Cepat-cepat Difa membantu Alana memperbaiki printer yang tiba-tiba macet.
“Kamu ada apa, sih? Sejak pagi kamu aku liat nggak fokus,” gerutu Difa, dan dia juga yang akhirnya mengerjakan pekerjaan Alana.
“Nggak apa apa-apa, mamaku sedang di Samarinda, jadi … aku kepikiran saja.”
Difa berdecak kecil, jawaban yang sukar dia percaya.
“Nih.” Difa memberikan dokumen-dokumen yang sudah dicetak kepada Alana setelah dia susun rapi.
“Aku ke ruang Pak Damian dulu,” ujar Alana. Dokumen tersebut memang harus diserahkan ke Damian siang ini.
Difa mengangguk.
“Hati-hati, Lana. Fokus, nanti kamu bisa nabrak orang lo.” Entah kenapa Difa merasa khawatir dengan Lana yang terlihat linglung saat ke luar dari ruang kerja. Tapi dirinya mulai agak curiga, menyadari satu hal bahwa Lana selalu menunjukkan semangat jika pergi ke ruang Damian.
Difa tidak mengenal Alana, meskipun mereka kuliah di kampus yang sama. Dia tentu mengenal Alana di awal magang. Menurutnya Alana adalah gadis yang baik, tapi terkadang menyebalkan. Alana pandai menghindar dari pekerjaan yang kurang menguntungkan baginya. Gadis itu senang mendapat pekerjaan yang praktikal, tapi di saat Putri menanyakan pencarian data, Alana terkesan menjauh dan pura-pura mengerjakan tugas lain. Mau tidak mau, Difa juga yang menyelesaikan. Untungnya, Difa senang melakukan tugas yang berkaitan dengan internet dan komputer.
Difa termenung beberapa saat, memutar memorinya mengenai apa yang dia lewati bersama Alana dalam waktu kurang lebih dua minggu belakangan. Dia terhenyak, menyadari sesuatu, bahwa Alana menunjukkan wajah penuh rencana di saat membicarakan tentang Damian. Difa membuang prasangka buruknya, ketika menduga Alana yang mungkin saja mendekati Damian. Dia mengingat percakapannya dengan Alana mengenai anak-anak Damian.
“Nggak mungkin,” gumam Difa menepis kecurigaannya. “Tapi … Alana cantik,” gumamnya lagi. Difa menggeleng dan melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu Alana melangkah tergesa-gesa menuju kantor Damian. Suara desis sepupu Damian yang bernama Winda masih jelas di telinganya, membuat jantungnya keras berdetak dan perasaan takutnya muncul lebih dahsyat. Ingin mundur, tapi sepertinya sudah tidak bisa lagi. Langkah ini sudah jauh, posisinya sudah sangat dekat dengan Damian.
Bruk.
“Hei. Pelan-pelan!”
Alana terkejut bukan main, dia menabrak tubuh besar dan tak lain adalah Damian. Saking terkejutnya, lembaran dokumen yang dia pegang berhamburan ke mana-mana di atas lantai.
“Bukankah Bapak ….” Alana tiba-tiba merasa pusing, seingatnya Damian sedang menuju gedung seberang, tapi dia tidak menyangka bertemu di depan pintu kantor Damian.
“Hei, hei. Bangun … bangun.”
Damian pergi meninggalkan tubuh lunglai Alana dan lembaran dokumen yang bertebaran di atas lantai, mencari bala bantuan. Sebentar saja, muncul Putri dan seorang staff laki-laki. Damian langsung menyuruh sekretarisnya itu mengambil dokumen-dokumen yang berserakan dan menyuruh dua laki-laki mengangkat tubuh lemah Alana.
Tampaknya Alana masih agak sadar di tengah tubuhnya yang terasa sangat lemah, dia mengerang saat tubuhnya diangkat, mengulurkan tangannya ke arah Damian dan memanggilnya. “Papaaa! Papaaa!”
Damian terkejut, juga Putri.
“Bawa dia ke ruang kesehatan!” seru Putri ke kedua staff laki-laki itu yang sempat kaget mendengar Alana memanggil Damian dengan “papa”.
Putri lalu beralih ke Damian dan Damian mengajaknya memasuki ruang kerja.
“Siapa nama gadis magang itu?” tanya Damian ke Putri setelah menandatangani dokumen-dokumen.
“Namanya Alana, Pak. Dia kerja di ruang Difa,” jawab Putri sambil memeriksa semua dokumen dan menyusunnya dengan rapi.
“Dari kampus mana?”
“Universitas Nusantara 1, Pak Damian.”
“Oh.”
“Saya mohon diri dulu, Pak,” pamit Putri tiba-tiba.
“Ya, silakan.” Damian mengangguk mempersilakan.
Tatapan Damian kosong ke pintu kantornya yang ditutup Putri dari luar. Dia menghela napas panjang, mengingat kejadian barusan. Entah kenapa suara Alana yang memanggil dirinya “Papa” menyentuh perasaannya. Gadis itu seperti sungguh-sungguh memanggilnya, tapi kenapa? Damian jadi tertarik ingin tahu.
***
Akhirnya Alana benar-benar merasa sendiri di rumah besarnya. Matanya kosong tertuju ke layar televisi yang menyala. Dia merasa dirinya sangat konyol ketika mengingat kejadian menabrak Damian siang tadi di kantor. Dia tidak bisa mengontrol diri saat lemah dan pingsan, sehingga dia memanggil papa kepada pria itu, yang tidak melakukan apa-apa terhadap tubuhnya yang pingsan. Bukannya langsung menolong, pria yang dia duga adalah papanya itu malah memanggil orang lain. Padahal dirinya sangat berharap diperhatikan dan digendong pria gagah itu.
Alana menggigit bibir bawahnya dengan perasaan kesal ketika mengingat orang-orang yang mengurusnya di ruang kesehatan, berbisik-bisik membicarakan dirinya yang memanggil Damian dengan “papa” saat pingsan. Alana juga kesal, karena Damian tidak menaruh simpati kepadanya, bahkan tidak melihatnya saat terbaring lemah.
“Dia nggak pantas jadi papaku,” geram Alana. Tapi wajahnya berubah senyum mengingat betapa Damian sosok pria idamannya. Rasa kagum itu langsung menghilangkan kegelisahan dan perasaan jengkel terhadap pria itu. Alana masih berharap dia bisa bicara empat mata dengan Damian, dan menjelaskan siapa dia sebenarnya.
Tidak tahu kenapa Alana tergerak menghubungi Natta, tapi dia berdecak karena tidak bisa menghubungi Natta. Alana terhenyak tersandar di sandaran sofa, dia benar-benar sendirian.
***
Sudah tiga hari Nirmala berada di rumah kedua orangtuanya di kota kelahiran. Dia merasa sangat bahagia melihat papanya yang jauh lebih sehat dari pada sebelumnya, ketika hari pertama dia tiba. Pak Poernama juga mulai mau diajak ke luar halaman belakang, sekadar mencari udara segar pagi, dan dua cucu kesayangannya yang menemani.
“Jadi Nevan masih di Singapore ya, Ma?”
“Iya, Wen. Tahu sendiri kalo opa Hanz ketemu Nevan, pasti ditahan lebih lama.”
Wenny tertawa renyah membayangkan adiknya yang dikenal ceriwis dan pintar semasa kecil.
“Alaric bagaimana, Ma?” Jeanny tertarik menanyakan si ganteng Alaric.
“Ya, dia baik dan—“
“Masih manja kayak dulu, ya?” potong Jeanny cepat.
“Masih sekali-kali.”
Mendengar nama Nevan disebut-sebut, Poernama jadi ingin ikut berbincang membahas cucu-cucunya. Wajah kerutnya menunjukkan keceriaan. “Apa Alaric masih suka ngompol, Mala?” tanyanya.
Tentu pertanyaan kakek Poer mengundang tawa.
“Haha, Kek Poer. Alaric itu sudah besar sekarang, dan nggak ngompol lagi,” tegur Jeanny sambil memeluk leher kakeknya, dan mencium pipi kerutnya gemas.
“Ah, iya. Kakek lupa, Jeanny,” ujar Poernama.
Melihat keadaan papanya, Nirmala tergerak ingin membawa anak-anaknya ke rumah papanya. “Aku akan ajak mereka saat liburan, Pa.”
“Iya, Mala. Sudah lama anak-anakmu tidak ke mari. Jangan lupa ajak Damian.”
“Tentu saja, Pa. Aku akan ajak Damian.”
Tidak terasa bercanda, mereka tiba di teras belakang. Ada nenek Rahmah yang sedang menyiapkan kue-kue dan minuman hangat.
“Jeanny, Wenny. Kalian masuk dulu, ya? Nenek dan kakek ingin bicara bertiga,” ujar Rahmah ke Jeanny dan Wenny. Dengan patuh, kedua kakak beradik itu langsung masuk ke dalam rumah.
Bersambung