Arseno menautkan alis memandangi Azura, istri Alvaro yang melangkah mendekat seakan tanpa dosa. Gadis berkerudung itu bahkan berdiri di antara Arseno dan juga Reza.
"Ada apaan nih? Kok ngumpul semua?" Ujarnya seakan tidak takut, padahal sedari tadi jantungnya melompat-lompat tidak karuan.
Azura sekilas melirik kearah pemuda di samping kanannya yang hanya menatapnya dengan alis bertautan. Pemuda itu terlihat meringis kecil dengan luka di tangannya, ada benda kecil juga yang masih tertancap di tangan besarnya. Entah apa itu.
Azura kembali berdehem dengan menghela samar, "Kenapa pada diam? Ini lagi syuting yah? Kok gak ngajak ngajak?" Ujarnya sembari menoleh ke samping, "lah ada lo Zam, eh ada Arseno, ada Bagas sama Maliq juga?" Lanjutnya masih cerocos panjang lebar. Padahal gadis itu sudah tahu ada mereka sedari tadi.
"Azura!" Teriak Alvaro sudah berdiri membuat gadis itu menoleh.
"Pergi dari situ?"
Azura mengernyit. Melempar tatapan kearah Alvaro seakan memberi isyarat. Namun, Alvaro hanya mengkerutkan kening tidak mengerti.
"Kenapa?" Tanya Azura berusaha mengulur waktu sembari menunggu polisi datang.
"Mereka orang jahat."
".................huh?"
"Dia siapa lagi? Pacar baru lo?" Ujar cowok di samping Azura yang berbicara kearah Arseno tanpa mempedulikan Azura lagi.
Arseno berdecak lirih merasa gatal ingin menonjok pemuda itu.
"Gak usah urusin gue mantan dokter," ujar Arseno dengan sengaja menekan kata mantan dokter membuat cowok di depan sana melangkah maju dan menarik kerah kemeja pemuda itu.
Azura yang berdiri di antara tubuh-tubuh menjulang tinggi itu seakan tenggelam disana. Gadis itu hendak melerai namun lengannya ditarik cepat oleh seseorang membuatnya mendongak kecil.
"Jangan disini. Bahaya," ujar pemuda itu yang membuat Azura mengangguk kecil kearah sang kembaran.
Azura berlari kecil saat kedua kubu itu sudah saling baku hantam. Entah siapa yang memulai duluan. Azura bisa melihat Arseno sudah adu tonjok dengan pemuda tadi. Mereka saling balas menonjok, dengan sesekali menendang kasar lawannya.
Azura menggigit bibir sembari berharap polisi segera tiba secepatnya. Dia tidak ingin ada yang terluka.
Suara sirine polisi membuat semua menegak kaget. Terutama kubu Reza dan teman-temannya. Mereka menggertakan gigi memandang Arseno tajam. Arseno hanya membalas dengan mengedikan bahu.
"ANGKAT TANGAN KALIAN! INI POLISI!!" Sontak Reza dan antek-anteknya kompak mengangkat tangan diatas kepala. Mereka ingin melawan tapi sudah diserbu polisi begini sia-sia saja. Apalagi polisi yang banyak begini.
Arseno menghela kasar saat melihat Reza sudah diseret kearah mobil polisi. Pemuda jangkung itu berdecak sembari menoleh pada Azzam dan yang lain yang terlihat beberapa luka kecil di bibir dan juga pelipis mereka karena adu tonjok tadi.
Para staff dan dokter sudah beranjak sembari mengurus para pasien dan keluarga pasien yang masih shock karena kejadian barusan.
Arseno pun melangkah pelan, namun langkahnya terhenti. Pemuda itu menoleh melihat Metta masih duduk merunduk dengan kedua tangan yang menutup telinganya.
Pemuda itu melangkah mendekat sembari berjongkok di depan gadis berambut sebahu itu. Melihat ada sepasang sepatu di depannya membuat Metta mendongak kecil dengan mata sembabnya.
"Bu-bukan gue pembunuhnya, bu-bukan gue," ujarnya ketakutan dengan air mata yang masih mengalir, Arseno menghela nafas melihat itu sembari mengangguk lemah.
"Elo percayakan, Arsen? Bu-bukan gue," kata Metta lagi seakan masih ketakutan, Seno mengangguk lagi lalu mendekatkan diri menarik pelan tubuh gadis itu kedalam pelukannya.
"Iya. Bukan lo pelakunya," gumam Arseno lirih dengan tangan yang memukul pelan bahu gadis itu menenangkan.
Metta punya trauma masa lalu. Jika gadis itu mendengar suara tembakan maka masa lalu kelamnya akan terputar kembali. Membuat rasa bersalahnya kembali menghantui.
Azura berdecak sembari mengobati Azzam dan yang lain di dalam ruangan Alvaro. Gadis itu menggerutu kecil melihat luka sobek kecil pada ujung bibir dan juga pelipis pemuda-pemuda itu.
"Emang tadi mereka siapa sih? Ngapain bikin rusuh di rumah sakit?" Gerutunya dengan tangan yang sibuk menempelkan obat merah ke ujung bibir pemuda berwajah lembut di sebelahnya.
Arseno yang duduk bersebelahan dengan Metta hanya mengedikan bahu tidak tahu.
"Terus lo ngapain disana tadi? Tiba tiba nongol tanpa takut, emang lo gak takut di gelinding tadi?" Omel Alvaro yang masih kesal dengan tingkah lakunya istrinya tadi.
Azura memutar mata jengah.
"Ini nih, ini. Orang yang gak paham tentang strategi melawan para monster jahat," ujar Azura asal membuat kedua pemuda yang bersama Arseno tadi terkikik geli menggelengkan kepala heran. Sedangkan cowok yang sesang diobati lukanya hanya tertawa renyah dan menoyor kecil Azura gemas.
Arseno sendiri tidak menanggapi, hanya melirik kecil Metta yang merunduk dengan terdiam. Pemuda dingin itu heran juga, kenapa gadis bernama Azura ini bisa kenal dan dekat dengan cowok-cowok padahal ada suaminya.
"Tadi itu aku lagi akting. Pura pura nanya padahal lagi mengulur waktu buat nungguin polisi tiba, kalau di film film action kan pasti ada cewek cantik yang bisa mengecoh lawan biar lawannya itu gak nyadar kalau lagi dikelabui." Jelas Azura dengan bibir mencuat-cuat kecil, Alvaro mendengkus kasar, "tapi kan lo gak cantik." Azura memejamkan matanya erat dengan mengepalkan tangan sempurna. Gadis itu menoleh tajam kearah sang suami membuat yang lain tertawa saja karena ulahnya.
"Yang hampir mati karena kecelakaan pesawat mah diam aja, gak usah sok iye padahal gak bisa bantu sama sekali. Sok bilangin 'mereka orang jahat'," cibir Azura mengikuti cara teriak Alvaro tadi, "nenek nenek sekarat juga tahu kalau mereka orang jahat. Gue gak sebego itu," ujarnya dengan pedas.
Alvaro mengulum bibir hendak membuka mulut.
"Eh dia gakpapa?" Ujar Azura berubah lembut kearah Arseno, menunjuk Metta dengan dagunya.
Arseno mengangguk samar walau belum yakin Metta sudah baik-baik saja atau tidak.
Azura terdiam memandangi gadis itu yang seperti hilang kata. Masih memandang lurus kakinya yang terbungkus sepatu.
"Dia ada trauma gitu gak sih? Kok sekarang kayak orang bengong gitu?" Celetuk Azura masih menatap Metta, "dia kayak gemetaran banget tadi. Tapi pas lo peluk dia jadi mendadak tenang ya?" Lanjut Azura sembari melirik Arseno yang hanya terdiam.
Azura mengulum bibir. Merasa canggung juga terlalu ikut campur hubungan dua orang itu. Gadis mungil itu beranjak sembari mendekat kearah Alvaro.
"Al, mancing yuk?!"
"Pengalihan macam apa itu?"
"Diem lo?!!!"
"Guekan cuma nanya."
"Yaudah diam, gue malu nih."
"Dih. Biasanya malu-maluin,"
"Al, besok jalan jalan ke jurang yuk?!"
"Ngapain?"
"Nanti pas disana gue jorokin biar lo musnah sekalian,"
"Eh anjiiiiirrrrr!!"
Arseno menghela kasar mendengar perdebatan diantara dua orang itu. Dokter tampan itu berulang kali melirik ke arah Metta seakan cemas. Ingin rasanya ia mendekat dan menanyakan keadaan gadis itu. Namun, Arseno tetaplah Arseno. Rasa gengsinya lebih besar dibandingkan rasa pedulinya.