Bryan mengajak Halen masuk ke dalam sebuah toko khusus pakaian wanita. Beberapa wanita cantik berseragam segera menghampiri mereka.
"Selamat datang, Tuan. Apa ada yang bisa kami bantu?"
Halen merasa sedikit minder dengan penampilan para wanita itu, sejak tadi ia hanya menundukkan wajahnya dan bersembunyi di balik punggung Bryan.
"Tolong Carikan pakaian yang cocok untuk wanita--" Bryan menoleh dan tak menemui Halen di sisinya, di mana wanita itu? Detik berikutnya Bryan tersadar dan menoleh ke arah belakangnya, "apa yang kamu lakukan?" Alisnya saling bertaut heran. Sedangkan Halen menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Bryan mengembalikan fokusnya pada para pelayan toko, "tolong kalian carikan pakaian yang cocok untuk wanita ini."
"Baik," para pelayan mengangguk dan menjawab serempak. "Mari nona, ikut kami." Seorang di antara mereka menarik tangan Halen agar mengikutinya. Ia di bimbing menuju ruang ganti, sementara yang lain bergegas mencari pakaian yang terdapat di rak display.
"Ini, Nona, anda bisa mencobanya di ruang ganti." Halen hanya mengangguk kikuk, kemudian membawa tumpukan baju di lengannya masuk ke dalam bilik ganti.
"Apa? Li-lima juta?" Halen tak kuasa membendung rasa keterkaitannya hingga suaranya terbata, ia hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri menyaksikan bandrol harga yang melekat di pakaian yang hendak di pakainya. "Ini sih gajiku selama dua bulan, astaga... apa orang kaya harus selalu memakai pakaian semahal ini?" entah apa yang harus di rasakan Halen, merasa senang atau prihatin melihat harga baju yang begitu mahal.
Senang akhirnya bisa memakai pakaian-pakaian mahal, atau merasa prihatin karena ternyata orang kaya suka menghambur-hamburkan uang hanya demi sebuah pakaian. Tidak hanya satu, semua baju yang di cobanya berkisar harga 1 juta hingga 8 juta. Daripada untuk membeli pakaian, Halen berpikir alangkah baiknya jika uang itu di pakai modal usaha.
"Kenapa lama sekali?"
Halen mendelik ketika mendengar suara dari luar, suara yang familiar, Bryan. Sepertinya pria itu mengidap penyakit tidak sabaran. Saat di rumah sakit, ia juga mengatakan pertemuannya dengan sang ibu sangat lama. Menyebalkan sekali.
"Iya, sebentar lagi." Sahut Halen dari dalam.
"Jangan bilang kamu gugup karena memakai pakaian-pakaian mahal."
Apa pria itu sedang menyindirnya lagi? Tapi Halen tak ingin menggubrisnya, mungkin mulai besok dan seterusnya ia harus terbiasa dengan mulut pedas Bryan. Salahnya sendiri mengaku kalah dengan menanda tangani kontrak kerja dengan pria itu. Tapi apakah mentang-mentang dirinya miskin makanya pria itu ingin seenaknya menindasnya?
Siapa suruh kamu begitu sombong saat awal aku memintamu jadi adikku?
Brayan mengulum senyum kemenangan, akhirnya ia mendapatkan mainan baru yang menyenangkan.
"Tuan..." Halen keluar dengan menundukkan wajahnya, ia belum terbiasa dengan pakaian yang di pakainya.
Brayan yang tadi berdiri membelakanginya kini menghadap ke arahnya. Ia sedikit tercengang dengan penampilan Halen. Bagaimana bisa gadis kampungan yang lusuh itu bisa berubah dalam sekejap.
Halen merasa risih karena Brayan terus menatapnya tanpa berkedip. Ia terus membenarkan dress pendek yang memperlihatkan sebagian pahanya.
"Ya... Lumayan." Ujar Bryan dingin setelah akhirnya berhasil menjejakkan kembali kakinya ke dunia nyata. Ia tidak gadis itu menyadari jika tadi dirinya sempat terpesona.
"Tapi aku tidak terbiasa mengenakan pakaian seperti ini. Apa tidak ada yang lebih tertutup, ini bagian atas dan bawahnya terlalu terbuka." Ujar Halen jujur. Ia tidak suka bahunya terpampang jelas.
"Nanti kau juga akan terbiasa."
"Tapi--"
"Di sini kamu tidak ada hak untuk protes. Apa kamu tidak memperhatikan isi perjanjian kontraknya?" Jelas Bryan. "Kamu lihat point terakhir, pihak ke dua harus selalu patuh pada pihak pertama, tidak boleh protes mengenai hal apapun."
"Apa?" Mata Halen sampai ingin keluar dari tempatnya. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa ia tidak membaca isi surat perjanjiannya dengan teliti. Karena saat itu yang ada di pikirannya adalah keselamatan tentang ibunya. "Maksudnya tidak boleh protes dalam hal apapun itu apa?" Ia takut pria itu akan meminta hal yang aneh-aneh darinya.
Bryan menaikkan satu alisnya heran, menatap Halen yang memasang sikap waspada dengan menutupi bagian depan tubuhnya dengan tangannya. "Hei... gadis kampung, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu pikir aku ingin berbuat seperti itu padamu? Apa kamu bercanda? Kamu sama sekali bukan seleraku," lanjut Bryan mengejek. "Aku sedikit menggodamu tadi, bukan bearti aku tertarik padamu. Cih... yang benar saja!"
Kuping dan Halen terasa panas mendengar perkataan Bryan. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ternyata pria ini benar-benar seperti racun, mulutnya berbisa seperti ular, apa tidak bisa memperlakukan wanita dengan lebih lembut?
Sebenarnya harga diri hampir jatuh dan minder dengan perkataan Bryan, tapi ia tidak akan menunjukkan kelemahannya pada pria itu. Sambil mengulas senyum, ia berkata dengan nada tenang, "memangnya aku berpikir apa? Ku rasa anda terlalu percaya diri, Tuan. Aku sama sekali tidak berpikir seperti yang anda tuduhkan."
Bryan terperangah mendengar pernyataan gadis di sampingnya itu. Tidak ia sangka jika Halen memiliki banyak keberanian untuk menyanggahnya. "Benarkah? Lalu kenapa kamu bersikap seolah-olah aku hendak melakukan sesuatu padamu?" Sindir Bryan lagi, ia melirik ke arah tangan Halen yang masih menutupi bagian tubuh depannya.
"Oh... ini, ini karena aku kedinginan, AC mobil ini sangat dingin," Halen beralasan, lalu ia kembali memasang sikap senormal mungkin.
Bryan menarik sudut bibirnya tersenyum, tapi senyumnya lebih ke arah mengejek. Kamu pikir bisa menang dariku?
Baiklah, sepertinya ini akan semakin menarik.
Tak lama, mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai yang mewah dan megah. Halen mengawasi dari balik jendela, bangunan di luar sana biasanya hanya bisa ia lihat dari layar televisi. Ia tidak menyangka bangunan mewah itu kini ada di depan mata kepalanya. Detik berikutnya gerbang rumah besar itu terbuka sendiri, Ken kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan rumah, mobil terus melaju melewati paving yang di sebelah kanan dan kirinya terdapat taman luas yang di tumbuhi bunga-bungan warna-warni nan cantik. Dan tepat di ujung jalan terdapat air mancur yang cukup besar, mobil terhenti tepat di depan teras yang sangat luas dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi.
"Apa kamu gugup?" Halen bisa merasakan tangannya yang mulai mendingin di sentuh oleh seseorang. Ia menoleh, dan melihat Bryan sedang tersenyum padanya. Pria ini sungguh tidak bisa di tebak, kadang ketus, kadang ramah, apa dia mengidap kepribadian ganda?
"Jangan takut, kakekku orang yang sangat ramah, dia pasti akan menyambutmu dengan baik." Dan dalam sekejap ia bisa menjadi motivator atau penenang setelah sebelumnya menjadi pembuly. Apa pria ini sengaja ingin mempermainkannya?
"Aku tidak gugup, Tuan tidak perlu mengkhawatirkan aku." Halen valas tersenyum dan perlahan menyingkirkan tangan Bryan dari tangannya.
"Jangan panggil aku Tuan saat bertemu kakek. Panggil aku kakak, mengerti?" Bryan memperingatkan.
"Iya."
Pintu mobil di sampingnya telah di buka oleh Ken. Halen melangkah keluar dengan perasaan yang masih tak menentu. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan demi menenangkan diri. Ia harus siap dengan apapun yang terjadi.
Bersambung