Arseno beranjak sembari menggantungkan jubah dokternya lalu melangkah keluar. Pemuda berahang kokoh itu mengangkat alis melihat tiga orang pemuda kini berdiri di depan ruangannya dengan menatapnya kaget.
Salah satu di antara mereka yang berhidung bangir berdehem membuat Arseno menautkan alis melihat kemunculan ketiganya.
"Elo siapa?" Ceplos yang lain yang berkulit agak gelap di antara ketiganya dengan memandangi Arseno lekat.
Arseno menghela nafas dengan berdecak lirih lalu mengangkat wajah menatap tiga cowok asing itu.
"Seharusnya saya yang tanya, kalian siapa? Kenapa ada si depan ruangan saya?" Tanya Arseno masih memegang daun pintu, "kalian ada perlu apa?" Lanjutnya lagi dengan menghela kasar.
Pemuda yang sedari tadi diam dan kini berdiri di samping Arseno bergerak maju memandangi Arseno dengan teliti. Matanya memicing mengamati wajah tampan Arseno yang hanya berekspresi kaku sedari tadi.
"Dia bukan Alvaro." Katanya tenang sembari membalikan tubuhnya hendak pergi, namun temannyaa menahannya masih belum puas.
"Bentar dulu. Siapa tahu ini Alvaro yang nyamar jadi dokter, elo tahu sendirikan si b**o ini anaknya gimana?" Cibir pemuda itu lagi masih memandang Arseno menyelidik.
Pemuda berkulit gelap menghela kasar, "bukan. Dia bukan Alvaro, dokter ini punya lesung pipit sama t**i lalat di antara kedua alisnya. Sedangkan Alvaro nggak," kata cowok bergaris wajah lembut membuat Arseno menaikan satu alis baru mengerti.
"Heh? Emang iya?" Ceplos yang lain kembali memandang Arseno lekat.
Arseno menggelengkan kepalanya lemah lalu menyuruh ketiganya masuk. Kesal juga harus dituduh sebagai Alvaro begini. Padahal ia punya wajah lebih tampan dan berkarisma. Sedangkan, sang kembaran, Alvaro hanyalah manusia yang tidak berguna di antara manusia tidak berguna lainnya.
"Kenalin. Gue Arseno, kembarannya Alvaro." Ujarnya memperkenalkan diri, lelah juga dikira orang lain membuat ketiga orang di depannya tersentak kaget.
"Seriusan? Pantesan mirip yah." Kata cowok pemilik hidung bangir di depannya membuat Arseno mengangguk, "malang amat nasib lo, harus jadi kembarannya Alvaro," lanjutnya masih saja menghina.
Arseno tersenyum samar sembari menyuruh ketiganya untuk duduk. Pemuda itu terlihat menggulung lengan kemejanya sembari menatap ketiga pemuda itu lagi.
DOOORRRR!!
Suara tembakan terdengar di lantai satu membuat ketiga orang dihadapan Arseno itu tersentak kaget dengan mata melebar.
Arseno menghela pelan sembari merunduk mengikat erat sepatu miliknya lalu mendongak.
"The game is start now." Ujarnya dengan meraih pisau bedahnya dan menaruhnya pada kantong kemejanya.
"Itu suara tembakan?" Tanya salah satu di antara mereka panik membuat Arseno mengangguk tenang, "kok bisa? Ada apaan?" Tanyanya lagi membuat Arseno menghela pelan.
"Kalian bertiga... bisa berkelahi, kan?"
Pemuda yang duduk di samping mengangguk, begitupun cowok yang berkulit sedikit gelap. Berbeda dengan teman mereka yang di depan yang awalnya ragu namun akhirnya mengangguk juga.
"Dibawah sana, ada banyak musuh bersenjata. Mumpung kalian disini, bantuin gue ngelawan mereka," ujar Arseno lalu melangkah memipin membuat ketiga pemuda itu mengekori walau tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi.
Samar-samar mereka mendengar teriakan dari bawah sana membuat Arseno mempercepat langkahnya meninggalkan ketiga orang itu yang masih menyeret kakinya.
Arseno berjalan tenang melewati beberapa orang yang terlihat merunduk takut. Pemuda itu menajamkan pandangannya saat melihat banyaknya ponsel yang dikumpulkan di tengah aula agar para pasien dan juga keluarga pasien tidak ada yang berani menelepon polisi.
Arseno berdecak sembari memandang kearah bosgeng yang sedang memegang tubuh Alvaro dengan menodongkan s*****a pada pemuda itu.
"Gue bakal maafin lo, dan lo boleh pergi dengan tenang sekarang." Ujarnya dengan alis terangkat membuat cowok berpakain serba hitam itu mendecih kasar.
"Gak semudah itu, Arseno." Katanya sudah menarik tubuh Alvaro dan menodongkan s*****a tepat pada kepala pemuda itu.
Arseno tersenyum miring dengan meraih pisau bedahnya di dalam saku dan memainkannya tanpa takut bahaya di depan sana. Metta yang bersembunyi di bawah meja resepsionis sudah menelan kasar melihat Arseno yang tak kenal takut itu.
"Serahin semua aset rumah sakit lo sekarang, dan bawa brankas rumah sakit kesini sekarang." Teriak cowok itu membuat Arseno mengangguk saja walau tidak sepenuhnya benar-benar menurut.
"Setelah jadi mantan dokter, sekarang lo ubah profesi jadi pemberontak? Dokter Reza?" Ujar Arseno dengan sengaja menekan nama Reza disana membuat para dokter dan juga staff sudah berbisik membicarakan. Mereka tidak tahu orang yang berdiri disana adalah mantan dokter yang bekerja di rumah sakit itu dulunya.
Arseno tersenyum. Senyum mengejek.
"Kenapa? Elo kira dengan lo berontak begini, anak lo yang meninggal bisa kembali?"
"TUTUP MULUT LO!!"
Arseno menggelengkan kepala heran sembari melongokan kepalanya dan berdecak lirih.
"Ternyata para satpam udah kalian lumpuhin juga? Hebat juga lo." Pujinya seakan merasa kagum, cowok di depan sana sudah mengeraskan rahangnya sembari memegang pelatik pistol dan menodongnya kearah Alvaro membuat semua yang ada disana memekik kecil.
Arseno berdecak lirih.
"Lo sekarang mau jadi pembunuh?" Katanya menatap lurus kearah cowok yang bernama Reza itu, "oh gue lupa. Ini bukan pertama kalinya, kan?" Lanjut Arseno lagi dengan pandangan sudah berbeda.
"Lepasin dia. Dia gak ada hubungannya sama masalah ini."
"Gak akan."
Arseno berdecak lagi.
"Jangan salahin gue kalau lo mati sekarang!"
Reza mengeraskan rahang sembari hendak menarik pelatik pistol bertepatan dengan Arseno yang sudah mengayunkan tangannya melempar pisau bedahnya kearah Reza.
Jleeeebbb
Pisau bedah itu mengenai langsung tangan kanan Reza yang memegang pistol membuat cowok itu menjatuhkan senjatanya dan Alvaro berlari kecil menjauh dari cowok itu.
Arseno menghela pelan.
"Kenapa? Sakit?" Tanyanya sudah mendekat kearah pemuda itu yang sudah meringis kesakitan dengan darah yang berceceran pada tangannya.
"Keempat anak buah lo bawa s*****a juga? WAH! emang dasar mental anak anak yah?" Sindirnya, keempat orang itu berdiri menunggu perintah dari Reza sebagai ketuanya.
"Kalau lo emang laki? Seharusnya cuma adu jotos, jangan pake s*****a. Cuma banci yang pakai s*****a," katanya tajam buat Reza mengeraskan rahangnya kasar, "gimana? Gue punya penawaran buat lo. Simpan s*****a lo, dan kita bisa adu fisik secara gentle?" Lanjutnya dengan menaikan alis.
Reza meringis lagi lalu beranjak berdiri. Pemuda itu sekilas memandangi luka di tangannya.
Arseno menghembuskan nafas kasar.
"Seharusnya tadi gue lemparnya ke mata yah. Kan keren kalau lo punya satu mata, biar samaan kayak dajjal." Reza memainkan lidah di dalam mulutnya sembari tersenyum miring.
"Oke. Adu fisik boleh juga," katanya menantang.
Arseno menoleh ke belakang. Ketiga pemuda tadi melangkah mendekat dengan tenangnya berdiri berjejer bersama pemuda itu. Alvaro yang masih duduk bersembunyi di balik pilar hanya memandang itu dengan meringis kecil.
Reza terbahak keras lalu menoleh.
"Suruh yang lain masuk."
Arseno menaikan satu alis, beberapa pemuda berpakain persis dengan Reza sudah berlari masuk berjejer bersama cowok itu.
"Elo kalah banyak."
"Hm. Benar."
Kedua kubu itu sudah saling melemparkan tatapan tajam. Bersiap hendak melayangkan tonjokan dan bogeman satu sama lain.
Suara langkah kaki dari arah pintu masuk membuat semua yang ada disana menoleh. Sesosok gadis mungil berkerudung melangkah masuk dengan polosnya. Alisnya bertautan memandang banyaknya orang yang berkumpul disana. Sebagian lagi berdiri berhadapan entah kenapa.
"Ada apaan nih? Kok ngumpul semua?" Ujar gadis itu sudah melangkah mendekat membuat Alvaro melebarkan mata kaget. Begitu pula ketiga cowok yang bersama Arseno memandangi istri Alvaro itu yang melangkah tanpa dosa.
Reza menautkan alis melihat sosok itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka dengan menatap mereka polos.
"Kenapa pada diam? Ini lagi syuting ya? Kok gak ngajak ngajak?" Ujarnya sembari menoleh ke samping, "lah ada lo Zam, eh ada Arseno, ada Bagas sama Maliq juga?" Lanjutnya masih cerocos panjang lebar mengenali keempat pemuda di sana yang menatapnya cemas.
"Azura!" Teriak Alvaro sudah berdiri membuat gadis itu menoleh.
"Pergi dari situ?"
"Kenapa?"
"Mereka orang jahat."
".................huh?"