BAB 7

1178 Words
“Jadi kamu sekarang berpihak pada Steve?” Dewinta masih memperpanjang pembicaraan ini. padahal Adam sudah berharap ia berhenti menyinggung masalah papanya dan kembali hangat seperti saat mereka baru bangun tidur. Tapi sepertinya perkiaraan Adam meleset. Hal ini jelas akan lebih panjang urusannya. “Aku hanya menilai permintaan papa tidaklah sulit. Sebuah permintaan klasik bagi orang tua untuk memiliki cucu dari anaknya –“ “Seharusnya kamu kan bisa pahami aku dulu. Pekerjaanku banyak dan kondisi tubuh aku juga belum baik untuk hamil. Kita sudah pernah bahas ini dan –“ “Iya dan aku mengerti. Aku tidak menuntutmu akan hal itu.” “Lalu kenapa kamu seolah menyetujui tingkah papa? Apalagi kamu juga sudah diam-diam berniat untuk datang ke rumah perempuan itu tanpa ijinku!” kesal Dewinta hingga ia tak bisa lagi mengontrol emosinya. Napasnya naik turun. Wajahnya memerah karena gelegak emosi. Adam menyadarai kesalahannya dan iapun segera bergegas menghampiri Dewinta untuk memeluknya. “Sudahlah..maaf sayang. Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu tahu kan aku hanya mencintaimu,” bujuk Adam pada Dewinta yang masih diam tak bergeming menahan airmatanya. Tentu terasa menyakitkan bagi Dewinta menerima tekanan ini. ia masih belum bisa menjadi istri yang sempurna sebelum masalah memberi cucu belum berakhir. Ditambah lagi tekanan dan fakta bahwa Adam telah menikah lagi dengan wanita yang tak punya masalah di dalam hidupnya. Tentunya jika Dewinta tak pandai-pandai membujuk suaminya dan mengendalikan suaminya, pasti dengan mudah Adam akan berpaling darinya. Keadaan ini tak khayal membuat Dewinta stress. Mati kutu tanpa bisa berleha-leha. Adam bersandar pada pundak istrinya untuk meminta pengampunan. Melihat perlakuan manis suaminya itu, tentu saja membuat Dewinta luluh dan berbalik memeluk suaminya yang tercinta. “Kamu janji tidak akan mengulanginya lagi?” Adam mengangguk seperti anak kecil. Menunjukkan puppy eyesnya yang menggemaskan. Tak tahan dengan hal itu, Dewinta tertawa kecil karena merasa terhibur. Sejenak bila berada di dalam dekapan Adam, ia bisa melupakan segalanya. Demikian pula dengan Adam yang selalu bisa merasa tenang bila bersama sang istri tercinta. Adam juga menyadari kesalahannya. Harusnya ia mendukung dan berada di belakang istrinya untuk bisa keluar dari tekanan papanya dab bukan malah sebaliknya. Saat ini Dewinta masih mengalami masa-masa sulit saat ia harus bisa tegar berbagi cinta dengan Renata istri keduanya. Walau Adam bisa pastikan bahwa ia takkan jatuh hati dengan Renata, tapi Dewinta tetaplah merasa dirinya tak berguna. Ia akan lebih terpukul menjalani kehidupan dimadu ini. “Kita harus berangkat kerja,” tegur Dewinta setelah puas memeluk suami sambil menghilangkan cecegukannya itu. Adam mengangguk lagi sambil mengelus lembut punggung dan rambut Dewinta yang halus bagai sutera itu. Hati mereka kembali hangat, tapi senyuman di wajah Dewinta seketika memudar dari balik punggung sang suami. Seperti sesuatu masih mengganjal senyumnya. Beraktifitas dengan hati yang buruk bukan dialami oleh Dewinta saja, tapi juga dengan Renata. Meskipun wanita itu telah membuat wajahnya dan tingkahnya seolah tak terjad apapun, tetap saja dia meraasa ada yang hilang ketika tak ada siapapun yang bisa ia bagi kebahagiaan saat dia bisa bekerja seperti yang ia impikan selama ini. Renata terus murung. Satu-satunya yang peduli mungkin akan keberhasilannya adalah Karen – sahabatnya yang cerewet dan usil itu. Meski Karen sudah ia beri kabar,tetap saja kebahagiaannya masih kurang karena tak ada kata selamat dari Adam suaminya. “Jadi dia membohongimu lagi?” pekik Karen di ujung teleponnya. Renata mengangguk, meski ia tahu Karen tidak akan melihat raut wajah sedih dan putus asanya itu. Karen yang sudah tahu seluk beluk pernikahan sahabatnya itu ikutan menghela napas ketika mendengar pagi ini Renata mengabarinya tentang pekerjaan itu. Dan sebagai sahabat, ia hanya bisa memberi dukungan pada Renata agar hari ini tak membuatnya murung dan putus asa. “Aku tidak bisa menghiburmu dengan kata-kata manis, tapi cobalah tersenyum pagi ini. Kau tahu suamimu seperti itu tapi masih saja percaya dengan omongannya,” omel Karen juga pada akhirnya. “Aku pikir ini berbeda karena dia yang menghubungimu langsung –“ “Mungkin itu permintaan mertuamu? Siapa yang tahu?” ucap Karen yang langsung menohok hati Renata. Itu bisa saja. Papa Steve yang memerintahkan hal itu. Kalau tidak, mana mungkin Adam mau datang ke apartemennya di saat bukan jadwalnya untuk datang. Renata bahkan yakin, bahwa kalau Dewinta tahu, dia pasti akan sangat kecewa dan marah. “Kau benar. Itu bisa saja karena mertuaku,” jawab Renata sembari mengakui kebenaran itu, walau belum pasti benar atau tidak. “SEkarang nikmati saja keberhasilanmu. Jangan pikirkan hal lain. Bukannya chefmu itu galak?” Renata baru saja menyetop bus untuk dia naiki. Karena terlalu asik menelpon dan mendengarkan sahabatnya, ia tak menyadari bahwa telah merebut kursi penumpang milik pria yang bersamaan datang dengannya. Renata yang masih tetap tak sadar telah dipelototin pun hanya beraut wajah nelangsa saja tanpa peduli perasaan pria yang sudah sangat jengkel itu. Dengan terpaksa ia mengambil duduk yang ada di belakang lalu meletakkan tas ranselnya di sana. Sambil iseng pria yang mengenakan topi itu duduk diam mendengarkan keluh kesah Renata yang masih menelpon itu. Meski ia ingin memejamkan matanya sejenak, tetap saja ia penasaran dengan apa yang membuat Renata berwajah nelangsa di hari penentuan ia akan bekerja atau tidak nantinya. “Iya. Chef marah dan memberi aku kesempatan nanti.” “Kalau begitu kau harus bisa membuatnya kagum dengan kemampuanmu Re!” semangat Karen di ujung teleponnya. Renata akhirnya menemukan alasan untuk dirinya tersenyum kembali. “Tentu saja! Aku akan tunjukkan kemampuanku untuk bisa membuatnya percaya bahwa aku bisa memasak. Tapi –“ “Tapi apa lagi?” keluh Karen yang bosan mendengar Renata kembali murung. Untuk bersahabat dengan Renata memang harus demikian. Mendengarkan segala permasalahannya adalah jalan ninja Karen untuk bertahan. Bukan tanpa alasan selama ini Karen masih bisa berteman baik dengan Renata meski perempuan itu bisa saja mengabaikan Renata yang terkadang tak sama prinsip dengannya itu. Tapi Karen menyadari, bahwa dari dulu Renata adalah sahabatnya yang mengerti dirinya. Suka maupun duka sudah mereka lewati saat masih kuliah dulu. Dan di saat Renata terpuruk karena masalah pernikahan dan hidupnya, mana mungkin Karen bisa meninggalkannya begitu saja? Meski terpisah oleh jarak dan Negara, Karen dan Renata selalu saling siap sedia untuk hadir mendengarkan. Meski cerita itu hanya akan membuat salah satu dari mereka tertidur bosan, tapi persahabatan itu takkan pernah terpisahkan. “Dia itu chef yang galak. Aku rasa dia lebih menyebalkan dari Adam,” keluh Renata tanpa tahu seseorang di belakangnya tengah mendengarkan dengan seksama meski wajahnya tertutup oleh topi. “Apa dia segalak itu?” “Iya. Dan juga sombong. Aku tak tahu dia sehebat apa, tapi dia benar-benar mirip dengan Adam. Astaga..kenapa aku selalu dikelilingi oleh pria seperti itu?” Karena merasa sudah tak tahan mendengar dirinya diceritakan, pria yang tak lain chef Demian itu menaikkan topinya. Dengan raut wajah kesal, ia menatap Renata yang hanya terlihat untaian rambut panjangnya itu saja. Demian sudah ingin bergerak menasehatinya, tapi dia mengurungkannya setelah kembali mendengarkan Renata berceloteh dengan teman ngobrolnya itu lagi. “Tapi paling tidak, chef masih lebih berhati daripada Adam. Aku akan mencoba menghadapinya kali ini. semoga saja, hati ini tak lagi dihancurkan oleh orang yang memiliki perangai yang sama dengan suamiku itu.” Demian terdiam sambil memikirkan sesuatu. . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD