"Ibu, ibu... tidak apa-apa kan?"
Wajah Halen panik saat tiba di ruang inap tempat ibunya di rawat. Wanita paruh baya yang tergeletak lemah di brankar berusaha mengulas senyum seraya menggeleng, ia ingin memudarkan kecemasan di wajah putrinya, "ibu nggak apa-apa, sayang."
"Ibu, maafkan Halen, ya... belum bisa bahagiain ibu," Halen malah menangis tergugu sembari bersimpuh di dekat brankar. Air matanya tiba-tiba mengalir tanpa bisa di bendung.
Halen tahu ibunya sedang berbohong, wanita yang telah melahirkannya pasti sedang tidak baik-baik saja. Ia pernah membaca hasil pemeriksaan sang ibu beberapa waktu lalu. Ibu nya ternyata mengalami gejala Parkinson. Di mana seseorang bisa kehilangan kendali gerak pada tangan atau kakinya. Halen menduga, Ibunya jatuh dari kamar mandi di karenakan penyakitnya tersebut. Dan sang Ibu sengaja menyembunyikan sakitnya itu darinya.
Selama 20 tahun, Ibu nya membesarkan dirinya seorang diri tanpa seorang ayah. Halen bahkan tidak pernah tahu dimana keberadaan sang ayah, bahkan hanya sekedar melihat fotonya. Ibunya adalah satu-satunya pelindungnya, Halen takut jika harus kehilangan sang ibu.
"Halen, sayang... kenapa kamu menangis?" Jeni membelai pucuk kepala putrinya lembut, sebenarnya ia juga ingin menangis, tapi sebisa mungkin menahannya, ia tidak ingin menjadi beban sang putri.
"Aku nggak nangis," Halen buru-buru mengusap pipinya yang basah dengan kasar, "lihat, Halen nggak nangis," lanjutnya memaksa tersenyum. Ia lupa, seharusnya ia tidak menunjukkan kesedihannya di hadapan ibunya.
Jeni tersenyum, "seharusnya ibu yang minta maaf, karena selama ini belum bisa memberikan kehidupan yang baik buat ka--"
"Nggak... nggak!" Potong Halen cepat, ia mengusap pipi sang ibu lembut, "selama ini ibu sudah memberikan yang terbaik untuk Halen, ibu adalah ibu terbaik, Halen sayang ibu." Ucap Halen dengan menahan air mata yang hampir tumpah lagi.
"Tapi ibu tidak punya biaya untukmu kuliah, supaya kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik," Jeni menatap putrinya dengan wajah bersalah.
Halen mengulas senyum dan menaruh telapak tangan ibunya di pipinya, "ibu... dengar aku, selama ini, aku tahu ibu sudah sangat berjuang untukku, aku sangat berterimakasih pada ibu, aku tidak tahu akan bagaimana hidupku tanpa ibu. Keberadaan ibu di sisi ku, sudah cukup untukku."
Jeni tersenyum penuh haru, "kamu memang anak yang baik, Halen. Ibu harap suatu saat kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang selama ini tidak bisa ibu berikan untukmu."
"Sssttt... ibu bicara apa, sudah ku bilang kan, ibu adalah sumber kebahagiaanku, aku ingin tetap bersama ibu." Halen menjatuhkan dirinya di pelukan sang ibu. Cairan bening dari sudut matanya kembali menetes. Ia tidak bisa membayangkan jika suatu saat kehilangan sang ibu. Ia berjanji akan membahagiakan sang ibu.
Setelah sedikit reda, Halen kembali mengusap air matanya dan bangkit, ia menampilkan wajah ceria pada sang ibu. "Mulai sekarang, ibu tenang saja, ya? Karena Halen punya pekerjaan baru. Jadi ibu juga tidak perlu khawatirkan masalah biaya rumah sakit."
Mata Jeni melebar sedikit terkejut. Ia bukan tidak senang mendengar berita gembira dari sang anak. Tapi bagaimana bisa putrinya yang hanya lulusan sekolah menengah atas mendapat pekerjaan bagus? Meski begitu detik berikutnya ia mengulas senyum, ia tidak mengecewakan sang anak. Ia tidak boleh meremehkan putrinya sendiri.
"Kalau boleh tahu, kamu bekerja sebagai apa, sayang, dan dimana?"
"Aku bekerja di kantor, Bu." Jawab Halen dengan senyum lebar. "Di PT Atmaja Sejahtera Group."
Halen telah menanda tangani surat perjanjian kerjanya dengan Bryan. Selama Halen pura-pura menjadi adiknya demi menyenangkan hati kakeknya-- Halen juga mengajukan syarat pada Bryan. Ia ingin pria itu memberinya pekerjaan di kantornya. Dan pria itupun setuju.
"Di kantor?" Jeni memperlihatkan wajah tidak yakin.
Jeni mengangguk, "ada orang baik yang akhirnya memberiku kesempatan untuk bekerja di kantor."
Jeni sama sekali tidak ingin mematahkan kebahagiaan putrinya, namun di saat bersamaan ia juga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. "Siapa orang baik itu? Kenapa dia mau memberikan pekerjaan itu padamu?"
Sebenarnya Halen juga tidak begitu yakin dengan kebaikan Bryan. Tapi ia juga tidak sabar ingin memberikan berita gembira itu pada sang ibu. "Karena aku telah menolongnya juga dari kesulitannya." Jawab Halen masih dengan tersenyum. "Dan sebagai balas budi, ia memberiku pekerjaan."
"Oh... jadi seperti itu?" Jeni menghela napas lega, tadinya ia berpikir takut sang anak di tipu oleh seseorang. "Nak... ibu senang akhirnya kau bisa mendapatkan pekerjaan yang kamu idamkan, itu semua pasti berkat kebaikan hatimu." Puji sang ibu tulus. "Ibu hanya berpesan, kamu harus menjaga dirimu dengan baik."
"Itu pasti, Bu. Aku tidak akan melupakan nasehat ibu yang satu itu." Keduanya sama-sama tersenyum.
"Kalau begitu, apa boleh kapan-kapan ibu bertemu orang yang telah memberimu pekerjaan?"
Halen menggigit bibir bawahnya ragu. Tidak yakin apakah Bryan yang menurutnya sedikit arogan mau menemui sang ibu.
"Tentu saja, nanti akan ku coba tanya kan padanya." Meski begitu Halen tetap menunjukkan wajah optimis di hadapan sang ibu. Ia tidak ingin melihat raut khawatir dan sedih di wajah wanita paruh baya itu. Apapun akan ia lakukan demi sang ibu. Meskipun pekerjaan atau tantangan yang akan ia hadapi ke depannya bukanlah suatu hal yang mudah.
Menjadi adik dari seorang pengusaha muda yang terkenal dan dari keluarga konglomerat pastilah tidak mudah. Bahkan Halen tidak pernah membayangkan sebelumnya, yang ia tahu ia hanya ingin membahagiakan malaikat pelindungnya yaitu ibunya.
Untuk sementara waktu, Halen tidak ingin menceritakan masalah yang sebenarnya pada sang ibu. Paling tidak Samapi keadaan ibunya membaik. Biarlah saat ini ia ingin belajar mengahadapi masalah hidupnya sendiri.
***
"Kau sudah selesai?"
Halen mengangguk, dan masuk ke dalam mobil mewah yang tengah menunggunya di parkiran rumah sakit. Wajah Halen terlihat linglung, ia masih tidak yakin dengan semua yang akan di jalaninya ke depannya. Rasanya masih sulit mempercayai jika apa yang di alaminya saat ini bukanlah mimpi.
"Ken, jalan!" Titah Bryan pada asistent pribadinya yang sudah duduk di belakang kemudi. "Tapi kita mampir dulu ke mall."
"Baik, Tuan."
"Untuk apa kita ke mall?" Tanya Halen penasaran.
Bryan menatap Halen dari ujung kaki hingga rambut, membuat Halen sedikit risih. "Kau pikir, aku akan membawamu menemui kakekku dengan keadaan seperti ini?" ucapnya penuh nada sindiran. Halen menatap ke arah dirinya sendiri, benar juga, dirinya hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans murahan, tapi itu adalah salah satu pakaian terbaik yang ia miliki, ia beli dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Halen menghembuskan napas kasar, ia ingin sekali marah, tapi ia tahu harus menahan diri. Mulai detik ini ia sadar, bahwa pria yang duduk di sampingnya itu adalah Boss-nya. Jadi ia harus patuh dan tunduk dengan perintahnya seperti yang tertera di surat perjanjian.
"Mulai sekarang kamu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kami, karena kamu harus benar-benar bisa meyakinkan kakekku bahwa kamu benar-benar adikku yang telah lama hilang." Nada bicara Bryan terdengar dingin. Halen jadi penasaran sebenarnya apa yang di rencanakan pria ini? Selain tampan, dan kadang tersenyum mempesona, tapi pria ini juga menyimpan berjuta misteri.
Bersambung