Zevannya menekan bel apartemen Nasya berkali-kali. Tentu saja wanita itu tidak mungkin kembali ke rumahnya dalam keadaan sekacau sekarang. Rambutnya masih setengah berantakan, baju yang dikenakan juga lusuh. Leher jenjang wanita itu hampir sama dengan milik Adrian, penuh dengan bercak merah keunguan.
“Astaga, siapa sih yang berisik banget di hari libur begini?” omel Nasya sambil membukakan pintu untuk Adrian. Wanita itu tampak acak-acakan khas orang bangun tidur. Tubuh Nasya bahkan masih terbalut dengan piyama bermotif bunga-bunga.
“E-eh … Bu Bos?” Nasya langsung mematung saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Zevannya tidak menanggapi keterkejutan Nasya. Wanita itu menyelonong masuk ke dalam apartemen sekretaris sekaligus sahabatnya itu. Nasya cepat-cepat mengikuti langkah Zevannya, dan menutup kembali apartemen tempatnya tinggal.
“Bukannya semalam kamu janji untuk menyusul saya ke pesta kantor? Bagaimana bisa kamu membiarkan saya dibawa pergi laki-laki asing begitu saja?” cecar Zevannya dengan nada serius. Dia bahkan sampai menyebut dirinya dengan begitu formal.
Nasya jelas ketakutan. Dia tahu pasti kalau apa yang dilakukannya semalam ternyata sebuah kesalahan besar. Dengan gerakan hati-hati, dia segera duduk di dekat Zevannya dengan wajah yang setengah tertunduk. Dia sampai tidak berani menatap wajah wanita yang lima tahun lebih tua darinya tersebut.
“Dia bilang, dia mengenali Ibu, makanya saya membiarkan lelaki itu bersama Ibu. Dia tidak bilang kalau mau membawa Ibu pergi, katanya hanya ingin bicara berdua,” cicit Nasya dengan wajah yang masih menunduk. Dia benar-benar merasa bersalah.
“Kamu langsung percaya begitu saja dengan kata-kata lelaki itu? Memangnya kamu tahu, dia itu siapa?” tanya Zevannya dengan nada ketus. Wajahnya tampak sangat tidak ramah.
Nasya menggeleng pelan penuh keraguan. Ya jelas saja dia tidak tahu lelaki itu siapa, Nasya baru pertama kali melihat wajah Adrian. Belum lagi cahaya lampu yang tidak terlalu terang, hal itu membuat penglihatannya sedikit terganggu. Dia hanya bisa menebak, kalau lelaki itu bukan lelaki sembarangan.
“Dia mantan suami saya, Nasya.” Zevannya menjelaskan. Kali ini nada bicaranya sedikit lembut.
Nasya yang semula menunduk langsung menatap Zevannya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Rasa bersalahnya semakin besar, karena dia tahu pasti apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Dia bahkan sampai menutup hatinya rapat-rapat untuk semua lelaki karena rasa trauma yang terus mengejarnya. Apalagi semalam Nasya sempat berharap lelaki itu menjadi jodoh masa depan Zevannya. Sekarang juga dia meralat apa yang diinginkannya semalam. Nasya tidak rela Zevannya kembali terluka karena sosok lelaki yang sama.
“Maafin saya, Bu. Saya sama sekali nggak tahu kalau lelaki itu ternyata mantan suaminya Ibu. Sumpah,” ucap Nasya dengan nyalinya yang semaakin menciut. Dia tidak mau sampai Zevannya murka. Apalagi dia baru beberapa bulan kerja sebagai sekretaris wanita itu.
“Semua sudah kejadian. Saya marah juga nggak mengubah apapun. Masalahnya, kami semalam melakukan hubungan terlarang. Bahkan saya yakin, saya sudah menyerangnya habis-habisan. Rasanya saya ingin menenggelamkan diri saya ke laut. Saya tidak memiliki muka lagi untuk bertemu dengan dia. Pertemuan macam apa ini? Setelah sepuluh tahun berpisah, kami justru berakhir dengan bergumul di atas ranjang.” Zevannya tampak begitu frustrasi. Dia memijat keningnya untuk sekedar mengusir rasa pening yang mendadak menyerang.
“Wajar, sih.” Nasya berucap secara tidak sengaja.
“Wajar? Maksud kamu apa, Nasya? Kamu ngatain saya?” Zevannya yang tadinya sudah mulai tenang kembali meledak.
“Bu-bukan, Bu. Maksud saya, wajar Ibu menyerang mantan suami Ibu sampai seperti itu, soalnya Ibu semalam dibawah pengaruh obat. Ibu bahkan hampir saja digrepe-grepe sama pak Leon,” ucap Nasya mengadu.
“Leon? Maksud kamu? Saya semalam bukan karena mabuk?”
“Iya … itu … Ibu begitu karena pengaruh obat yang dikasih sama pak Leon ke minuman Ibu. Beruntung saya cepat datang, dan menggagalkan rencana pak Leon untuk melecehkan Ibu.”
“Tidak beruntung juga. Leon memang gagal melecehkan saya, tetapi mantan suami saya justru berhasil meniduri saya,” omel Zevannya masih kesal.
“Untuk itu, saya benar-benar minta maaf, Bu. Saya juga tidak menyangka kalau kalian berdua sampai melakukan itu,” cicit Nasya meminta maaf.
“Sudahlah, lupakan saja. Walaupun semalam merupakan hal buruk buat saya. Sekarang saya boleh minta tolong? Tolong buatkan saya sarapan. Saya sangat lapar,” pinta Zevannya kemudian.
“Siap. Saya akan membuatkan sarapan spesial untuk Ibu Zevannya. Ibu mau makan apa?” tanyanya kemudian.
“Apa saja, yang penting jangan kamu kasih racun di makanannya.”
“Ibu bisa saja. Tunggu sebentar, Bu. Saya akan membuatkan sarapan untuk Ibu. Sambil menunggu, Ibu jug bisa membersihkan diri di kamar mandi saya. Kalau perlu pakaian, Ibu pilih saja di lemari. Ah, satu lagi. Ibu juga bisa memakai foundation untuk menutupi bercak merah di leher Ibu,” pesan Nasya sebelum pergi ke dapur.
“Terima kasih.” Zevannya menyahut seperlunya. Dia langsung menuju ke kamar Nasya untuk membersihkan diri.
***
Sementara, di rumahnya, Adrian sudah rapi. Dia mengenakan baju santai, karena ini hari libur. Dia sedang menikmati sarapan yang kesiangan seorang diri. Hanya saja, makanan yang terhidang di hadapannya dia biarkan begitu saja. Sama sekali tak tersentuh. Pikirannya melayang jauh. Dia masih terngiang dengan ucapan yang dilontarkan Zevannya, sebelum wanita itu pergi meninggalkannya beberapa saat yang lalu.
Setelah sekian lama menyembunyikan identitasnya sebagai pendiri Bagaskara Company, rencananya tahun ini Adrian ingin menunjukkan jati dirinya ke hadapan publik. Tapi sepertinya dia akan mengurungkan niatnya tersebut. Kalau dia sampai mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya, Zevannya bisa langsung resign dari kantornya. Dia bahkan baru tahu beberapa menit yang lalu kalau mantan istrinya itu menjabat sebagai CEO di perusahaan miliknya.
Adrian mempertimbangkan beberapa saat, sebelum akhirnya dia mengambil ponselnya yang dia letakkan tidak jauh dari dirinya. Lelaki itu kemudian menghubungi seseorang.
“Pagi, Pak Bos. Tumben hari libur menghubungi pagi-pagi. Mau ngajakin refreshing, kah?” Seorang lelaki menanggapi panggilan Adrian dengan nada ramah.
“Pagi, Rio. Saya nelpon kamu bukan untuk ngajakin jalan-jalan. Tapi … saya ingin memberitahu kamu kalau saya tidak jadi membuka jati diri saya kali ini. Rapat besok, kamu yang mewakili saya seperti biasa.” Adrian berbicara dengan tenang. Keputusan ini memang cukup berat untuknya, tetapi ini merupakan hal yang harus dia lakukan untuk membuat Zevannya tetap berada dekat dalam jangkauannya.
“Kamu serius, Adrian? Bukannya kamu sudah mempersiapkan matang-matang buat momen ini? Mengapa di saat waktunya sudah dekat, kamu malah berubah pikiran seperti ini?”
Tentu saja timbul banyak sekali pertanyaan di benak Rio. Bagaimana bisa bos sekaligus sahabat baginya itu berubah pikiran dalam hal yang sepenting sekarang. Persiapan Adrian bahkan tidak main-main.
“Saya tidak bisa melakukannya, Rio. Kalau saya mengungkap jati diri saya sebenarnya, saya akan kehilangan dia lagi.”
“Dia? Siapa?”
“Mantan istri saya. Kami bertemu di acara pesta tahunan kantor. Semalam kami melewati malam panjang, dan singkatnya dia kecewa. Dia mengancam saya untuk tidak menunjukkan wajah saya lagi di hadapannya.” Adrian menceritakan secara singkat tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Zevannya.
Rio sudah mengetahui hampir segala tentang hidup Adrian. Lelaki itu menceritakan segala tentang yang dirasakannya pada Rio. Termasuk tentang Zevannya. Rio yang menemani Adrian di masa kehancurannya saat kehilangan Zevannya sepuluh tahun lalu. Dia masih mengingat dengan baik bagaimana kacaunya hidup Adrian kala itu.
“Hah? Bagaimana bisa kalian melewati malam bersama? Ah, maaf. Saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi kalian. Terus, mau sampai kapan kamu merahasiakan identitas kamu dari semua orang? Bukannya saya tidak mau lagi membantu kamu, hanya saja … saya rasa ini sudah saatnya untuk kamu melepas topeng kamu, Adrian.”
“Saya juga sempat berpikir seperti itu, Rio. Tapi ini tentang Zevannya. Kamu tahu pasti, bagaimana saya sangat mencintai mantan istri say aitu, bukan? Bahkan surat cerai yang dia berikan pun tidak saya tandatangani sampai hari ini. Saya tidak sanggup jauh darinya lagi setelah sekian lama.”
Adrian bisa mendengar suara helaan napas Rio. Dia yakin, sahabatnya itu pasti akan mengerti kalau menyangkut soal Zevannya. Nama wanita itu bahkan tidak pernah absen dari pembicaraan mereka di setiap harinya.
“Baiklah. Kali ini biar aku yang kembali mengurus pertemuan petinggi perusahaan seperti biasa. Lalu apa rencana kamu kedepannya? Kamu akan terus memantau Zevannya? Kenapa kamu tidak mencoba mengajaknya bertemu, dan membicarakan semuanya? Bukankah tidak ada perselingkuhan di masa lalu? Semuanya hanya salah paham kamu bilang.”
“Zevannya masih sangat kecewa terhadap saya. Ditambah kejadian semalam, dia semakin muak melihat saya. Bagaimana bisa saya mengajaknya bertemu kalau dia sudah meminta saya untuk tidak menampakkan wajah saya lagi? Tidak ad acara lain selain memantau dia secara diam-diam. Saya ingin menebus semua kesalahan saya. Saya tidak bisa menjaga Zevannya selama sepuluh tahun ini, Rio.”
“Tapi itu bukan salah kamu, Adrian. Kalian berdua hanya kurang komunikasi. Kalian perlu bicara dari hati ke hati supaya semuanya cepat selesai. Apa kamu akan membiarkan dia selamanya salah paham?”
“Saya menunggu waktu yang tepat. Sekarang bukan waktu yang pas untuk saya bicara dengan Zevannya.”
“Terus kapan waktu yang tepat menurut kamu? Kalian sudah berpisah selama sepuluh tahun, dan sekarang belum tepat juga?”
“Saya tidak tahu,” jawab Adrian singkat.
“Kisah kalian benar-benar rumit.”
Adrian mengaduk kopi yang ada di cangkirnya untuk menghibur diri. Cairan hitam itu bahkan sudah tidak mengepulkan asapnya lagi.
“Ya. Saya dan Zevannya memang sama-sama rumit. Mungkin karena dia memang tidak pernah mencintai saya, makanya dia memanfaatkan momen itu untuk melepaskan dirinya dari hidup saya. Seandainya saja saya bisa membuat seseorang yang saya cintai bisa membalas perasaan saya. Sayang sekali itu tidak bisa saya lakukan.”
“Dia meninggalkan kamu karena cemburu, Adrian. Itu artinya dia mencintai kamu. Kalian saling mencintai.”
“Saya bahkan tidak yakin, Rio. Zevannya bahkan menatap saya penuh kebencian tadi pagi. Rasanya saya ingin dia berada dibawah pengaruh obat selamanya. Saya hampir gila memikirkannya.”
“Kamu memang sudah gila. Rasa cintamu itu sudah berada di luar batas, Adrian.”
“Dan saya tidak tertarik untuk keluar dari kegilaan saya. Zevannya akan selamanya mengisi hati, dan pikiran saya, Rio.”