BAB 8

1601 Words
“Yah..semoga saja. Aku yakin satu hari nanti kamu akan bahagia –“ Pembicaraan keduanya semakin emosional. Renata bahkan tak sadar sudah meneteskan airmatanya lagi. Tapi kali ini dengan cepat ia seka agar tidak merusak riasannya. Seperti yang ia katakan pada Karen sahabatnya. Hari ini adalah hari penting. Dia harus bisa bekerja sebagai di dapur restaurant terbaik itu apapun yang terjadi. “Kenapa pagi-pagi bicara tentang hal ini sih?” potong Renata, mencoba menghibur dirinya sendiri. Karen pun tak menampik bahwa obrolan mereka terlalu emosional. Padahal langit pagi hari ini begitu cerah. Renata menatap birunya langit. Awan berbentuk begitu eksentrik hingga ia bisa mengambil satu foto untuk ia unggah di social medianya pagi ini. Tak lupa caption yang bersemangat untuk menyemangati hatinya yang gersang. “Bunyi apa itu?” tanya Karen yang sejak tadi hanya mendengarkan Renata tanpa mengatakan apapun. “Aku sedang mengambil gambar.” “Oh..kalau begitu lanjutkan saja, aku ada sedikit pekerjaan,” sambung Karen sebelum akhirnya ia menutup teleponnya setelah sahabatnya itu menyetujui alasan pamitnya. “Baiklah..nanti kutelpon lagi,” tutup Renata sembari kembali menyelesaikan pekerjaan kecilnya. Yaitu memposting status di social media. Demian yang sejak tadi mengamati di belakang pun berhenti untuk kepo. Ia mulai terlihat bosan karena obrolan Renata dengan rekannya telahpun berakhir. “Hum..mulai membosankan,” gumamnya sambil bersandar mengamati rambut wanita itu di hadapannya. Sambil menguap menunggu bus yang membawa mereka sampai ke hoel, Demian kembali kepo memahami apa yang Renata katakan terakhir kali. #kilas balik “Dia pria yang galak!” “Aku harap aku bisa menaklukkannya atau paling tidak aku bisa nyaman bekerja dengannya –“ Demian menatap sinis ke arah Renata mengingat ucapannya itu, “Coba saja kalau kau bisa.” Lalu ingatan Demian beralih ke ucapan Renata selanjutnya. “Tapi paling tidak, chef masih lebih berhati daripada Adam. Aku akan mencoba menghadapinya kali ini. semoga saja, hati ini tak lagi dihancurkan oleh orang yang memiliki perangai yang sama dengan suamiku itu.” Pria yang dikenal dingin itu mengerutkan dahinya. Mulai memajukan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi. Tapi secara tak terduga, bus mendadak mengerem karena menghindari sesuatu. Mau tak mau semua penumpang panic dan akhirnya saling bertabrakan dengan apapun yang ada di hadapan mereka. Tak terkecuali Demian yang secara tak disengaja berbenturan kepala dengan Renata. Wanita itu mengaduh lalu memutar kepalanya ke belakang. Terlihat di kursi belakang, Demian yang tengah mengenakan masker mulut dan hidung juga mengeluh kesakitan setelah saling beradu kepala. “Oh! Maaf,” ucap Renata. Tapi bukankah seharusnya Demian yang harus mengatakan maaf? Demian sendiri hanya bisa menggaruk kepalanya sendiri karena tak mengerti dengan sikap Renata. “Apa dia sudah hilang akal?” Bus pun sampai di dekat halte hotel. Renata sempat berdiri sebentar di depan hotel sambil mengamati pintu masuk hotel itu. Di sanalah ia akan masuk ke dalam gerbang neraka jika ia tak bisa melakukan yang terbaik hari ini. Menyemangati dirinya sendiri, Renata mengepalkan kedua tangannya lalu meninju langit. “Kamu pasti bisa Renata! Fighting!” Teriakannya sempat menarik perhatian satpam yang berjaga. Menyadari hal konyol yang ia lakukan, Renata buru-buru menurunkan tangannya lalu bergegas masuk dari belakang hotel. Tapi belum ada dua langkah ia beranjak, Renata kembali berhenti setelah melihat seseorang yang ia lihat sebelumnya di dalam bus. “Orang itu..apa dia mengikutiku?” gumam Renata sambil mengingat bagaimana wajah pria tersebut cukup menyeramkan bagi Renata. Sesaat setelah kepala mereka saling terantuk, Renata sudah sangat ingin marah pada penumpang tersebut. Namun begitu ia berbalik, alangkah terkejutnya ia melihat mata dan penampilan pria yang serba mengenakan pakaian hitam bak penjahat seperti di film-film yang ia tonton di televisi, menatapnya dengan tajam. Tentu saja Renata langsung takut dan memilih meredam amarahnya. Ia langsung kabur dengan cepat begitu bus sampai di hotel. “Tunggu..apa dia marah padaku? Tunggu..kenapa dia berhenti dan menatapku di sini?” gumam Renata lagi yang semakin takut jika pria asing tersebut benar-benar menguntitnya. Padahal Demian berhenti di tempat tersebut untuk mencari ponselnya yang bordering. Tapi Renata yang menganggapnya berbeda malah berpikir Demian tengah menjalankan modusnya dengan berpura-pura menelpon seseorang. “Ba..bagaimana ini? apa dia orang jahat? Ta..tapi aku mana mungkin teriak sekarang jika belum punya bukti!” ucap Renata frustasi. Daripada mencari masalah dengan orang tersebut, Renata memilih cepat-cepat masuk ke dalam hotel agar jejaknya tidak diketahui oleh pria berbaju serba hitam itu. “Tenang Re. Kamu harus tenang.” Dengan hati yang berdebar-debar, Renata mencari keramaian agar mudah baginya untuk mendapatkan pertolongan. Setelah ia pikir sudah lolos dari kejaran pria berbaju hitam itu, Renata lekas ikut rombongan pekerja restauran bawah dengan menaiki lift. Semangatnya kembali membuncah begitu melihat para staf begitu bersemangat menjalani hari ini. Renata telahpun berangan-angan, ia juga akan segera mendapatkan kartu staff masuk seperti yang biasa mereka pakai untuk mulai bekerja. “Pasti menyenangkan,” pikirnya dalam hati. Pintu lift pun terbuka. Ada banyak sekali yang berebut masuk untuk mengejar ketertinggalan. Tiba gilirannya masuk ke dalam lift, Renata terkejut melihat pria berbaju hitam tersebut juga ikut masuk bersamanya. Jantung Renata kembali berpacu ketika tatapan bengis pria tersebut mengarah kepadanya. Reflex Renata bersandar pada lift dan nyaris terjatuh ke lantai karenanya. Beruntung ada yang menangkap tubuhnya hinga ia benar-benar tak terjatuh. “Kamu baik-baik saja?” Terdengar bisik-bisik dari para karyawan yang berada di dalam lift ketika melihat Renata nyaris oleng tadi. Menyadari situasinya menjadi ribut karenanya, Renata memilih keluar dari lift. Semua orang masih menganggapnya aneh karena lari ketakutan sendiri. “Ke..kenapa dia mengikutiku sampai ke sini?” gumam Renata yang memilih menggunakan tangga darurat ke lantai bawah. Renata begitu ketakutan hingga suara tetesan airpun ia menganggap suara pria tersebut. Hatinya terus gelisah tapi tetap saja tak tahu harus meminta pertolongan pada siapa. “Kenapa dia masih mengikutiku? Kenapa –“ Renata mendengar suara langkah kaki. Bulu kuduknya kembali meremang. Perlahan ia mencoba membuang rasa curiga itu dengan menganggap bahwa itu adalah suara tetesan air. Kemudian Renata mencoba melangkah namun kembali ia mendengar suara langkah di belakangnya. Renata berhenti untuk menoleh ke atas. Berharap suara langkah itu tidak pernah ada. Tapi baru saja ia membuat permohonan seperti itu, sosok pria berpenampilan serba hitam muncul tiba-tiba. Ia juga menuruni tangga dengan langkah yang cepat. Sontak saja Renata menjerit tak bisa lagi menahan rasa takutnya. teriakan itu dianggap aneh oleh Demian yang sebenarnya tak sengaja mengikutinya. Sebelumnya, Demian sudah masuk ke dalam lift. Akan tetapi, karena kelebihan muatan, iapun mengikuti jejak Renata yang memilih menggunakan tangga untuk sampai ke bawah. “Kenapa lagi dengan wanita itu?” gumam Demian yang melanjutkan langkahnya menuju restaurant bawah tanah. Begitu ia membuka pintu darurat, alangkah terkejutnya ia mendapatkan pukulan sepatu dari Renata yang menunggu Demian muncul dari pintu. Pukulan keras tersebut tepat mengenai kepala Demian hingga topi yang ia kenakan terpental. Tak cukup satu kali Renata memukul sambil menutup kepalanya itu. Demian yang tak terima dipukuli, memilih berteriak untuk menghentikan tingkah aneh calon stafnya itu. “Kenapa mengikutiku! Dasar penguntit! Pergi! Pergi!” “Hei! Siapa yang penguntit!” teriak Demian sambil menahan lengan Renata yang masih menggenggam erat sepatunya. Renata terkejut sekaligus takut. Ternyata terkaman tangan pelaku lebih kuat dari tenaganya. Apalagi secara keras juga, ia didorong ke dinding hanya untuk membuatnya berhenti memukul. “Kau penguntit! Kenapa mengikutiku –“ Renata membuka matanya lebar-lebar. Sosok menyeramkan yang tak ingin ia hadapi malah muncul di hadapannya. Demian langsung murka begitu Renata menyebut namanya tak percaya. “Che..chef Demian?” “YA! KENAPA MEMUKULIKU? AKU BUKAN PENGUNTIT!” Demian murka. Pagi itu ia benar-benar marah melihat kelakuan Renata yang tak bisa ia habis pikir itu. Sedangkan si pelaku pemukulan – Renata Wilhelmina -- kini hanya bisa berdiri seperti jelly karena telah melakukan dosa dan kesalahan besar di seumur hidupnya. Apalagi kekhilafannya itu ia tujukan pada orang yang amat sangat ia hindari berkonflik dengannya. Tanpa perlu menunggu kelanjutan ungkapan kemarahan seorang Demian, langsung saja Renata membuang sepatunya kemudian mengusap-usap tangannya seperti anak kecil memohon pengampunan. “Ma..maaf chef.. Sa..saya –‘ “Apa kamu sedang kehilangan akal? Kenapa bisa menganggapku penguntit? Hah!” Renata menjewer telinganya sendiri sebagai bentuk rasa bersalah karena telah menganggap bosnya itu demikian. Tapi Demian tetap tak bergeming maupun berniat untuk berhenti bicara setelah melihat kelakuan Renata yang memohon pengampunan. “Ma..Maaf chef. Saya kira chef penguntit karena terus mengikuti saya dari bus –“ “Hei..apa kamu pikir Cuma kamu yang naik dan turun dari bus untuk sampai ke hotel ini? apa kamu tidak bisa berpikir ke situ?” Renata sampai merinding melihat bagaiman Demian memarahinya dengan keras. Seperti yang ia sempat katakan sebelumnya. Sepertinya..berharap Demian jauh lebih baik dari Adam agaknya harus pupus. Karena ternyata Demian lebih mengerikan daripada Adam. “I..iya chef maaf. Saya memang sedang hilang akal.” “Pulang!” perintah Demian sambil balik badan karena tak ingin melihat Renata merengek. Mendengar perintah tersebut, sontak Renata terkejut. Ia tak menyangka, Demian sampai semarah itu. “A..apa? cheef..itu –“ “Moodku jadi buruk karena hal ini! Mengerti? Jangan pernah..muncul lagi di hadapanku, atau bahkan berani masuk ke dapur! Paham?!” bentak Demian sembari mengutip topinya. Renata jelas terguncang. Ia tak menyangka hari ini begitu buruk baginya. Harapannya untuk bisa memulai kehidupan baru, ternyata pupus begitu saja. Renata benar-benar tak bergeming mendengar ucapan Demian yang tengah meledak-ledak itu. Dengan bercucuran airmata, Renata berlari mengejar chef muda itu kemudian menghentikan langkah Demian yang hampir sampai ke pintu masuk dapur. “Chef..beri saya kesempatan untuk menebus kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya seperti ini chef –“ “Kamu belum resmi bekerja di sini. Jadi aku bukan memecatmu, tapi menyuruhmu untuk pulang,” ucap Demian menjelaskan lebih rinci teriakannya tadi. Renata..langsung tak bisa berkata apapun lagi. Dunia barunya hancur berkeping-keping begitu saja di hadapan Demian. . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD