Karena kejadian kemarin malam di pesta ulang tahun keponakan Azura, Shaneen mendapat teror dari Azura tentang bagaimana Azura bisa mengenal Rifki--abang sepupunya. Dan kenapa selama ini Shaneen tak pernah membahas masalah ini dengannya.
"Gue nggak ngerasa perlu ngasih tau lo," sahut Shaneen akhirnya setelah Azura mencerca dengan berbagai pertanyaan.
"Nggak perlu? Tapi kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang lo sembunyiin, Ca?"
"Hah? Sesuatu yang gue sembunyiin? Gue nggak nyembunyiin apapun. Lo mikirnya kejauhan."
"Lo yakin, Ca?"
Shaneen mengangguk.
Azura memperhatikan sahabatnya itu. "Lo beneran kan, Ca? Nggak ada yang lo sembunyiin dari gue kan?"
Shaneen memutar bola matanya lalu tertawa. "Ya Allah, Ra, nggak ada."
Azura menghela napas lega. "Syukurlah. Gue kepikiran tau nggak sama lo semalem karena habis dari toilet lo langsung buru-buru pulang. Gue takut lo ada apa-apa."
"Oh itu karena gue mau ketemu Yasa, kan udah gue kasih tau sama lo semalem."
"Ya gue ngerasa kalau--"
"Udah ah, Ra. Gue nggak kenapa-kenapa. Gue sama Kak Rifki cuma kebetulan kenal aja dulu sama-sama ada di kegiatan volunteer. Terus nggak taunya ketemu lagi di panti asuhan. Di sana kami ketemu sama Jeisya."
"Sepupu lo?"
"Yap."
"Tapi gue nggak pernah lihat dia ada di acara keluarga lo, Ca."
"Oh itu.. ya.."
"Ya?"
Shaneen tak menjelaskan lebih lanjut dan Azura pun tak bertanya lagi. Obrolan tentang Rifki dan Jeisya selesai siang itu.
...
Shaneen menatap kesal pada layar ponselnya. Di antara semua tempat yang bisa didatangi, kenapa Yasa memintanya datang ke kantor pria itu? Lagipula Shaneen merasa tak ada janji apapun dengan Yasa siang ini. Bukankah Yasa terasa terlalu sering menelfon dan ingin bertemu dengannya?
Saat memasuki gedung Lantawi Building, Shaneen sudah menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak jika berita pernikahannya sudah ada di mana-mana dan orang membahas itu di sepanjang waktu. Kini gadis superpower itu benar-benar menunjukkan taringnya dengan datang ke gedung Lantawi Building di mana tak pernah ada gadis yang datang sebelumnya. Bahkan istri Kakak Yasa saja tak ada yang datang ke gedung ini sebelum mereka sah menjadi menantu Mr. Lantawi.
Haga mempersilahkan Shaneen masuk. Di dalam Yasa tengah sibuk berkutat dengan komputernya. Haga kemudian meninggalkan dua manusia itu sembari menutup pintu dengan rapat. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi, kan? Jadi pintu perlu ditutup dengan rapat meski ruangan Yasa jauh dari keramaian. Ruangannya sangat menjaga privasi si pemilik ruangan.
"Kenapa lo nyuruh gue ke sini?" Shaneen seperti biasa tak mau pusing-pusing untuk berbasa-basi.
Yasa tak menoleh sedikitpun dari komputernya. "Sebentar." Pria itu bekerja dengan satu tangan karena tangan lainnya masih belum boleh digunakan.
"Lo udah jatuh cinta sama gue ya? Nelfonin gue mulu minta ketemu." Shaneen berkutat dengan ponselnya entah sedang melakukan apa di sana.
"Aku tau kamu cantik tapi jangan kepedean."
Shaneen mencibir. "See? Lo mulai muji gue cantik. Lo mulai mengakui. Gue rasa nggak bakal susah buat lo jatuh cinta sama gue."
Shaneen menoleh pada Yasa dan pria itu sedang melakukan hal yang sama. Pandangan keduanya bertemu dengan sorot yang hanya dipahami oleh keduanya.
"Apa?" tanya Yasa saat melihat gestur jari Shaneen. Shaneen menunjukkan 3 jarinya pada Yasa.
"3 bulan. Gue yakin lo bakal jatuh cinta sama gue dalam 3 bulan."
Yasa memutar bola matanya. Ia geleng-geleng kemudian kembali menatap layar komputernya. "Aku nggak tau kamu dapat sikap percaya diri ini dari mana."
"Nature."
Yasa kembali memutar bola mata. "Ya, nature."
Setelah beberapa menit bergelut dalam keheningan dan kesibukan masing-masing, Yasa akhirnya menghampiri calon istrinya itu.
"Selesai?"
Yasa mengangguk. Ia mengambil tempat duduk di depan Shaneen, bukan di single sofa di bagian kiri Shaneen.
"Ngapain lo duduk di situ?"
Yasa menatap Shaneen lurus. "Aku nggak mau bahas ini sebenarnya. Tapi boleh aku tanya dan minta satu hal?"
Shaneen mengangkat alisnya.
"Aku nggak minta kamu rubah panggilan kamu dan cara bicara kamu kalau kita lagi berdua. Tapi kalau di tempat umum, bisa kamu pakai bahasa sedikit lebih lembut?"
"Emang selama ini gue kurang lembut?"
Yasa hembuskan napas pelan. "Bukan gitu. Cuma ingetin aja, takut kamu kelepasan."
Shaneen menarik napas dalam. "Lo nggak usah khawatir. Gue tau apa yang harus gue lakuin. Jangan bilang lo nyuruh gue jauh-jauh ke sini cuma buat ngomongin ini?"
"Nggak."
"Terus?"
"Aku mau ajakin kamu makan siang."
Shaneen melongo. "Lo bilang apa barusan?"
"Makan siang."
"Lo kesambet sesuatu?"
"Aku nggak kesambet. Ayo.." Yasa bangkit dari duduknya. Meski bingung Shaneen akhirnya menurut. Ia ikuti langkah Yasa. Di luar Haga sudah menunggu. Ya, Yasa kadang memang tak bisa ditebak. Tapi anehnya kadang Shaneen pun menurut pada calon suaminya itu.
...
"Lo pernah bawa Nata ke sini?"
Yasa langsung mengangkat wajahnya. "Cewek kenapa selalu begitu?"
"Apa?"
"Menanyakan pertanyaan nggak penting."
"Menurut lo itu nggak penting?"
Yasa menatap Shaneen dengan satu alis terangkat. "Itu penting buat kamu?"
Shaneen kendikan bahu, tak menjawab.
Yasa menarik napas dalam. "Kalau kamu punya pertanyaan, kamu bisa tanyain sama aku. Nggak perlu menanyakan pertanyaan random setiap kita mengunjungi suatu tempat. Aku akan jawab semuanya."
Shaneen menggeleng. "Kita udah bikin deal untuk nggak melewati batas kalau bukan kita sendiri yang mau berbagi. So gue nggak akan nanya."
"Aku yang mau berbagi. Makanya aku kasih kamu kesempatan buat nanya."
Shaneen akhirnya mengangkat wajah, memandangi sang calon suami. Sejujurnya Yasa ini masuk dalam kriteria tampan versi Shaneen. Tapi Shaneen tak tahu apa yang salah sampai ia tak bisa dapatkan percikan apapun dari Yasa sampai saat ini. Ya, ia merasa biasa saja saat bersama calon suaminya ini. Tak ada hal spesial yang Shaneen rasakan.
Shaneen menggeleng. "Nggak ada yang mau gue tanyain." gadis itu kembali sibuk dengan pastanya. Ia mengunyah dalam diam.
Yasa memandangi Shaneen lama, seperti tengah memikirkan sesuatu tapi entah apa.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Hm."
"Kamu pernah pacaran sebelum ini?"
Shaneen terlihat tak terkejut dengan pertanyaan itu. "Pernah."
"Apa aku kenal orangnya?"
Shaneen mengangkat wajahnya untuk menatap Yasa. "Kalau kenal kenapa? Mau nyapa?"
"Apa itu artinya aku emang kenal sama orangnya?" Yasa sepertinya amat sangat penasaran dengan hal satu ini.
"Lo nggak kenal," jawab Shaneen akhirnya.
Yasa mengangguk-anggukan kepalanya. "Okay."
Lalu tak ada obrolan lagi. Keduanya makan dalam keheningan.
...
"Jadi lo nyuruh gue datang beneran cuma buat makan siang doang?" mereka sudah selesai makan siang dan keduanya sedang menuju parkir mobil. Haga sudah menunggu di sana.
"Ini bukan cuma. Kamu nggak lihat aku lagi berusaha mendekatkan diri sama kamu."
Shaneen lantas mengangkat alisnya--terkejut.
"Mendekatkan diri sama calon istri."
"Ngeri gue denger lo ngomong. Lo nggak cocok banget flirting."
Yasa tertawa pelan. "Kata siapa aku flirting?"
"Lo ngomong apa?"
Yasa menggeleng. "Kamu mau ke mana habis ini?"
"Nggak ada. Kenapa?"
"Kamu ada acara nanti malam?"
Kembali Shaneen gelengkan kepalanya.
"Kamu temenin aku nanti malam."
"Okay." Tak ada bantahan atau pertanyaan. Shaneen setuju dengan cepat. Tapi Yasa pun tak bertanya kenapa Shaneen langsung setuju. Entah keduanya memang sudah mulai nyaman berada di sisi satu sama lain atau sebenarnya keduanya sedang mencoba menyembunyikan rahasia masing-masing.
...
"Kakak kok bisa kenal Shaneen?" Azura jarang sekali kepo pada urusan orang lain. Ia adalah tipikal orangy yang cuek pada masalah orang lain. Tapi kali ini Azura tak bisa menahan diri sebab baginya Shaneen adalah orang yang penting. Sejak awal melihat sikap Shaneen pada Rifki, Azura yakin sekali kalau ada yang tidak beres di antara dua orang itu. Azura tak mendesak Shaneen karena tahu Shaneen tak nyaman. Jadi Azura memilih untuk tak bertanya lagi pada sahabatnya itu.
"Kamu kenal Shaneen di mana?" alih-alih menjawab pertanyaan Azura, Rifki justru balik bertanya.
"Ada waktu itu nggak sengaja ada kejadian, terus Shaneen bantuin aku. Jawab pertanyaan aku. Kakak kok bisa kenal sama Shaneen?"
Rifki menghentikan ketikannya pada layar ponsel. Ia menarik napas dalam lalu menerawang jauh. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Ketemu di kegiatan volunteer."
Azura menatap sepupunya itu. Jawaban Shaneen dan Rifki sama, itu artinya Shaneen tak berbohong.
"Terus deket?"
Rifki tak menjawab.
"Kak? Terus jadi deket sama Shaneen?"
"Kamu kenapa tiba-tiba tanya soal Shaneen?" Rifki balik bertanya.
Azura menghela napas. "Aku boleh jujur?"
Rifki anggukan kepalanya.
"Waktu kemarin di acara ulang tahun itu, aku ngerasa kalau Kakak sama Shaneen itu sikapnya aneh. Jadi aku pikir ada yang salah. Aku tanya Shaneen katanya nggak ada apa-apa."
"Terus kenapa tanya Kakak kalau Shaneen udah jawab nggak ada apa-apa?"
"Kalau Kakak emang udah kenal Shaneen lama, Kakak pasti tau kalau Shaneen nggak gampang deket sama orang. Dia--"
"Kata siapa dia nggak gampang deket sama orang?" sebuah pertanyaan yang membuat Azura terdiam bisu. Dengan cepat Azura menyadari kalau memang ada sesuatu di antara Kakak sepupunya ini dengan sahabatnya.
"Maksud Kakak?"
Rifki diam.
"Kak, ngomong jangan setengah-setengah."
Rifki bangkit dari duduknya. Ia melirik jam tangannya. "Kakak balik dulu. Titip salam buat Paman, ya. Ini komputer kamu udah beres. Tinggal di re-start aja. Ra, Kakak boleh minta sesuatu sama kamu?"
Azura mengerutkan keningnya.
"Jangan tanya soal Kakak lagi ya sama Shaneen. Kalau bukan Shaneen yang ungkit, jangan tanya apa-apa."
Oke, ini menjawab semua tanya Azura kalau dua manusia ini memang memiliki sebuah rahasia. Shaneen makin tak bisa tenang jika begini. Sebab Rifki sudah beristri dan Azura tak mau kalau sahabatnya terlibat dalam hubungan semacam ini. Sekilas dilihat saja Azura tahu kalau masih ada apa-apa di antara Shaneen dan Rifki. Entah Jeisya tidak tahu atau sebenarnya ia pun pura-pura bersikap seperti orang bodoh.
"Kakak balik dulu."
"Astaga. Di antara semua orang yang ada kenapa harus Kak Rifki sih?"
...
Shaneen menatap hamparan laut di depannya. Acara makan malam sudah selesai. Ternyata Yasa membawanya menghadiri acara pertunangan salah satu teman baik pria itu. Lokasinya terletak di sebuah resort. Karena jaraknya sedikit jauh, jadi malam ini mereka akan menginap di sini. Yasa datang menjemput Shaneen pukul 4 sore tadi. Untung saja Shaneen tak mengamuk karena pria itu datang secara tiba-tiba.
Suara debur ombak menjadi musik yang menenangkan segala kecamuk di dalam kepala Shaneen.
"Lo udah 2 kali ngajakin gue makan hari ini. Lo beneran lagi pedekate sama gue ya?"
Yasa yang berdiri di samping Shaneen hanya tersenyum simpul. "Aku udah bilang."
"Kenapa?"
"Karena kamu calon istri aku."
Shaneen memutar bola matanya. "Kasih alasan yang lebih jelas. Gue udah bilang lo nggak cocok flirting."
"Aku nggak lagi flirting. Aku mengatakan apa adanya."
"So tebakan gue bener."
"Apa?"
"Lo bakal jatuh cinta sama gue dalam 3 bulan."
Yasa kendikan bahu. "Maybe."
Kali ini Shaneen langsung menoleh ke samping kanannya dengan ekspresi terkejut. "Lo bikin gue takut beneran. Lo nggak kesambet kan?"
Yasa tak menjawab, hanya menatap Shaneen lurus. Gadis itu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Entah ia salting atau memang begitulah reaksi yang bisa ia berikan.
Tiba-tiba Yasa melangkah ke depan Shaneen. Ia berdiri tepat di depan gadis itu. Shaneen mendongakkan wajahnya, bertemu tatap dengan manik milik Yasa.
"Let's see.." ucap Yasa dengan suara rendah.
Shaneen mengangkat alisnya. "Apa?"
"Siapa yang akan lebih dulu jatuh cinta antara kita berdua." Yasa menyusupkan tangannya ke belakang leher Shaneen, kemudian dengan mulus dan tanpa halangan mendaratkan bibirnya di atas bibir calon istrinya itu. Hanya beberapa detik setelahnya, Shaneen membalas ciuman Yasa. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Yasa.
Ini malam yang damai untuk keduanya.
***