Midodareni

1267 Words
Sekar berdiam di kamar sambil mengintip dari balik pintu. Di luar pondok sampai halaman ramai dengan orang-orang yang berkumpul. Besok pernikahannya dengan Kamandanu akan dilangsungkan. Jadi, keluarga lelaki itu datang dari desa untuk bertemu dengan keluarganya sambil membawa seserahan. Wajah Sekar terlihat begitu ceria sekalipun seluruh tubuhnya dilumuri bedak, semacam penghalus kulit dari leher hingga ke kaki. Bedak itu terbuat dari beras yang dihaluskan. Ditambah dengan rempah-rempah yang berbau harum. Kata ibunya, biar Kamandanu semakin kesengsem kepadanya di malam pertama nanti. Sekar bersemu merah mendengar itu. Bayangan nanti akan berduaan dengan sang suami membuatnya tak sabar menunggu hari esok. Di mana mereka akan mengucapkan janji sehidup semati dalam ikatan yang sah. Terdengar suara yang begitu riuh di depan. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekar pernah mengikuti acara midodareni salah seorang teman. Semacam silaturahmi antara kedua keluarga untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Sekar memilih untuk menutup pintu dan berbaring di ranjang. Pondok sudah ramai dengan keluarga yang datang menginap sejak beberapa hari yang lalu. Namun, mereka tidur di kamar berbeda. Sebagian mah tidur di ruang tamu karena sempit. Sekar memang dibiarkan tidur sendirian karena kamar ini sudah dihias sedemikian rupa. Kain-kain satin menutupi seluruh dinding kamar. Juga aneka bunga yang diletakkan di sudut ruangan. Ada beberapa hadiah yang diletakkan di dalam sebuah keranjang. Dia akan membukanya besok. Di keraton sendiri, penjagaan semakin diperketat. Prajurit diberdayakan dua puluh empat jam secara bergantian. Pasukan ditambah dua kali lipat, terutama akses di pintu gerbang. Acara ini akan dibuka untuk umum. Setiap orang yang akan masuk dan keluar diperiksa dengan ketat. Para sesepuh selalu mengkhawatirkan ada penyusup atau perampok di setiap adanya keramaian, karena itu lumrah terjadi. Banyak yang menginginkan nyawa raja. Baik itu dari musuh yang terang-terangan atau diam-diam. Prajurit ditempatkan di setiap sudut. Besok setelah pernikahan dilangsungkan, pintu gerbang akan dibuka dan penduduk boleh melihat kedua mempelai bersanding di pelaminan. Sekar, si anak kusir kuda, kini akan menjadi istri dari panglima tertinggi di keraton. Betapa bangganya dia menyandang gelar itu. Lama berbaring membuat matanya terpejam. Sekar merasa melayang dalam mimpi indah saat terdengar suara ketukan di jendela. Gadis itu bersungut dan menerka siapa yang malam-malam begini berani datang dan mengganggu. "Kar!" Sekar terbangun dan duduk sambil memijat kepalanya yang berdenyut. Dia masih belum sepenuhnya sadar, sehingga matanya masih terpejam. "Kar. Buka!" "Siapa?" tanya gadis itu. Ada rasa takut yang menyusup ke dalam hati Sekar. Siapa tahu itu orang jahat yang ingin mencelakai. Ada banyak kejadian calon pengantin wanita yang diculik saat malam pernikahan. Lalu ditemukan di semak-semak dalam keadaan kritis karena diperkosa. "Ini aku," jawab suara itu. Sekar berjalan ke arah jendela dan membuka daunnya. Dia menutup mulut saat melihat ada sosok lelaki bertopeng berdiri di baliknya. "Ini aku." Penutup wajah dibuka. Tampaklah Kamandanu sedang tersenyum menatapnya. "Kangmas," kata Sekar dengan senyum malu-malu. Dia menunduk memilin ujung kemban. Kebiasaannya kalau sedang gugup. "Aku kangen kamu, Kar. Rasanya ndak sabar menunggu besok," ucap Kamandanu sembari meraih lengan mungil itu dan menciumnya lembut. Sekar memejamkan mata saat bibir Kamandanu menyentuh punggung tangannya. Lalu lelaki itu menangkup pipinya dan menyentuhkan hidung mereka. "Apa aku boleh?" tanya Kamamdanu berharap. Sekar mengangguk dan membiarkan sang pujaaan hati melakukannya. Bibir mereka bertaut dalam kemesraan..Namun itu tak berlangsung lama. Kamandanu melepaskan pangutannya dengan pelan dan menatap kembali wajah ayu yang membuatnya mabuk kepayang. Sekar merasa kecewa karena dia berharap lebih. Dia sendiri juga rindu dengan kekasihnya. Mereka tak boleh menjalin hubungan layaknya orang biasa. Tinggal di lingkungan keraton itu berarti semua aktivitas akan terus diawasi. "Aku datang cuma sebentar. Kamu baik-baik, ya," pesan lelaki itu. Ada nada yang tersirat dari ucapannya. "Kenapa Kangmas berbicara seperti itu?" tanya Sekar dengan perasaan tak menentu. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin menyampaikan agar kamu menjaga diri," ucapnya menenangkan. "Apa Kangmas akan pergi?" Sekar bertanya lagi. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaanya menjadi tidak enak. Bertemu sebelum hari pernikahan menurut adat mereka memang tidak diperbolehkan karena itu merupakan pantangan. Jika melanggar maka akan mendapatkam sesuatu yang buruk. Itulah yang mereka percayai turun temurun. Namun, malam ini Kamandanu melanggarnya. "Ya ndak. Aku ndak akan ke mana-mana. Besok kita kan mau nikah," katanya dengan tenang. Kali ini sambil menggenggam jemari itu dengan erat. Sekar menatap Kamandanu dengan gamang. Mengapa hatinya menjadi gelisah seperti ini. Kata ibunya, semua calon pengantin memang akan merasakan hal itu. Bahkan ada yang bertengkar dan batal menikah karena merasa tegang menunggu harinya. Karena itulah, calon pengantin tidak diizinkan bertemu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. "Kamu kenapa?" tanya Kamnandanu saat melihat kekasihnya murung. Sekar menunduk. Dia sulit mengutarakan perasaan. Sebagai seorang wanita, mereka memang dituntut untuk lebih banyak diam dan menerima. "Aku takut. Ndak tau kenapa rasa ini muncul terus sejak beberapa hari terakhir." Akhirnya dia mengungkapkan. "Jangan berpikiran buruk, Kar. Kita sama-sama berdoa supaya semua berjalan lancar." Lama mereka berbincang dengan berbisik-bisik agar tak ketahuan. Tadi saat acara pertemuan keluarga, Kamandanu hanya datang sebentar. Lelaki itu berpamitan pulang dengan suatu alasan. Padahal diam-diam bersembunyi dan menunggu kesempatan untuk menyelinap ke sini. Saat asyik bercerita, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk. "Nduk!" Sekar memberi kode agar Kamandanu diam karena dia akan menutup jendela, supaya mereka tidak ketahuan. "Ya, Bu?" Sekar tergopoh-gopoh membuka pintu. "Kamu belum tidur? Besok mau mantenan kok masih begadang. Piye, toh?" "Nggih, Bu. Ini sudah mau tidur." Sekar menutup kembali pintu dan mematikan lampu. "Kar. Aku pulang. Tunggu aku besok." Terdengar suara Kamandanu memanggil kembali. "Iya, Kangmas. Aku akan menunggumu," ucapnya pelan dalam kegelapan. Lalu malam itu mereka berpisah ... untuk selamanya. *** Kamandanu berjalan pelan menuju ke kediamannya setelah pulang dari rumah Sekar. Dia melangkah dengan hati-hati sambil terus waspada. Sebagai seorang prajurit, dia sudah terlatih jika ada musuh yang menyusup. Telinganya tajam mendengar suara, bahkan suara ranting patah sekalipun. Sejak pagi perasaannya tak menentu. Saat kedatangan keluarganya dan keluarga Sekar dari desa, ada ada banyak kejanggalan yang terjadi. Ada beberapa pengantar hadiah yang tak jelas siapa pengirimnya, dan itu diloloskan dari pemerikasaan. Kamandanu tak diberikan izin untuk memeriksa. Sebagai calon pengantin harusnya lelaki itu berdiam di kamar sampai hari pernikahan tiba. Namun, saat dia keluar tadi untuk melihat-lihat sebentar, lelaki itu menemukan banyak keanehan. "Siapa?" Kamandanu bertanya saat mendengar suara langkah kaki mendekatinya. Dia sudah memasang kuda-kuda dan bersiap-siap jika ada yang menyerang. Lelaki itu merasa ada seorang yang mengikutinya dari belakang. Tiga orang berpakaian serba hitam menghadangnya. Ketika mereka mulai menyerang, Kamandanu bergerak membalas untuk melindungi diri. Benar saja sesuai dugaannya, ada penyusup yang masuk ke keraton tanpa mereka ketahui. Dua orang penyusup mengelilingi Kamandanu dengan begitu lihat. Lelaki itu sempat melakukan perlawanan, tetapi sebuah pulikan lolos menghantam perutnya. Dia terhuyung ke belakang dan merasakan sesak. Saat hendak bangun, tiba-tiba sekumpulan asap muncul dan menutupi pandangannya. Kamandanu menutup hidung dan mencoba menghalaunya. Namun, kepalanya terasa pusing. Sepertinya asap itu mengandung racun yang melumpuhkan. Ketika Kamandanu lengah, tiba-tiba saja tubuhnya dihantam dengan sebuah pukulan yang keras sehingga jatuh pingsan. Lalu, tiga orang bertopeng dengan pakaian hitam itu berdiri mengelilinginya. "Masih hidup?" tanya lelaki bertopeng pertama. "Masih. Hanya pingsan," jawab lelaki kedua. "Kita buang ke mana?" "Ke jurang sana," usul lelaki pertama. "Jahat sekali kamu," jawab lelaki ketiga. "Kita diperintahkan untuk membunuh. Masih berbaik hati kita hanya membuangnya." "Dia juga bisa mati kalau begitu." Mereka berdua terdiam. Lalu salah seorang memberikan usul. "Bagaimana jika kita hanyutkan di sungai desa seberang?" Dua orang yang lain mengangguk. "Dia panglima yang baik. Aku menjadi tak tega untuk membunuhnya." "Lalu, bagaimana kita akan membawanya keluar dari tempat ini?" "Masukkan ke kereta tadi dan tumpuk dengan jerami. Para prajurit di depan sangat lengah saat mengizinkan kita masuk," jawab yang lain. Semua setuju. Lalu tubuh Kamandanu diangkat dan dianaikkan ke sebuah kuda. Tiga orang lelaki bertopeng itu kemudian menghilang dalam kegelapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD