1. Six Gates Of Death
“Nama permainan ini sangat aneh. Aku sangat penasaran akan seperti apa aksi petualangan yang akan kita lakukan,” kata seorang gadis berambut coklat terang senada dengan manik mata berwarna coklat terang itu bersinar ketika ia membayangkan games yang akan ia mainkan.
Di hadapannya berdiri empat orang yang terdiri dari tiga orang pria dan satu orang perempuan.
Salah satu dari mereka juga mengungkapkan kekagumannya yaitu, Arzan Barra. “Mereka bilang pemainnya juga harus pintar memainkan strategi untuk bertahan hidup. Aku sama tidak sabar sepertimu, Nori.”
Nori Merekon tersenyum pada Arzan Barra. Kelima orang itu sudah memperkenalkan diri masing-masing ketika mereka berada di ruang tunggu. Tiga orang lainnya sibuk dengan smartphone yang ada di tangan mereka. Mereka sedang memainkan games favorit dan tidak bisa diganggu.
“Para Gamer silakan menuju ruang uji coba. Sekali lagi, terima kasih sudah mau berpartisipasi dalam percobaan games terbaru kami.” Salah satu staf menginstruksikan kepada lima orang tersebut.
Ya, mereka merupakan Gamer profesional yang dipilih untuk untuk melakukan uji coba games terbaru dari salah satu perusahaan raksasa pembuatan games. Perusahaan tersebut bernama Windtech yang bergerak dalam pembuatan games, animasi dan memiliki toko mainan di seluruh kota Indonesia.
Mereka semua keluar dari ruang tunggu. Namun, Mahavir Bagaskara yang merupakan rank satu dalam dunia Gamer—menyadari sesuatu. “Satu orang lagi belum datang.”
Sementara itu, di waktu yang sama, Maxime Alisher berlari di trotoar setelah ban motornya kempes.
“Ah!” Maxime berteriak kencang.
Setelah ia menaruh motornya di salah satu bengkel terdekat. Ia pun menghubungi taksi online. Nyatanya setelah ia menunggu selama sepuluh menit, taksi yang ia pesan tak kunjung tiba.
Maxime merasa darahnya telah mendidih dan ia pun berlari dari bengkel daripada harus menunggu taksi ataupun menunggu sampai ban motornya diperbaiki.
Menunggu perbaikan ban motor tidak terlalu lama. Namun, yang membuat hal tersebut menjadi lama adalah Maxime harus menunggu, dan antriannya lumayan panjang.
Sesekali Maxime melirik jam tangannya. Lima menit lagi ia harus sampai di gedung Windtech. Ia melihat lagi pada GPS di smartphonenya. Gedung Windtech berjarak tiga kilo dari tempatnya sekarang. Jika taksi yang ia pesan datang sebentar lagi, mungkin ia akan tiba tepat waktu. Sayang sekali ketika Maxime membuka notifikasi dari aplikasi taksi online tersebut. Taksi yang ia pesan tidak bisa datang menjemput. Maxime memaki dengan kesal.
Ia lelah berlari dan memukul kepalanya agak ringan. Butiran-butiran keringat berwarna bening tampak di dahi Maxime, lalu butiran keringat tersebut mengalir ke pelipisnya dan turun lagi ke pipinya.
Tidak lama kemudian, Maxime mendengar sebuah klakson. Ia menoleh ke belakang melihat sebuah mobil berwarna merah yang tidak asing dalam penglihatannya.
Dengan cepat Maxime melambaikan tangannya, “Josh!”
Mobil tersebut berhenti di samping Maxim. Sang sopir menurunkan kaca mobilnya dan bertanya pada Maxime, “Bukannya kamu mau ikutan percobaan games itu? Kenapa lari-larian di sini?”
“Nanti aku ceritakan. Bisa tidak kamu antar aku ke sana?”
“Gedung Windtech? Tentu saja. Cepat masuk.”
Segera tanpa penundaan, Maxime masuk ke dalam mobil Josh. Ia menghela napas lega, akhirnya bantuan datang menyelamatkannya dari keterlambatan.
“Pegangan,” kata Josh mewanti-wanti Maxime ketika ia menginjak pedal gasnya dan menyeruak ke tengah jalan tersebut.
Maxime merasa mual ketika mobil merah itu berhenti di depan gedung Windtech—hanya dalam waktu tiga menit saja—jika saja Josh bukan temannya, mungkin saja Maxime akan menelan Josh hidup-hidup.
“Terima kasih, Josh, aku turun sekarang.”
Josh mengangguk lalu mengepalkan tangannya ke atas. “Semoga berhasil!”
Setelah itu, buru-buru Maxime masuk ke dalam gedung setelah memperlihatkan undangan yang ia terima dari Windtech kepada penjaga di sana.
Salah satu dari penjaga keamanan mengantarkan Maxime menuju tempat uji coba dan ia pun mengatakan pada Maxime kalau Maxime sudah terlambat.
Maxime menggaruk pelipisnya yang masih basah dengan keringat, lalu dengan terpaksa tersenyum canggung. Buru-buru Maxime mengeluarkan sapu tangannya guna menyeka keringat yang meleleh sampai ke pipinya.
Penjaga keamanan itu berjalan dengan cepat, sehingga Maxime berjalan setengah berlari sambil menyeka keringatnya. Setelah mereka sampai di lab uji coba, para Gamer menatap Maxime seperti melihat orang imbesil.
Mata mereka tidak lepas pada Maxime dari ujung kepala sampai ujung kaki. Maxime merasa sangat canggung dengan keadaan tersebut. Dengan panik ia menaruh sapu tangannya sambil menyapa mereka.
“H-halo, selamat pagi.”
“Imbesil,” sembur Nori Merekon sambil memandang Maxime dengan tatapan merendahkan.
Seketika itu sapu tangan Maxime jatuh. Sejenak ia kepercayaan dirinya jatuh ke dasar tanah. Apakah dia terlihat seperti imbesil di mata mereka? Penampilan Maxime memang bisa dibilang tidak begitu keren. Ia mengenakan kaos oblong dengan luaran jaket denim yang modelnya sudah sepuluh tahun lalu, ia mengenakan celana jeans berwarna hitam yang warnanya sudah pudar.
Dengan susah payah Maxime menelan salivanya, lalu menunduk mengambil sapu tangannya. Sudah biasa. Hal itu sudah biasa bagi Maxime. Jadi, ia tidak mempermasalahkannya dan hanya tersenyum pada mereka.
“Sudah lengkap enam orang,” celetuk salah seorang staf. Ia menoleh pada Maxime. “Kamu, cepat masuk. Uji coba akan dilakukan sebentar lagi. Namun, sebelum itu kalian harus mendengarkan beberapa arahan kepala pengembangan.”
“Baik,” jawab mereka dengan serentak.
Maxime yang masih canggung sesekali melirik pada kelima orang tersebut. Ia tidak tahu siapa nama mereka dan memperkenalkan diri pun, rasanya canggung. Lantas Maxime mengikuti mereka dari belakang sambil melirik pada perlengkapan games di sana. Sejenak ia terkesima, tetapi beberapa saat kemudian, suara salah satu dari Gamer membuyarkan fokus Maxime.
“Yang terlambat itu, bukankah dia rank 6?”
“Iya, tapi penampilannya seperti orang pongoh.”
“Meskipun begitu, dia masuk sepuluh besar.”
“Kita lihat saja kemampuannya nanti. Terlihat dari penampilannya saja dia seperti tidak bisa bermain games. Mungkin saja dia bermain curang agar bisa mendapatkan rank 6.” Nori tertawa cukup keras sambil melirik ke arah Maxime.
Manik mata mereka bertemu, dan kesombongan terpancar pada manik mata coklat terang milik Nori, sedangkan Maxime hanya diam dengan tatapan canggungnya.
Kepala pengembangan memperkenalkan diri, setelah keenam orang itu duduk saling menghadap. Di tengah-tengah, kepala pengembangan mereka penjelasan singkat pada mereka.
“Six Gates Of Death. Kalian pasti merasa nama itu sangat aneh, bukan? Kami sengaja mengambil nama itu sesuai dengan petualangan dalam game tersebut. Di dalam game kalian akan melewati yang namanya enam gerbang kematian.”
“Aku merinding,” gumam Nori.
Kepala pengembangan melanjutkan, “Kalian akan memilih gerbang mana yang ingin kalian lewati nanti. Dan semua gerbang itu mengarah pada gerbang kematian. Kalian harus pintar dalam memilih strategi, mengalahkan musuh dan bisa saja kalian akan bertempur satu sama lain.” Ia tersenyum hanya membayangkan betapa serunya permainan baru mereka.
“Tenang saja, kalian akan mendapatkan sistem yang membantu kalian. Didampingi oleh sistem pasti akan membuat kalian mengerti langkah-langkah selanjutnya. Baiklah, saatnya permainan dimulai. Semoga beruntung.”
“Terima kasih,” mereka berucap serentak.
Kepala pengembang langsung pergi dan mengawasi mereka dibalik layar.
Seseorang memberikan instruksi melalui mikrofon. “Silakan pasang helm kalian.”
Helm berbentuk seperti tempurung kelapa yang sudah dibelah tersebut, akan membawa mereka ke dalam permainan. Helm tersebut sudah dilengkapi dengan headset gaming, kacamata tiga dimensi.
Serentak mereka memakai helm berwarna putih tersebut. Tidak lama kemudian mereka masuk ke dalam permainan.