Bab 7. Kecewa Natta

1038 Words
Tubuh Nirmala langsung menghangat mendengar bujuk rayu Damian, dia berdiri dari duduknya, mendekatkan tubuhnya pasrah ke wajah Damian, dan Damian menyambut hangat selangkangannya untuk dia nikmati. “Hm … ini makan malam keduaku, yang akan menghilangkan penatku, resahku—“ Damian mulai meracau, disertai rangsangan hebat yang menjalar ke sekujur tubuhnya. “Yang akan membuatku benar-benar kenyang.” Nirmala mendesah, meremas rambut tebal Damian, jiwa dan raganya bergejolak ketika merasakan lidah Damian yang bermain lincah di seputar liangnya, membuat dirinya ingin disentuh lebih dalam. Perlahan dia menarik tubuhnya dari wajah Damian, duduk mengangkang di atas tubuh Damian, membiarkan anggota besar suaminya memasuki tubuhnya. “Ah, Mala. Selalu nggak pernah gagal membuaiku.” Mala bergoyang, seraya menatap wajah letih Damian, dengan kedua tangannya menumpu di sepasang bahu kokoh Damian. “Maafkan aku yang nggak bisa kamu percaya,” ujar Damian, memeluk erat tubuh istrinya dan menggerak-gerakannya naik turun di atas tubuhnya. Nirmala mendesah lagi, menggigit bibirnya merasakan milik suaminya menghujam tubuhnya berulang-ulang, semakin lama menekan, semakin nikmat dirasakannya. Seketika kamar mandi menghangat, hanya terdengar desah dan erangan nikmat dari sepasang suami istri yang saling mencintai disertai bunyi riak air rendaman yang tidak lagi berbusa. *** Sudah satu minggu Alana menjalankan magangnya, sudah satu minggu pula dia merasakan keresahan, Damian jarang ke kantor, jika datang, hanya beberapa jam saja, lalu kemudian pergi menghadiri berbagai kegiatan terkait perusahaan. Yang membuatnya uring-uringan, hari ini dia melihat dua anak Damian datang ke kantor dan mereka masih memakai pakaian seragam sekolah mahal. Kedengkian mulai muncul kembali dan dia sekuat tenaga menahan emosi buruk. Lebih mengherankan lagi, keduanya mengenal Difa dengan akrab. “Sampai ketemu ya, Ric,” ujar Difa ke Alaric setelah Alaric menyalami dan mencium punggung tangannya. Anak laki-laki itu baru saja diajari Difa sebelumnya. “Iya, Kak Difa,” balas Alaric sebelum pergi meninggalkan ruang kerja Difa. “Mereka kenal kamu?” tanya Alana hati-hati. “Ya, aku guru privat matematika mereka berdua.” “Oh, ya?” Difa mengangguk kecil. “Baru dua kali pertemuan. Bu Putri menawarkan ke pekerjaan itu ketika kita baru lulus magang.” “Wow. Jadi kamu datang ke rumah Pak Damian?” “Ya. Hanya selama musim ujian. Guru privat mereka yang biasa mengajar baru menikah dan akan kembali dua bulan mendatang. Aku hanya pengganti sementara. Aku harus pintar-pintar memilih waktu tepat, antara magang dan mengajar mereka.” “Nakal nggak?” “Ya, sejauh ini, hm … kurang ramah sih, ya karena mungkin baru mengenalku saja.” “Yang mana yang kamu suka? Yang laki-laki atau yang perempuan?” Difa tersenyum kecil. “Aku lebih suka yang bungsu, gampang diatur.” Alana mengangguk-angguk, tapi isi kepalanya dipenuhi rencana-rencana, tentu saja dia menyembunyikannya dari Difa. *** Alana mau tidak mau menerima panggilan dari Natta sore ini, Natta sedikit mengancam putus jika Alana ogah-ogahan dengan hubungan asmara yang baru saja terjalin di antara mereka. “Aku ngerti kamu sibuk magang, tapi sekadar membalas? Masa sih nggak ada waktu? Coba kamu cek hape kamu sekarang, mungkin ada puluhan pesan dan ratusan missed called dari aku, dan nggak pernah kamu balas,” cecar Natta kesal. Alana terdiam, sibuk memikirkan perasaannya. “Baiklah, kalo kamu nggak sabaran. Kita putus saja.” “Alana!” Alana langsung mematikan ponselnya dengan perasaan kesal dan marah. Dia memang mengabaikan Natta dalam seminggu ini, karena sibuk memikirkan bagaimana mendekati Damian dan mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya. Entah kenapa dia merasa jengkel dengan semua ini, tidak ada tempat untuk mengadu, Fiza? Dia yakin Fiza tidak pernah mendukung rencananya, karena tidak mau terlibat lebih jauh dalam kehidupan konglomerat. Pengecut, begitu Alana menggelari Fiza sekarang. Sepertinya dia memang harus berjuang sendirian. *** Ternyata Natta menghubungi Fiza dan mengeluhkan sikap Alana yang tidak mengacuhkannya sejak beberapa hari jadian. Natta kesal karena dengan persoalan ini dia jadi kurang fokus dengan laporan akhirnya. Dia beberapa kali harus menunda-nunda akibat dirinya yang kurang fokus. “Dia juga nggak hubungi aku, Natta. Pokoknya sejak dia mulai magang di Rubiantara dia nggak lagi kontak aku.” Natta menghela napas berat, bingung harus apa. Alana sudah memutuskannya. “Dia mutusin aku, Fiza.” “Ya ampun Lana.” “Entahlah, aku … apa aku harus pulang ke Jakarta dan menemuinya lalu meyakinkannya? Mungkin dengan bertemu langsung dia bisa berubah pikiran?” “Jangan dulu, Natta. Kamu harus tenangin diri kamu. Hm … oiya, apa dia pernah cerita tentang papa kandungnya?” tanya Fiza tiba-tiba. Natta terhenyak. “Nggak,” jawabnya dan dia mulai merasa was-was. “Natta. Dia itu ingin bertemu Damian Rubiantara.” Natta menggeleng tidak mengerti, dia perbaiki posisi ponselnya di telinganya. “Pengusaha besar itu? Maksudnya?” “Kamu tahu, ‘kan selama ini dia selalu ingin tahu siapa papa kandungnya. Dia cerita kepadaku kalo mamanya cerita ke dia bahwa Damian Rubiantara adalah papa kandungnya.” Natta mengurut keningnya, “Masa sih? Bukannya Damian itu sudah punya istri dan anak-anak.” “Ah, Natta. Orang-orang juga tau kalo mamanya Alana itu dulunya PSK kelas atas. Aku sebenarnya nggak yakin, tapi kalo diliat-liat memang Alana sekilas mirip Damian. Tapi aku tetap meragukannya. Aku sebenarnya khawatir dia dapat masalah aja sih. Terlalu berani kalo mengaku-aku sebagai anak kandung pembesar,” ujar Fiza panjang lebar. “Ya, kalo memang dia ingin memastikan bahwa Damian adalah papa kandungnya, kenapa dia cuekin aku, Fiza? Kenapa dia nggak cerita ke aku?” Fiza yang berada di Jakarta tersentak mendengar pertanyaan Natta mengenai sikap aneh Alana, tersadar bahwa Alana tidak seharusnya mengabaikan Natta. Dia jadi mencurigai keadaan Alana sekarang dan ingin tahu kenapa sahabatnya itu tiba-tiba berubah sikap. “Natta. Terserah kamu, tapi menurutku lebih baik kamu terima saja kenyataan bahwa Alana sudah mutusin kamu. Kalo suatu saat dia ingin balikan, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi. Mumpung perasaan kamu nggak terlalu jauh—“ “Maksud kamu?” “Entahlah … aku akan cari tahu, dan aku akan hubungi kamu sesegera mungkin. Kamu lebih baik fokus penelitian, jangan sampai apa yang sudah Lana perbuat membuat kamu mundur dan kuliah jadi kacau. Kamu pilih … dia atau masa depan kamu.” Natta yang berada di kota Zurich terdiam cukup lama, pikirannya mendadak sangat berkecamuk, dia sudah menunggu kesediaan Alana untuk menjadi kekasihnya sangat lama, bahkan bertahun-tahun, dan sekarang dia sudah mendapatkannya, tapi tidak lama berselang, Alana sepertinya mulai berulah. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD