4. Poison River

1017 Words
Pusaran itu berhasil membawa mereka berteleportasi ke gerbang selanjutnya. Kelima gamer sudah berdiri tegak, sedangkan Maxime terjatuh dari langit. Wajahnya berhadapan dengan tanah, menjadikannya bahan tertawaan Nori dan Gabino. Sementara yang lainnya menutup mulut mereka rapat-rapat, seakan-akan bukan urusan mereka. “Selamat datang di gerbang kedua. Semoga kalian bisa lolos pada tahap ini.” Suara sistem yang mereka dengar tadi rupanya memandu mereka dari tahap ke tahap. Maxime buru-buru bangun, takutnya ketinggalan informasi yang akan disampaikan oleh sistem tersebut. “Misi kalian tentu melewati gerbang kedua di depan kalian. Sebagian gerbang sudah diubah oleh adanya bug. Jadi berhati-hatilah.” “Cepat katakan apa yang harus kami lakukan di gerbang kedua.” Desak Nori Merekon yang tampak tidak sabar. Gadis itu sangat suka berkompetisi dan selalu memiliki semangat. “Kalian hanya perlu melewati gerbang kedua. Itu saja. Hitungan mundur di mulai. Kalian akan masuk dalam 30 detik. Semoga berhasil melewati lembah beracun.” Di depan mereka sudah ada hitungan mundur. Tampaknya kali ini mereka akan mengerjakan misi bersama-sama. Nori Merekon menyeringai. “Hanya begitu saja? Aku pikir tantangan dari gamer ini tidak terlalu seru.” Semua orang dapat mendengar nada meremehkan Nori Merekon. Gadis itu selalu meremehkan apa pun dan percaya diri akan dapat melewati segala tantangan. Namun, tidak ia sadari bahwa kepercayaan diri yang terlalu tinggi dan sikap meremehkan itu bisa membawa petaka baginya. Allura menoleh pada Nori. Sejak tadi ia hanya diam karena tidak terlalu suka berbicara. Apalagi berbicara omong kosong. Baginya semua itu hanya membuang-buang waktu. Tindakan adalah hal yang paling efektif untuk membuktikan kualitas diri. “Dia hanya bilang kita harus melewati gerbang itu. Bukan berarti tidak ada tantangan sama sekali. Hanya saja kita belum tahu apa yang ada di dalam sana.” Semua orang menoleh pada Allura yang akhirnya mengeluarkan suara. Memang benar yang dikatakan gadis itu. Mereka bisa tahu betapa bijaknya Allura yang lebih muda dari mereka. Arzan menaikkan salah satu alisnya kepada Nori Merekon. “Kau dengar itu?” Maxime tidak ikut berkomentar. Hanya mengamati saja sudah cukup membuatnya mengeluarkan tawa kecil. Melihat Mahavir mulai berjalan mendekati gerbang, ia pun mulai beranjak dan diikuti oleh gamer lain. Hitungan mundur sudah berakhir dan pintu gerbang akhirnya terbuka. Kabut berwarna hijau muda menyambut mereka. Penglihatan semua orang menjadi terhalangi karena adanya kabut tersebut. Setelah beberapa saat Maxime merasakan sesak napas, tapi ia tidak tahu penyebabnya. Mahavir segera memberitahukan pada yang lain. “Ini asap racun. Tutup hidung dan mulut kalian.” Segera semua orang mendengar ujaran Mahavir. Dikarenakan mereka menutup mulut dan hidung, pernapasan mereka jadi tersumbat. Mereka harus segera mencari cara untuk keluar dari kabut racun itu. Mahavir membuat gerakan tangan, mengisyaratkan agar mereka bergerak maju. Menerobos asap racun tanpa bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mereka. Pernapasan Maxime perlahan menjadi lemah. Ia ketinggalan dari gamer lainnya. Matanya sudah tidak bisa melihat dengan jelas dan apa lagi kepalanya pusing akibat asap hijau muda itu. Sebuah tangan memegangi bahunya. Membantu Maxime melewati asap hijau tersebut. Akhirnya ketika ia bisa melihat kembali, Mahavir adalah orang yang menolongnya barusan. “Teri—” Maxime muntah sebelum bisa mengucapkan terima kasih pada penolongnya. Ia menjauh dari gamer lain agar mereka tidak terganggu dari muntahnya. Akhirnya setelah mengeluarkan asam lambungnya, Maxime merasa lebih baik. Ia kembali mencari gamer lain yang belum melakukan pergerakan apa pun. “Ada apa?” ia bertanya pada Arzan. “Sepertinya kita tidak tahu jalan keluarnya.” Pemandangan yang Maxime lihat adalah kabut hijau muda di segala sisi. Mereka berada di tengah-tengah dan untungnya kabut hijau tidak mengikuti mereka. Isi dari gerbang kedua tidaklah terlalu jelas. Yang jelas hanya sungai berwarna hijau muda di depan mereka. Maxime yakin kalau sungai tersebut juga adalah sungai beracun. Maxime mencari Mahavir karena sebelumnya belum sempat minta maaf. “Terima kasih sudah menolongku.” Mahavir mengangguk. “Kita harus saling bekerja sama.” Namun, Nori Merekon tampak tidak senang dan mengutarakannya dengan ejekan. “Merepotkan saja. Kalau kau terlalu lemah, maka kita semua bisa dalam bahaya karena dirimu.” “Apa masalahmu? Sejak tadi kau menargetkanku.” Maxime tampaknya baru menyadari kalau dirinya menjadi target bully Nori Merekon. Saat ini, ia tampak marah. Apa karena ia rank 6? Rank terbawah dari mereka jadi Nori bisa merindingnya begitu saja? “Aku berkata yang sebenarnya. Mengapa kau marah?” balas Nori. “Sudah cukup!” Mahavir membentak. Sorot matanya menampakkan ketidaksenangan. “Pikirkan cara untuk melewati sungai beracun itu.” Mata semua orang terbuka lebar seperti akan keluar dari tempatnya. Gabino menghampiri Mahavir—dengan ekspresi tidak percaya. Dari semua penjuru apa Mahavir ingin menenggelamkan mereka ke dalam sungai beracun? “Mahavir apa kau serius sungai itu adalah jalan keluar satu-satunya? Lihatlah,” Gabino membuat Mahavir melihat ke Selatan, Barat dan juga Utara. “Lihatlah. Kita masih bisa mencari jalan keluar di arah lain.” Mahavir memutar bola mata malas. “Kau tahu tidak? Tempat paling berbahaya adalah jalan keluar yang sebenarnya. Lihat di sekelilingmu, di arah Barat, Selatan dan Utara kabut racun lebih tebal daripada di arah timur.” “Jadi maksudmu, jalan keluar yang sebenarnya kita harus menyeberangi Sungai?” Allura bertanya untuk memastikan. Anggukan Mahavir menjadi jawaban. “Lalu bagaimana caranya?” kini giliran Maxime yang bertanya sambil menoleh ke semua gamer. Sementara itu, Nori Merekon adalah orang yang paling berani mendekati sungai beracun. “Ini sangat menarik.” Menarik? Sepertinya hanya Nori Merekon yang menganggap game antara hidup dan mati itu; menarik. Semua gamer melangkahkan kaki mereka menuju ke tepi sungai beracun. Tingkat racunnya hampir sama dengan kabut beracun. Akan tetapi, lebih diperhatikan lagi warna sungai itu semakin jauh semakin hijau. “Jika melewati sebuah sungai, kalian tahu apa yang harus dilakukan? Tentu saja melewatinya dengan perahu.” Cetus Arzan sambil mengembangkan senyum brilian. “Perahu? Tentu saja aku sudah memikirkan itu.” Nori Merekon tidak mau kalah. “Kalau begitu cari bahan membuat perahu. Jangan bilang kau akan mencari perahu di sini.” Arzan mendelik pada Nori. Gegas semua gamer mencari bahan dasar membuat perahu. Mereka butuh beberapa kayu besar agar bisa menampung mereka semua. Maxime pun bergegas mencari ke arah barat lantaran ia melihat ada kayu besar di sana. “Any keluarlah.” Pinta Maxime. “Host, apa yang bisa Any bantu?” “Potong kayu itu untukku,” ujar Maxime sambil menunjuk kayu yang cukup besar itu. “Host gunakan jam tangan itu untuk memotong kayu.” “Jam tangan? Mengapa aku tidak terpikir dari tadi? Any bisakah jam tangan ini membantu kami melewati sungai beracun?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD