Bau jeruk dari sabun mandi membuat pikiran Ervin lebih tenang. Ia berdiri di depan cermin besar full body yang menempel langsung di lemarinya. Kemeja putih bergaris biru menjadi pilihan pakaiannya untuk ke kampus. Tidak lupa ia melipat lengan kemejanya sebatas siku.
Ervin meraih ponsel yang ada di atas tempat tidur. Rumahnya masih sepi membuat ia yakin kalau Elina belum bangun. Ervin bergegas menuju kamar Elina, mengetuk pintunya berkali-kali.
“Elina bangun sudah siang. Hari ini Senin kamu bisa terlambat,” teriak Ervin sambil menggedor pintu kamar istrinya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana membuat Ervin terpaksa masuk tanpa izin.
Elina masih tidur pulas di atas tempat tidur sambil memeluk guling. Selimut dan bonekanya pun berserakan di lantai. Ervin mendekati tempat tidur lalu berteriak di samping telinganya.
“Bangun sudah siang!”
Elina terlonjak kaget. Rambut acak-acakan, matanya pun masih setengah terbuka. Elina menatap Ervin, alisnya tertekuk.
“Jangan bohong, aku masih ngantuk,” ujar Elina kembali tidur. Ervin mengusap keningnya melihat sifat malas Elina. Seharusnya sebagai istri Elina bisa bangun pagi lalu menyiapkan sarapan sebelum ke sekolah. Ervin berjalan menuju jendela. Ia menyibak gorden putih yang menghalangi sinar matahari masuk.
Di luar matahari mulai meninggi dan udara mulai hangat. Ervin berkacak pinggang saat Elina mengusap matanya. Mata Elina membulat saat melihat jam di ponselnya.
“Kenapa tidak bilang kalau sudah siang? Aku bisa telat,” ujar Elina panik. Ia segera turun dari tempat tidur mengabaikan Ervin yang kini sedang bersandar di tembok.
“Cowok memang selalu salah,” gumam Ervin saat melihat Elina keluar dari kamar.
Ervin kembali ke kamarnya untuk bersiap pergi ke kampus. Jam pertama di mulai pukul 09.15, masih ada waktu untuk mengantar Elina ke sekolahnya. Baru saja Ervin menyampirkan tas punggungnya dan mengambil kunci motor di atas meja pintu kamarnya dibuka kasar. Elina masuk dengan rambut yang masih acak-acakan.
“Sudah siap?” tanya Ervin memperhatikan penampilan Elina jauh dari kata rapi.
“Mister minta tolong sisirin. Rambut aku kepanjangan,” kata Elina sembari menodongkan sisirnya.
“Jangan manja sisir sendiri. Aku gak mau bantu,” sahut Ervin.
“Kok nyebelin sih? Help me, please,” rengek Elina seperti anak kecil. Ervin membuang tasnya ke tempat tidur lalu mengambil sisir yang Elina berikan.
“Duduk.” Ervin menunjuk tempat tidurnya dengan dagu. Kali ini Elina menurut. Ia langsung duduk manis. Dengan lembut Ervin mulai menyisir rambut halus Elina. Ervin tidak habis pikir kalau Elina tidak bisa merapikan rambutnya sendiri. Ia merasa seperti punya anak dewasa.
“Biasanya kalau di rumah Bi Tuti yang nyisirin rambut aku,” ujar Elina.
“Sudah rapi,” kata Ervin. Elina merogoh saku roknya dan memberikan sebuah dasi pada Ervin. Kening Ervin mengkerut melihat senyum Elina.
“Pasangi.” Lagi-lagi Ervin menghela napas panjang, tanpa membuang waktu ia memasangkan dasi Elina. Kalau ia tidak mau Elina bisa merengek lagi.
“Terima kasih, Mr. Pelit.” Elina berlari keluar kamar Ervin. Ervin bergegas mengambil tasnya. Elina sudah menunggu di motor saat Ervin keluar. Ia menghampiri Elina kemudian memasngkan helm di kepala gadis itu.
“Aku belum pernah naik motor, bisakah kita sewa mobil saja?” tanya Elina pada Ervin yang sudah berada di atas motor.
“Buat apa hambur-hamburkan uang buat biaya taksi kalau sudah punya motor?”
Elina menghentakkan kaki kesal. Kedua tangannya dilipat. Ia tidak mau melihat Ervin.
“Cepat naik,” suruh Ervin.
“Aku takut naik motor. Aku gak tahu caranya naik.”
Ervin turun dari motornya kemudian menggendong Elina ala bridal. Elina memekik saat Ervin mengangkat tubuhnya ke atas motor. Wajah Elina berubah pucat saat Ervin duduk di depannya.
“Pegangan yang erat,” ucap Ervin sambil mengenakan helm, tapi Elina tidak peduli. Ia hanya memegang ujung pakaian Ervin seraya membuang muka ke arah lain. Ervin melajukan motornya keluar dari pekarangan rumah. Setelah sampai di jalan raya Ervin menambah kecepatan yang membuat Elina mau tidak mau memeluk pinggangnya.
Ervin dengan lihai meliuk-liukkan motornya untuk menghindari kemacetan. Elina yang baru pertama kali naik motor hanya bisa memejamkan matanya. Pelukan Elina di pinggang Ervin semakin erat. Rasa takut membuat Elina tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah. Keadaan sekolah yang sepi membuat Ervin menduga kalau pembelajaran sudah di mulai.
“Elina cepat turun,” kata Ervin membuat Elina membuka matanya. Dengan lutut bergetar Elina turun dari motor Ervin. Kepalanya pusing membuat Elina jalan sempoyongan. Perutnya ikut bergejolak membuat Elina menutup mulut dengan tangan.
“Elina kamu baik-baik saja?” teriak Ervin. Elina hanya mengangkat tangannya, berusaha untuk tetap berjalan. Ervin ingin menyusul Elina yang masih memakai helm-nya, tapi ia urungkan niat itu ketika ingat jam pelajarannya akan segera dimulai. Ervin bergegas meninggalkan sekolah Elina.
Sepanjang jalan menuju kelas Elina tidak henti menutup mulutnya. Kepalanya yang pusing ditambah perut yang masih mual membuat Elina sesekali berhenti. Ia bersumpah tidak akan naik motor Ervin lagi. Pandangan Elina seketika menggelap membuat tubuhnya ambruk ke lantai.
***
Ervin bisa duduk dengan tenang di kursinya saat tahu dosen yang mengajar belum tiba. Beruntunglah ia tidak diusir dari kelas. Baru saja ia mengeluarkan buku catatan, Isya dan satu teman wanitanya duduk di samping Ervin. Mereka berdua mengappit Ervin di sisi kanan dan kiri.
“Vin,” panggil Isya.
“Apa?”
“Kenalin itu teman gue namanya Dinda,” ujar Isya memperkenalkan teman cantiknya. Ervin menoleh dengan senyum canggung pada Dinda.
“Gue Dinda Supriyono Sukamaju,” ucap Dinda sambil mengulurkan tangan. Ervin menerima uluran tangan Dinda lalu menatap Isya kembali. Isya menarik kursinya untuk bisa lebih dekat dengan Ervin.
“Dia tertarik sama lo, mumpung masih jomblo siapa tahu kalian jodoh,” bisik Isya.
“Terima kasih, tapi gue gak mau pacaran,” ucap Ervin. Tepat setelah itu dosen masuk ke dalam kelas membuat percakapan Ervin dan Isya terhenti. Ervin merasa risih dengan keberadaan Dinda apalagi tatapannya terus mengarah pada Ervin. Ingin rasanya pindah dari tempat duduk itu tapi Ervin takut membuat Dinda dan Isya tersinggung. Sesekali Ervin menatap Dinda lalu tersenyum tipis saat tatapan mereka bertemu.
Gadis itu sangat cantik dengan rambut sebahu dan wajah bulatnya, tapi Ervin lebih suka wajah oval dengan rambut panjang, alis tipis dan bibir merah muda. Tiba-tiba bayangan Elina muncul di pikirannya. Ervin segera menggeleng, lalu kembali fokus pada dosen yang mengajar.
***
Elina mengerang saat merasakan usapan di keningnya. Perlahan mata itu terbuka, membuat Varen yang sejak tadi menunggu akhirnya berdiri.
“Elina,” panggil Varen lega. Elina menoleh lalu tersenyum tipis pada pria tampan yang memakai seragam yang sama dengannya. Elina bangun dibantu oleh Varen bersandar bantal . Elina mengusap perutnya yang sudah tidak mual lagi.
“Kamu baik-baik saja? Apa masih sakit?” tanya Varen. Pintu ruang UKS terbuka. Naura dan Gina muncul membawa makanan.
“Aku baik-baik saja,” jawab Elina lemas. Tatapan Elina tertuju pada helm yang ada di atas meja. Seketika perutnya bergejolak. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi saat Ervin mengendarai motor ugal-ugalan yang membuat ia takut sampai mual- mual.
“El, makan dulu, biar ada tenaga,” kata Naura. Elina menerima makanan yang diberikan sahabatnya. Hanya sepotong roti isi dan teh hangat untuk mengganjal perut. Elina melahapnya dengan rakus, pagi tadi ia tidak sempat sarapan karena terburu-buru.
“Sebenarnya lo kenapa Elina? Kenapa bisa pingsan gitu, untung Naura lihat pas lo jatuh,” kata Gina tepat setelah Elina selesai makan. Elina ingin membersihkan mulutnya dari sisa makanan tapi saat ia mencari sapu tangannya di saku ternyata benda itu tidak ada.
Varen mengusap bibir Elina menggunakan tangannya. Elina menatap Varen, wajahnya memerah saat mata mereka saling beradu.
“Ehem… masih ada dua orang di sini, jangan pacaran terus,” ucap Gina membuat tatapan mereka terputus.
“Tadi pagi aku cepat-cepat ke sekolah terus pertama kalinya naik motor jadinya pusing,” jelas Elina.
“Emang supir lo ke mana?” tanya Naura.
“Itu…Pak Yanto lagi pulang kampung, jadi terpaksa naik ojek online.” Elina menggigit bibir bawahnya, jangan sampai teman-temannya tahu kebenarannya. Tidak mungkin Elina mengatakan bahwa ia ‘dibuang’ oleh orang tuanya pada pria pelit dan kere seperti Ervin. Satu hal positif yang Elina lihat dari sosok Ervin adalah dia pria tampan. Hanya itu tidak lebih.
Naura, Varen dan Gina kompak menatap helm yang ada di atas meja. “Oh, jadi itu alasannya lo pingsan masih pakai helm? Bukannya naik ojol helm-nya dikembaliin ya?” tanya Naura.
“A… itu, aku lupa balikin. Cepat-cepat jadi gak sempat.”
“Ini pertama kalinya aku lihat helm ojol warna pink bergambar Hello Kitty,” gumam Varen. Elina hanya bisa tersenyum menanggapi. Ia sendiri heran kenapa Ervin bisa punya helm warna pink.
“Oh, iya, Bagaimana pengumumannya?” tanya Elina mengalihkan pembicaraan. Ketiga temannya tersenyum lebar.
“Kita semua lulus. Nanti siang nilai akan ditempel di mading dan papan pengumuman,” jelas Gina membuat Elina bahagia. Ia sudah lulus dari SMA dan sebentar lagi akan menginjak bangku kuliah. Elina sudah tidak sabar menunggunya. Menjadi anak kuliahan itu keren menurut Elina.
“Eh, kayaknya pengumuman sudah di pasang. Kita lihat, yuk!” seru Naura setelah menerima pesan dari ponselnya. Varen membantu Elina untuk turun dari tempat tidur. Varen mencekal tangan Elina sebelum gadis itu benar-benar keluar dari UKS.
“Elina ada yang ingin aku katakan.” Varen menggenggam kedua tangan Elina erat. “Aku gak mau kehilangan kamu karena sebentar lagi kita lulus,” ujar Varen.
“Terus?”
“Aku berharap kita bisa satu universitas dan bisa bersama-sama seperti sekarang.”
“Terus?”
“Aku ingin kita sama-sama selalu,” ujar Varen sambil menggigit bibir bawahnya. Matanya berkedip beberapa kali ditambah keringat dingin mulai menetes.
“Terus?”
“Terus? Itu–” Varen terdiam. Jantungnya berdebar kencang. “–untuk itu kita harus susul mereka berdua.” Varena tersenyum lebar sebelum keluar dari UKS mendahului Elina yang diam mematung di tempatnya.
“Varen aneh,” gumamnya. Elina mengurungkan niatnya untuk keluar dari UKS saat teringat helm-nya. Melihat pelindung kepala itu membuat Elina teringat Ervin. Pria itu harus membayar semua yang terjadi.
“Awas saja kau Mr. Pelit.” Elina keluar dari UKS setelah memakai helm-nya.