Bab 5. Idola Baru Alana

1030 Words
Alana akhirnya bisa berdamai dengan mamanya, memulai menegur mamanya hari ini. Dia masuk ke dalam kamar mamanya pada malam hari, mendapatkan mamanya sedang membersihkan wajah di depan cermin. Alana merangkul mamanya dari belakang. “Hm….” Tasmara usap-usap lengan Alana yang menggantung di lehernya. “Kamu mau apa?” Alana menggeleng, “Aku mau minta maaf sama Mama. Aku sudah bikin Mama jengkel dan kesel.” Tsamara menarik ke atas lengan Alana, memutar kursi dan menghadap Alana, perasaannya bahagia mendengar ucapan maaf dari Alana yang dikenal keras kepala. Tsamara menampuk sepasang pipi Alana dengan kedua tangannya. “Mama selalu memaafkan kamu, Lana, walaupun kamu tidak mengucapkannya. Mama sayang kamu. Kamu adalah mutiara yang paling berharga dalam hidup Mama. Mama melakukan semua ini dan melewati hari-hari sulit Mama demi kamu seorang.” Alana mengangguk tersenyum, dia benar-benar merasakan kebahagiaan hari ini. “Aku telah bertemu Damian Rubiantara.” Wajah Tsamara langsung pucat dan kecewa, dan Alana menyadarinya. “Alana?” “Aku diterima magang di perusahaannya.” Tsamara memegang dadanya, wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir. “Tenang, Ma. Aku nggak bilang apa-apa kok.” Alana menepis pikirannya seandainya dia mengatakan bahwa dia bertemu Damian ke mamanya sekarang. Cepat-cepat dia mengalihkan pikirannya dan bersikap manis kembali. “Aku sangat bersyukur memiliki Mama, yang gigih memperjuangkanku,” balas Alana dengan sikap tenang. “Tentu saja, Alana. Tidak perlu ada pihak lain. Percayalah, kita adalah perempuan-perempuan kuat. Kamu sangat berharga, dan jangan pernah merasa rendah diri.” Alana hampir melupakan satu hal. “Aku sudah punya pacar sekarang.” “Ha? Alana? Benarkah? Siapa pria yang beruntung itu? Natta?” “Haha, Mama. Tebakan Mama selalu benar. Siapa yang mau menerima aku apa adanya selain dia.” “Jangan terlalu dipikirkan soal papa. Kamu tetap tumbuh cantik dan pintar tanpa papa.” Tsamara tersenyum puas. “Mama sangat berharap Natta bisa membimbing kamu menjadi lebih lebih lebih baik lagi.” Alana memeluk mamanya erat, perasaan bahagianya berubah gamang, antara senang telah bertemu Damian dan kecewa karena dia sudah menjadi kekasih Natta. Tidak tahu kenapa, Alana malah berharap Damian bukan papa kandungnya. *** Malam ini Alana tidak bisa tidur memikirkan Damian, idola barunya. Dia memeluk guling dengan mata terpejam, tapi pikirannya malah tertuju ke Damian. Aroma guling berubah menjadi aroma tubuh Damian. “Ada apa denganku? Aku tidak menginginkannya, tapi aku menginginkannya. Dia papaku? Bukan papaku? Papaku? Bukan. Ah.” Alana menggigit bibirnya kuat-kuat, merasakan desakan dalam tubuhnya yang begitu nikmat, ada yang mengalir di bawah tubuhnya. Dia merasakan rangsangan hebat ketika pikirannya tertuju ke Damian. Perlahan, tangannya menyelip ke sela paha. “Ck.” Alana berdecak, bunyi ponsel mengganggu pikirannya. “Ah, Natta.” Alana ragu-ragu membalas pesan Natta. Alana menggeleng dan merasa konyol akan dirinya. Lalu dia bangkit dari rebahnya, berjalan menuju kamar mandi dan mencuci tangannya yang licin akibat lendir dari miliknya, karena memikirkan Damian. Alana kembali ke tempat tidur, rebah sambil memegang ponsel dan memainkannya. “Alana… hei, maaf ganggu tidurmu. Kenapa nggak bales pesan-pesanku?” “Aku magang hingga sore, Natta. Capek.” Natta terkekeh. “Seandainya aku di sana, aku sudah ada di sisimu, memijatmu.” Alana tertawa kecil, tapi hatinya tidak menginginkan kehadiran Natta. “Sebaiknya kamu nggak perlu datang ke sini saat liburan. Sayang sayang uang. Lebih baik kamu tabung … untuk masa depan kita.” Alana tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Tapi kata-katanya cukup membuat Natta senang, terlihat dari wajah cerahnya. “Ah, Alana. Kamu cantik dan pandai juga merayu. Jangan bikin rindu aku semakin dalam.” “Aku adalah orang yang selalu berpikir ke depan.” “Dan ambisius.” “Ya.” “Baiklah, Nona manis. Kamu perlu tenaga buat magang besok, dan harus tidur segera.” “Iya, Natta.” “Always love you.” “Me too.” Alana menghela napas panjang, dia tidak ingin percakapan panjang. Mendapatkan panggilan dari Natta membuyarkan lamunannya, tapi dia akhirnya bisa tertidur juga. *** Alana tersenyum melihat tubuh mamanya yang masih terbalut jubah mandi dan lilitan di atas kepalanya. Wanita itu sedang mempersiapkan sarapan paginya, juga sarapan pagi untuk Alana. “Roti panggang daging asap spesial pagi ini. Biar Alana, anak kesayangan Mama, semangat menjalani hari-hari.” Alana masih dengan senyum lebar di wajahnya. “Terima kasih, Mama.” Dia mendekati mamanya dan mencium pipi mamanya. “Bagaimana kuliah kamu? Apa sudah tahap akhir?” tanya Tsamara. Karena hubungannya dengan Alana agak sulit, dia jadi sangat jarang mengajak Alana berbincang tentang kuliahnya. “Iya, Ma. Aku bingung milih magang atau membuat laporan akhir.” Tsarama menuangkan s**u segar ke dalam gelas Alana. “Menurut Mama lebih baik menulis laporan akhir, kamu nggak terikat dengan rutinitas sehari-hari, dan waktu bisa kamu atur sendiri. Dalam waktu dua atau tiga bulan, kamu akan menyandang sarjana ekonomi. Kalo magang, kamu terjebak dalam rutinitas dan agak lambat menyelesaikan kuliah.” Alana menghela napas pendek, dia sudah memulai magang, tapi dia tidak mau berterus terang. Ada kekhawatiran besar jika dia mengaku kepada mamanya bahwa dia sudah mulai magang di Rubiantara Group. Alana yakin, mamanya pasti akan memarahinya dan mungkin saja akan melarangnya. Alana tidak mau pertengkaran besar terjadi lagi di antara dirinya dan mamanya. “Ok.” Hanya itu yang ke luar dari mulut Alana, dan tentu membuat Tsamara terheran-heran. “Kamu sebenarnya suka yang mana?” “Magang.” “Ya, kalo kamu yakin dengan itu, silakan saja. Tadi Mama hanya beri kamu pandangan. Dengan memilih menulis laporan, maka lebih cepat kamu selesai kuliah, lebih cepat pula kamu mendapat pekerjaan tetap. Hm … atau … kamu ingin Mama bikinkan usaha?” Tampaknya Tsamara benar-benar ingin memperbaiki hubungan dengan putri semata wayangnya. Alana memandang sarapannya dengan perasaan galau, tapi akhirnya dia mulai memainkan garpu dan pisau, lalu menyantapnya. “Hari ini kamu mau ke mana? Bertemu Fiza?” Alana menggeleng. “Aku akan pergi ke kampus, dan seperti kemarin, aku akan pulang sore.” Tsamara menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. “Lusa Mama akan berangkat ke Samarinda. Ada janji dengan klien Mama di sana.” “Berapa lama?” tanya Alana, berpura-pura cemas, padahal hatinya riang gembira, bisa bebas bersikap selama mamanya pergi. “Dua bulan.” “Kok lama?” Ternyata lebih dari Alana perkirakan, dan dia pun jadi benar-benar cemas. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD