'mereka' terus berkeliaran, mencarinya, dan Megumi bisa tahu hanya dari bau busuknya saja. Sepatu bot dengan sol tebal yang dia pakai rasanya juga sudah membuat telapak kaki gadis yang wajahnya tertutup hoodie ini mati rasa. Krak .... Prang .... Bunyi patahan kayu hingga suara kaca yang jatuh kemudian pecah dari luar terdengar jelas di telinga gadis ini, membuatnya langsung membuka mata sangat lebar kemudian bangun perlahan dengan sebelah tangan berada di balik coat panjang berwarna hitam yang menutup hampir seluruh tubuhnya. Sementara sebelah tangan yang lain dia gunakan untuk membuka sedikit pintu yang menjadi penyekat antara dia dan dunia di luar sana. Sepasang mata besar indah gadis ini melihat gusar ke segala arah, memperhatikan dengan seksama seluruh ruangan yang bisa saja menyembunyikan sesuatu darinya dan pemandangan sebuah ruangan kosong terlihat jelas di luar sana melalui cella kecil yang dia buat. Namun beberapa detik dia bersiap pada posisi siaga, semuanya terlihat baik-baik saja, tetap tidak ada apa pun kecuali seekor tupai yang membawa sebuah biji pohon ek. Juga pecahan gelas yang sudah berserakan di lantai setelah mungkin tidak sengaja dia jatuhkan. Tahu kalau seekor tupai tidak sampai harus membuatnya membuang tenaga, Megumi Ozusha — nama gadis itu — memilih menarik kembali tangannya keluar dari balik coat panjang yang dia pakai. Meski begitu, dia tetap menjaga kehati-hatian saat dia membuka pintu lemari di mana dia bersembunyi. Megumi melepaskan hoodie yang sejak tadi menutup kepalanya, hingga memperlihatkan rambut panjangnya yang dia kuncir kuda terlihat sedikit berantakan di bagian depan dan terlihat basah oleh keringat, bahkan wajah cantiknya pun terlihat sangat pucat seolah darah tidak mengalir ke sana. Suasana di tempat itu sudah cukup aman untuk membuat Megumi berani keluar dari dalam lemari seperti ini. Tidak ada apa pun, bahkan tupai yang datang tadi pun sudah melarikan diri sambil membawa biji pohon ek yang entah dia dapat dari mana saat dia keluar dari tempat persembunyiannya. Dia hanya mengusap dahinya asal untuk menyingkirkan rambut dan keringat yang sedikit menghalangi pandangan. Meski cahaya matahari yang tembus dari kaca jendela membuat pandangannya sedikit terganggu karena silau, tapi hal itu tidak membuatnya memejamkan mata begitu saja. Dia hanya mengerjap beberapa kali sampai matanya mulai terbiasa dengan cahaya. Napas gadis ini tersengal, saat dia berjalan tertatih keluar dari dalam lemari yang mengurungnya selama beberapa hari. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit terlebih dia berada dalam posisi meringkuk sepanjang waktu di dalam sana, karena yang ada dalam pikirannya hanya satu. Yaitu bertahan hidup. Sepatu bot bersol tebal yang dipakai olehnya membuat bunyi derit yang sedikit mengganggu saat kakinya melangkah di atas lantai kayu yang nyaris hancur di beberapa bagian. Lantai yang masih terlihat bagus namun rapuh itu mungkin akan hancur jika dia bergerak tergesa-gesa. Dia tidak ingin mengingat kenapa dia bisa berada di rumah ini, di lantai dua dan terkurung dalam sebuah lemari kayu sempit. Yang jelas sekarang, yang dia butuhkan adalah air. Coat sepanjang bawah lutut berwarna hitam berbahan kulit sintetis yang dipakai olehnya terlihat berkibar saat langkah tegasnya bergerak. Sesekali kepalanya menengok, melihat sekeliling rumah yang entah milik siapa yang dia masuki ini. Perabot di rumah itu terlihat masih utuh meski ada banyak sekali debu dan remah-remah kerikil yang entah muncul dari mana, bahkan di beberapa bagian terlihat penuh oleh sarang laba-laba. Dia sudah pernah mencari makanan di tempat ini, bahkan isi dapurnya pun sudah dia obrak-abrik hanya untuk mencari makanan. Namun, tetap tidak dia temukan apa pun. Sepertinya dia harus mencari di tempat lain. Dan tentu saja bukan di rumah ini. Jadi, Megumi berjalan meninggalkan rumah itu untuk mencari tempat lain agar bisa mendapatkan makanan. Karena dia merasa bahwa tempat ini sudah tidak aman lagi untuknya. Atau mungkin, dunia yang sudah tidak aman lagi untuk ditempati. Rumah itu sudah tidak memiliki pintu sejak beberapa makhluk-makhluk mengerikan itu mengejarnya dan menghancurkan sebagian lantai satu, jadi saat dia keluar, dia hanya harus melewati dinding kosong yang membuka akses dunia luar yang tak kalah hancurnya dari rumah tersebut. Daun-daun kering berserakan di jalanan, tertiup angin bersama debu dan pasir berisi kerikil halus. Tak ada siapa pun dia sana, hanya dia dan keinginannya untuk bertahan hidup. setelah berhasil ke luar dari rumah itu, Megumi terus berjalan menyusuri trotoar di mana ada banyak sekali kendaraan terparkir di sana, tanpa pemilik, tanpa bahan bakar, bahkan sebagian dari bodi mobil itu pun terlihat sudah rusak dengan ban yang tidak terisi angin. Kacau. Tidak ada hal lain bisa dia lihat selain bangunan-bangunan yang setengah hancur, kendaraan yang tertumpang — tindih satu dengan lainnya, pohon-pohon yang tumbang dan menindih serta menghancurkan kendaraan di bawahnya. Tidak ada lagi kehidupan, bahkan setiap hari yang dia lihat hanya anjjing, kucing dan hewan lainnya yang dulu hidup di hutan keluar dan saling memakan, hingga pemandangan bangkkai rusa atau kambing adalah hal yang biasa baginya. Tapi akhir-akhir ini, tak ada satu pun hewan yang bisa dia lihat, semuanya lengang, seperti sedang bersembunyi dari sesuatu yang mengerikan dan bisa membunuuh mereka. Banyak sekali swalayan dan toko-toko kelontong hancur dengan dagangan mereka yang masih utuh meski sebagian besar sudah hancur dan kadaluarsa tapi setidaknya dia masih bisa bersyukur karena dari semua itu dia masih menemukan makanan di tempat yang mungkin sudah tidak ada kehidupan dalam jarak ratusan mil tersebut. Karena sekarang, di dunia ini, ada hal yang jauh lebih berbahaya dari pada manusia. Bahkan, hanya dalam kurun waktu yang kurang dari satu tahun, populasi manusia nyaris punah dari dunia ini. Saat sedang terus berjalan, dia melihat sebuah toko swalayan yang masih dipenuhi oleh benda-benda dan makanan, juga lemari show case yang minuman di dalamnya terlihat masih utuh. Buru-buru Megumi berlari mengahmpiri swalayan tersebut dan membuka pintunya, tapi siiaal. Pintu kaca swalayan itu adalah tipe otomatis yang akan terbuka saat ada orang yang hendak masuk tapi, karena listrik sudah tidak ada lagi di sini, pintu itu tentu tidak akan terbuka. Dia mundur beberapa langkah kemudian berusaha mendendang pintu kaca swalayan itu, berharap bisa memecahkannya hingga membuka akses masuk, hanya saja itu sia-sia. Beberapa kali dia mencoba tetap saja tidak berhasil. Karena menendang tidak berhasil, Megumi mencoba mencari sebuah batu berukuran agak besar untuk membantunya menghancurkan pintu kaca itu namun, hasilnya sama saja. Berkali-kali dia menghantamkan batu tersebut pada kaca itu tetap saja tidak membuat retakan berarti, bahkan setelah hampir seluruh tenaganya dia keluarkan pun, hanya segurat retak rambut yang terlihat. "Siiaal, benda apa ini?" Gumamnya kesal. Dia harus mencari cara agar dia bisa membuka pintu kaca tersebut dan mengambil sebotol air atau makanan kadaluarsa yang masih tersisa, hingga pandangannya tertuju pada salah satu mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Dengan sebongkah batu yang dia pungut, dia melemparkan batu tersebut tepat ke kaca yang terdapat di samping kemudi hingga hancur berantakan. Dia tidak peduli itu mobil milik siapa, lagipula siapa yang akan mengakui benda yang sudah tidak bisa bergerak ini sebagai miliknya? Perlahan, gadis ini mengulurkan tangan ke dalam mobil tersebut untuk membuka pintu agar dia bisa masuk dan melihat benda apa yang dimiliki mobil tersebut. Karena seingatnya, setiap mobil pasti memiliki sebuah dongkrak, dan jika dia bisa menemukan benda itu, mungkin dia bisa menghancurkan pintu kaca swalayan tersebut. Dia menarik tuas di mana dia bisa membuka bagasi, dan saat tuas yang sedikit macet itu dia tarik, suara yang sangat keras terdengar bahkan kaca belakang mobil itu pun ikut pecah berantakan karena hantaman keras saat kap bagasi itu terbuka. Karena kaget dan tidak ingin terkena pecahan kaca, dia langsung ke luar dari dalam mobil dan beralih untuk melihat isi dari bagasi belakang mobil tersebut. Di dalam sana ada sebuah ban serep, sebuah bangku lipat berbahan titanium, sebuah tas besar yang saat dia melihat isinya hanya beberapa lembar pakaian seorang pria. Karena isi tas itu sama sekali tidak berguna, Megumi mengeluarkannya dan dia tersenyum saat melihat sebuah kotak berbahan PVC. Berat benda itu mungkin sekitar lima kilogram. Namun, sama sekali tidak membuat dia kesulitan ketika mengangkatnya, mengingat sejak kecil dia memang sudah diajarkan oleh ayahnya — Togashi Ozusha — untuk mengangkat pedang besi sejak dia masih sangat kecil. Setelah menaruhnya di tanah, dia membuka kotak itu dan dia cukup beruntung karena benda di dalam kotak itu memang sebuah dongkrak. Dengan cepat dia menarik keluar benda itu dan kembali ke swalayan tadi. Megumi menggunakan sisa tenaganya untuk mengangkat dan menghantamkan dongkrak pada kaca tebal yang dipasang pada swalayan tersebut, entah apa yang dipikirkan pemilik swalayan ini dengan memasang kaca tebal yang sulit dipecahkan. Mengahalau perampok? Meminimalisir kecelakaan lalu lintas yang mungkin saja ada mobil yang menabrak dan masuk ke dalam swalayan hingga menghancurkan lebih banyak barang dan mengakibatkan kerugian lebih besar? Entahlah, yang jelas sekarang adalah, dia ingin menghancurkan kaca tebal itu agar bisa mengambil beberapa botol air di dalam sana. Berbeda ketika dia menggunakan batu, saat dongkrak itu menghantam kaca, hanya dengan satu kali hantaman saja retak yang ditimbulkan sangat besar, dua kali hantaman kaca itu sudah nyaris pecah hingga dihantaman ketiga, kaca itu benar-benar pecah. Hanya saja, dia harus menghancurkan lebih banyak kaca agar memberi akses lebih luas yang bisa membuat tubuhnya muat ke dalam cellah tersebut. Merasa cukup dengan akses yang dia buat, dia lantas membuang dongkrak yang baru saja membantunya sembarangan. Klang .... Kakinya menendang sebuah kaleng corn syrup saat dia sudah berhasil masuk ke dalam swalayan tersebut. Membuat kaleng berukuran sedang itu menggelinding hingga menghantam sebuah rak di ujung sebelah kiri, di mana ada sebuah show case yang masih penuh dengan minuman kaleng. Tidak seperti pintu kaca sebelumnya, pintu show case kali ini tidak perlu dia hancurkan karena hanya dengan ditarik saja dia sudah bisa membuka pintu kaca tersebut. Minuman yang berada di dalamnya memang tidak lagi sesegar dan sedingin seperti saat listrik masih ada, tapi setidaknya dia bisa menghilangkan haus yang dia rasakan sejak tadi. Dia mengambil sebotol air isotonik dari sana, meski dia tahu kalau minuman itu sudah pasti kadaluarsa tapi dia tetap mengambil dan menenggaknya rakus. Seolah tidak puas dengan satu botol, dia mengambil satu botol lain lalu menenggaknya dengan cara yang sama. Selain meminumnya langsung, Megumi juga mengambil beberapa botol air dan kaleng minuman soft drink dari dalam show case tersebut, memasukkannya ke dalam tas yang dia sembunyikan di balik coat panjang yang dipakainya lalu mengambil yang lainnya. Selain air, Megumi juga mencari makanan yang sekiranya bisa dia bawa untuk jangka waktu yang sedikit lebih lama, seperti makanan kaleng, tuna kaleng, sosis, dan beberapa macam makanan lainnya. Dia masih harus bersyukur, karena swalayan itu benar-benar belum tersentuh karena pintu kaca yang susah dibuka, hanya tikus dan serangga saja yang bisa masuk ke dalam sana, mengacaukan makanan yang mudah dibuka dan menggigitinya sembarang. Saat sedang asik memilih bahan makanan untuk dirinya sendiri, telinganya sayup mendengar suara helikopter yang bergerak mendekat. Suara itu terdengar semakin dekat dan memaksa gadis ini untuk melihat. Dari tempatnya, dia bisa melihat sebuah helikopter terbang di sekitar sana dan nyaris mendarat. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD