Hubungan Rahasia

1482 Words
Elina kembali masuk ke rumah sambil membanting pintu. Tas sekolah ia buang begitu saja di lantai. Elina berdiri di depan Ervin yang sedang menutup mulutnya. Elina tahu dia sedang menahan tawa. “Kenapa gak bilang kalau sekarang Minggu?”tanya Elina berapi-api. “Kamu gak ada tanya, ‘kan?” ujar Ervin santai. Ia menggeser duduknya untuk bisa menikmati tontonan TV, tapi sayang Elina kembali menghalanginya. “Kamu bisa kasih tahu aku kalau sekarang libur, kenapa kamu cuma diam saja? Terus kenapa jam di kamar aku beda?” Elina mengeluarkan unek-uneknya. “Kalau masalah jam itu aku emang sengaja mengubahnya,” aku Ervin. Ia berdiri, kedua tangannya di masukkan ke dalam kantong celana. Ervin sedikit menunduk melihat Elina yang menatapnya sengit. Ervin tahu gadis itu sedang marah besar terlihat dari sorot matanya. “Karena aku juga libur hari ini jadi kita akan membersihkan rumah. Aku sudah beli cat, sama cairan pengharum lantai,” kata Ervin. “Kamu sarapan dulu dan ganti baju nanti aku akan membagi pekerjaan kita.” Ervin mengacak rambut Elina sebelum masuk ke kamarnya. Dengan langkah gontai Elina mengganti pakaiannya lalu sarapan di dapur. Walau kesal dengan sikap Ervin, tapi Elina tidak bisa menolak untuk membersihkan rumah. Ia tidak nyaman berada di rumah yang kotor apa lagi Ervin tidak punya pembantu. Ervin dan Elina keluar dari kamar bersamaan. Elina yang memakai pakaian kebesaran dan celana hotpans terlihat semakin cantik dengan rambut yang dicepol. Sementara Ervin memakai kaos oblong tanpa lengan yang memperlihatkan ototnya. Celana pendek hitam yang dipakai Ervin membuat penampilan pria itu terlihat santai. Keduanya saling berpandangan. “Ehem… duduk!” Ervin dan Elina duduk di sebuah meja kecil yang memiliki dua kursi. Mereka duduk berhadapan. “Tugas kamu membersihkan bagian dalam rumah sementara aku di luar. Pastikan semuanya bersih, mengerti?” ujar Ervin. “Jangan remehkan aku. Gini-gini juga bisa nyapu.” Ervin mengangguk. “Bagus kalau begitu.” Ervin beranjak mengambil cat yang ada di pojok ruangan. Ervin menatap Elina sekali lagi. “Sarapan kamu ada di dapur. Cuma roti bakar isi selai buat ganjal perut,” kata Ervin sebelum keluar. Elina berjalan ke dapur. Di atas piring beberapa potong roti telah tersaji. Elina melahapnya rakus. “Bagaimana dia tahu kalau aku suka selai nanas?” gumam Elina. Di luar rumah Ervin membersihkan tembok yang berlumut dengan amplas. Ia masih ingat saat kecil ayahnya meminta untuk ngecet tembok bagian belakang. Ervin tersenyum setiap kali ingat kenangan bersama ayahnya. Aku janji akan menjaga rumah ini selamanya, batin Ervin. Setelah selesai ngecet tembok Ervin lanjutkan dengan menyapu halaman. Baru setengah halaman yang ia sapu, kemudian Ervin masuk ke rumah saat Elina berteriak. Dengan cepat ia mencari keberadaan Elina. Ervin terdiam melihat dapurnya basah total. Air dalam keran meluber ke mana-mana. Elina berusaha menutup air yang bocor dengan tangannya, tapi sia-sia. Ervin segera memutar stop keran sehingga air berhenti mengalir. Ervin menyisir rambutnya dengan tangan. Elina hanya diam menatap sekujur tubuh yang basah. “Ganti pakaian dulu biar tidak masuk angin,” suruh Ervin. “Maaf,” ucap Elina dengan kepala tertunduk. Ervin tersenyum tipis mendengar kata maaf terucap dari bibir Elina untuk pertama kalinya. “Tidak apa-apa, aku bisa perbaiki lagi. Ganti baju dulu baru kita selesaikan bersama.” Elina mengangguk lalu keluar dari dapur. Ervin bergerak cepat mengambil perkakas yang ia punya. Dengan cekatan ia mencoba memperbaiki keran itu. Mudah saja bagi Ervin untuk memperbaikinya. Ervin melanjutkan membersihkan lantai dan mengeringkan meja yang terciprat air. Dalam waktu singkat dapur menjadi bersih. “Wah, kamu cepat juga membersihkannya,” ujar Elina saat masuk ke dapur. Ia sudah berganti pakaian dengan jaket hoodie warna pink polos yang agak panjang sampai menutupi lututnya. “Mr. Pelit apa aku boleh keluar?” Elina menarik kursi lalu duduk menghadap Ervin. “Pergi ke mana?” Ervin ikut duduk berhadapan dengan Elina. “Teman-teman mau ke bioskop nanti malam, tapi-” Elina menjeda ucapannya. Ia menarik kursinya agar lebih dekat dengan Ervin. Elina menengadahkan tangannya di depan wajah Ervin. “-kamu belum ngasi aku uang jajan,” lanjutnya. Ervin berdiri menatap Elina lekat. Ia berjalan ke tempat galon air berukuran kecil lalu menuangkannya ke gelas. Ervin menghabiskan airnya dalam sekali minum. “Kalau tidak punya uang jangan main ke bioskop. Masih banyak tempat gratis yang bisa dikunjungi.” Ervin menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. Elina mendekatinya. “Uang jajan itu hak aku, jadi kamu tidak bisa melarang untuk memakainya. Mana uangnya?” Ervin menatap Elina tajam lalu pergi begitu saja. Ervin masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian ia datang membawa amplop coklat. Ervin mengeluarkan isi amplop itu di depan Elina. “Satu juta buat jajan sebulan.” Elina menerima uangnya dengan senang hati. Beberapa kartu ATM-nya diambil oleh Tristan karena ulah Ervin. Andai saja Ervin tidak berjanji akan memenuhi kebutuhannya mungkin Elina bisa sepuasnya memakai uang Tristan. “Ini uang dapur selama satu bulan tapi jangan boros, beli yang benar-benar diperlukan. Kita harus hemat karena gaji aku tidak cukup buat biaya bulanan untuk dua orang,” kata Ervin memberikan sejumlah uang lagi pada Elina. “Tenang saja, uang ini akan aku gunakan sebaik-baiknya.” Elina masuk ke kamarnya untuk bersiap. Ervin menatap punggung Elina menjauh. Ponsel Elina berdering ada pesan yang masuk. Elina segera mengganti pakaiannya lalu pergi. Ervin yang sejak tadi memerhatikan sang istri yang terlihat cantik memakai rok selutut dan baju putih yang memperlihatkan bahunya pun hanya diam. “Jangan pulang malam. Jam 9 harus sudah di rumah,” kata Ervin sebelum masuk ke kamar. Elina memutar bola matanya. Film yang akan ia tonton baru mulai jam 7 lebih bagaimana bisa ia sampai di rumah tepat waktu. Elina keluar dari rumah, sebuah mobil putih menjemputnya. Elina sudah memesan taksi online yang akan membawanya ke bioskop. *** Elina berlari saat melihat teman-temannya duduk di kursi tunggu. Masing-masing dari mereka sudah membawa popcorn dan minuman. Elina mengatur napasnya sebelum menyapa. “Maaf aku telat,” ujarnya. Seorang pria menghampiri Elina dan memberikan popcorn dan minuman padanya. Elina tersenyum saat menerima popcorn itu. “Rasa keju kesukaan kamu,” ujar pria itu. “Kamu memang selalu tahu, Varen.” Elina mengapit tangan Varen membuat ketiga temannya yang lain menggoda. Elina tersenyum malu terlebih Varen kini menggenggam tangannya. “Sudah kalian berdua jadian saja,” celetuk gadis berambut sebahu. Naura. Dia adalah orang yang senang menjodohkan Varen dan Elina sejak dulu. Bisa dibilang dia adalah tim sukses dari Varen untuk mendapatkan hati Elina. “Kalian yang dekat kok gue yang gregetan sih?” timpal seorang gadis bernama Gina. “Gue gak setuju kalau Elina sama Varen pacaran entar teman-teman pada iri,” ucap Hendra memberikan pendapatnya. Pria berambut panjang yang berada di samping Naura itu pun meminum cola-nya. “Apa yang kalian bicarakan? Sudah di panggil tuh, ayo masuk,” ujar Varen. Mereka berlima pun masuk ke dalam ruangan bioskop. Selama film berlangsung Elina tidak pernah berhenti tersenyum karena Varen. Bahkan mereka asik bicara tanpa memperhatikan film yang sedang diputar. Elina merasa hatinya menghangat. Andai saja Varen adalah suaminya mungkin Elina akan bahagia. *** Suara detik jarum jam membuat Ervin terganggu. Waktu terus berlalu dan hari semakin malam membuat ia semakin gelisah. Elina belum juga pulang saat jarum pendek menunjuk angka sebelas. Ervin mengusap wajahnya gusar. Ia bahkan tidak bisa konsentrasi belajar sebelum tahu keberadaan Elina. Satu bungkus nasi yang ada di atas meja sudah mulai mendingin. Ervin menghela napas panjang. Dia tidak bisa memungkiri sedang khawatir. Bagaimana pun Elina adalah tanggung jawabnya. “Ke mana bocah itu jam segini belum pulang?” gumam Ervin. Saat suara mobil berhenti di depan rumahnya dengan cepat ia mengintip melalui jendela. Ervin melihat Elina keluar dari taksi. Ervin buru-buru duduk di kursi dan pura-pura belajar. Pintu terbuka, Elina muncul dengan wajah berseri. Ervin melirik istrinya melalui ekor mata. “Kenapa pulang telat?” tanya Ervin tanpa mengalihkan tatapannya dari buku. Elina mendekatinya lalu duduk di samping Ervin. “Habis nonton terus kita makan malam bersama, jadi pulangnya agak malam,” kata Elina. Ervin menatap sebungkus nasi yang ada di atas piring. Nasi itu masih terbungkus rapi tidak tersentuh sedikit pun. “Itu apa?” tanya Elina mengikuti arah pandang Ervin. “Nasi goreng yang di depan. Kamu sudah makan, kan?” tanya Ervin membuat Elina menatapnya. Elina meraih nasi itu lalu membukanya. “Kamu bilang tidak boleh buang makanan,” ujar Elina. Ervin mengangguk. “Kalau begitu kita habiskan berdua,” ujarnya. “Apa?” Ervin melihat Elina menyantap nasi goreng yang dibelinya. Tanpa diduga Elina justru menyuapi Ervin. Ragu-ragu Ervin menerima suapan dari Elina. Entah kenapa sikap gadis itu terasa aneh. Ervin meletakkan tangannya di kening Elina untuk memastikan suhu tubuh istrinya normal. Elina menepis tangan Ervin. “Apaan sih?” “Kamu gak sakit, kan? Atau kamu mabuk?” tanya Ervin. “Ngomel salah, baik salah maunya apa sih?” Ervin ingin bicara namun Elina sudah menyumpal bibirnya dengan makanan. Ervin tidak diberikan kesempatan untuk bicara. Setiap selesai mengunyah Elina akan menyuapi Ervin lagi tanpa jeda. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD