Pupus

1203 Words
Tangis Sekar menggema di ruangan itu. Pernikahan yang direncanakan akan dilagsungkan pagi ini batal karena perngantin pria menghilang. Gadis itu meraung tak terima sehingga melempar barang-barang. Kamandanu tak ditemukan dimanapun, kecuali selongsong pedangnya yang jatuh, juga darah yang berceceran di sekitar benda itu ditemukan. "Sudah, Nduk." Ratih memeluk putrinya yang sedari tadi mengamuk karena pernikahannya dibatalkan. Raja sudah mengerahkan seluruh prajurit untuk mencari panglima kesayangannya, tetapi nihil. Para dukun juga dikerahkan untuk Keberadaan Kamandanu. Hasilnya juga sama, sia-sia. Sehingga para sesepuh langsung menunjuk seorang parjurit terlatih untuk menggantikan posisinya. Gerbang ditutup. Pemeriksaan diperketat hingga ke bagian sudut. Bahkan barak, dapur juga pondok-pondok yang berada di wilayah keraton menjadi sasaran. "Kalau memang Kangmas dibunuh, dimana mereka menbuang mayatnya, Buk?" tanya Sekar. Ratih tak mampu menjawab. Di luar sana Daksa dan yang lain ikut menyisir beberapa tempat untuk mencari calon menantunya. "Sepertinya Kangmas-mu diculik. Entah ke mana mereka membawanya. Semua orang sedang mencari," jawab Ratih. Tangisan Sekar semakin kencang mendengar itu. Mata gadis itu membengkak karena air matanya tak berhenti bercucuran. Wajahnya begitu kusam dengan rambut acak-acakan. "Mengapa mereka tega, Buk? Apa salah Kangmas sehingga diperlakukan seperti ini?" Sekar mengeratkan pelukan. Ratih mengusap punggung putrinya dengan lembut. Sejak tadi wanita paruh baya itu berusaha menenangkan dengan berbagai kata dan cara. Namun, sepertinya Sekar masih belum bisa menerima kenyataan ini Berjam-jam dia menangis, lalu akhirnya tertidur karena kelelahan. Wajahnya pucat dengan mata yang sembab. Ratih memakaikan putrinya selimut, lalu keluar dan menutup pintu. Tampak Daksa, sang suami, sedang duduk termenung di depan. Sejak pagi hingga kini menjelang gelap, belum ada hasil sama sekali. Para prajurit bahkan sudah menyisir hingga ke sungai dan sekitar gunung. "Gimana, Pak?" tanya Ratih sambil meletakkan secangkir teh manis di meja. "Nihil, Buk. Mereka pintar menutup jejak. Entah ke mana Kamandanu dibawa. Kami akan melanjutkan pencarian besok," jawab Daksa. "Jadi benar diculik?" tanya Ratih penasaran. "Dugaan sementara seperti itu, Buk." "Pelakunya?" tanya Ratih lagi. "Kemungkinan besar bagian dari perompak yang pernah dia tumpas. Mereka dendam karena ketuanya terbunuh sewaktu p*********n," jelas Daksa. "Bagaimana cara mereka masuk?" "Prajurit di pintu masuk lengah. Bisa jadi mereka menyamar sehingga penyusup bebas masuk tanpa pemeriksan yang rinci," lanjut Daksa lagi. Ratih menyimak semua yang dituturkan oleh suaminya. Segala kemungkinan dan harapan untuk menemukan calon menantu mereka dipaparkan secara detail oleh suaminya. "Kalau begitu kita hanya bisa berpasrah. Semoga memang benar hanya diculik. Jika sampai Kamandanu dibunuh, kasian sekali nasib Sekar. Dia patah hati, Pak." Daksa meraih jemari istrinya dan menggenggamnya dengan erat. Tak hanya Sekar, mereka pun ikut terluka karena kejadian ini. "Ini suratan takdir dari Yang Maha Kuasa, Buk. Kita hanya bisa menerima. Sekarang tugasmu hanya menguatkan putri kita. Lambat laun dia akan mengerti." Daksa menyeruput teh yang uapnya masih mengebul. Lelaki paruh baya itu teringat pagi tadi saat pondok diketuk dengan keras dan kabar duka itu disampaikan. Dia sendiri memang berada di pendopo untuk melihat tempat itu dihias hingga tengah malam. Setelah semua selesai, beberapa dari mereka kembali ke pondok masing-masing karena kelelahan. Daksa sempat tertidur selama dua jam. Sebagian orang memilih untuk tetap di sana dan berjaga-jaga. Acara pernikahan akan dimulai pagi hari dan dilangsungkan dalam suasana sederhana. Satu hal yang dicurigai oleh Daksa adalah bagaimana para penculik bisa lolos begitu saja dari pemeriksaan. Apakah ada orang dalam yang membantu mereka sehingga jalannya begitu mudah. Jika iya, siapa pelakunya. Batin lelaki paruh baya itu menerka. Ada banyak pengantar hadiah yang datang kemarin dengan memakai kereta. Apakah mungkin salah satu di antara mereka. Gerbang sudah dikunci sejak malam. Jika para penculik itu keluar sebelum ditutup, maka harapan mereka tipis. Namun, salah satu pelaku pasti masih berada di dalam karena harus memastikan semua tetap aman sesuai rencana. Begitulah dugaannya. "Mau kemana, Pak?" tanya Ratih saat melihat suaminya berdiri dan hendak pergi. "Menghadap panglima baru untuk menyelidiki kasus ini. Aku mencurigai sesuatu," jawabnya. "Tapi, Pak--" "Kamu tetap di rumah. Jaga Sekar. Jika memang pelakunya masih berada di lingkungan keraton, kemungkinan bisa tertangkap." Daksa berlari menuju pendopo tempat di mana semua orang sedang berkumpul untuk menyampaikan maksudnya. Lelaki itu berharap semoga semua belum terlambat. *** Di sisi lain keraton. Tampak seorang lelaki sedang tersenyum senang. Rencana pernikahan itu batal sehingga gadis pujaannya tak jadi dimiliki oleh orang lain. Wijaya sempat frustasi hingga mengurung diri berhari-hari karena kecewa. Dia bahkan menolak makanan yang disajikan oleh pelayan dan membuat ratu bingung setengah mati. Namun, dia tak menyangka jika insiden penculikan itu terjadi, sehingga pernikahan Sekar dan Kamandanu gagal dilangsungkan. Melihat situasi yang ada, semangat Wijaya bangkit kembali. Dengan cepat dia datang dan menghadap ratu untuk meminta agar Sekar ditetapkan sebagai selirnya. Lelaki itu tak rela karena dia juga tahu, ada pangeran lain yang sedang mengincar gadisnya. "Kamu belum bisa mengambil selir kalau belum menikah, Le," jawab ratu. Wanita itu sudah menduga jika putranya akan datang dan meminta ini. Dia tahu, Wijaya satu-satunya orang yang tidak terima dengan keputusan Sekar untuk menikah. Sejak kecil, ratu sudah melihat tanda-tanda itu. Wijaya remaja yang sedang kasmaran. Rasa itu justeru jatuh kepada anak si kusir kuda. Hal ini sempat dia diskusikan dengan raja. Lalu, diambil keputusan bahwa Wijaya akan dikirim keluar untuk belajar. Mereka sambil berharap semoga sang putra bisa melupakan perasaan itu. Ternyata mereka keliru memprediksi. Setelah kembali, rasa cinta Wijaya kepada Sekar semakin dalam. Apalagi gadis itu tumbuh begitu cantik dan sangat menarik perhatian. "Aku mencintai Sekar, Bu." "Ibu tahu tapi kamu harus menikah dengan salah satu putri. Baru bisa mengambilnya sebagai selir." Wijaya tertunduk lesu. Tak ada satu putri yang dia sukai, sekalipun sudah diperkenalkan setelah acara penyambutan kepulangannya. Ada yang berwajah cantik tetapi berperilaku seenaknya. Ada yang begitu kaku saat berkenalan. Ada juga yang sombong dan membanggakan diri. "Aku ndak bisa menikahi wanita lain. Aku menginginkan Sekar!" ucap Wijaya tegas. "Dia masih berduka karena calon suaminya menghilang. Kemungkinan tidak akan menerima jika diambil menjadi selir," jelas ratu. Memberikan pengertian kepada putranya memang cukup sulit. Wijaya anak yang keras, sehingga kesabaran yang bisa meluluhkannya. "Aku tidak perduli, Ibu. Aku hanya ingin Sekar menjadi milikku." "Jangan terburu-buru, Le. Kita akan mengatur rencana. Semua sedang mencari di mana Kamandanu berada. Jika dibunuh, para prajurit sedang berusaha menemukan mayatnya." "Aku hanya ingin Ibu memastikan. Jika memang dalam satu bulan ini Kamandanu tidak ditemukan, jadikan Sekar sebagai selirku," pintanya memohon. Ratu menarik napas panjang. Dia tak ingin berjanji apa pun karena situasi sedang sulit. Namun, jika putranya memaksa, wanita itu terpaksa akan mengiyakan. "Baiklah jika itu memang maumu. Tapi menikahlah dengan salah satu putri. Mereka semua cantik-cantik. Kamu lihat sendiri, kan?" "Tapi hatiku hanya untuk Sekar!" Ratu mengulum senyum, menarik napas panjang kemudian memikirkan sesuatu sebelum berucap. "Kamu setujui dulu untuk memilih salah satu putri. Menikahlah sekalipun itu hanya untuk status. Jika panglima tidak ditemukan, maka kau boleh mengambil Sekar sebagai selir." "Terima kasih, Ibu," ucap Wijaya semringah. "Ingat. Hanya jika Sekar bersedia. Kau tak boleh memaksanya." Bagi ratu, inilah pilihan yang paling tepat. Mereka akan sama-sama diuntungkan. Dia harus mematuhi semua aturan yang telah dibuat oleh para pendahulu. Jika mereka melanggar, itu bisa mengakibatkan protes dan pemberontakan dari yang lain. Wijaya menimbang lama lalu mengangguk. Dia menyetujui syarat itu dan memilih untuk bersabar. Dalam hatinya berucap, semoga Kamandanu benar-benar tak ditemukan. Lelaki itu tersenyum membayangkan tubuh molek Sekar yang sempat didekapnya waktu itu. Rasanya dia sudah tak sabar ingin memiliki sang pujaan hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD