Metta terlihat menarik nafas pelan. Gadis jangkung yang memakai jubah dokter itu berdiri cemas dengan kening mengkerut. Kepalanya ia tolehkan ke samping pintu ruangan dimana saudara kembar Arseno berada.
Metta berdecak lirih. Bagaimana bisa ia tidak tahu kalau Arseno punya saudara kembar selama ini. Padahal ia dan Arseno punya 'hubungan'.
Gadis itu kembali menggigit bibir dengan perasaan berkecamuk. Rasanya Arseno sama sekali belum terbuka soal seluk-beluk keluarganya. Terlalu banyak rahasia yang cowok itu sembunyikan. Terlalu banyak teka-teki yang membuat Metta selalu sadar kalau ia memang bukan 'siapa-siapanya' Arseno.
Sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Metta tersentak kaget saat seseorang sudah berdiri di hadapannya dengan menatap pintu ruangan dengan gelisah.
Metta sekilas menolehkan kepala ke belakang lalu gantian menatap gadis mungil berkerudung yang kini hendak menerobosnya.
"Ehhhhhhh! Gak boleh masuk mbak. Ini kamar VVIP, mbak gak seharusnya ada di sini," tahan Metta sembari merentangkan tangannya berusaha menghalangi gadis itu yang hendak masuk.
Sosok mungil itu menghela pelan, "saya cuma mau ketemu dokter Arseno, ada hal penting yang mau saya sampaikan." Kekeh gadis itu berusaha terlepas dari tubuh jangkung Metta yang memegangnya.
Metta mengerjap dengan alis terangkat. Siapa lagi gadis ini? Kenapa mau bertemu dengan Arseno? Apa hubungan mereka?
Metta tersentak kaget saat pintu sudah terbuka dan gadis itu lolos dari pegangannya membuat ia panik.
"Ini itu kamar VVIP mbak. Gak boleh masuk," tahannya walau gadis itu sudah berhasil lolos dan kini berdiri menghadap dua orang pemuda yang kini menatapnya dengan tatapan berbeda.
"Azura!"
Metta menegak. Menatap saudara kembar Arseno yang masih terbaring nyatanya mengenali gadis mungil itu. Arseno sendiri hanya menatap tenang kearah keduanya.
Arseno yang berdiri di samping ranjang tempat berbaringnya Alvaro mengangkat alis tinggi. Melemparkan tatapan tajam ke arah gadis berkerudung yang kini sesekali menatapnya aneh lalu kemudian menatap Alvaro lagi seakan mereka berdua adalah makhluk asing.
"Heh?! Ini gue Alvaro." Ujar pemuda yang terbaring di ranjang masih dengan perban di kepala, kaki dan juga tangannya.
"Lah beneran dua?" Gumam gadis bernama Azura itu dengan mata membulat sempurna, perlahan ia melangkah mendekat seakan kembali meyakinkan penglihatannya.
Azura mendekat kearah Arseno yang sontak mengangkat alis melihat gadis itu sudah menjulurkan tangan meraba wajah kokohnya membuat Metta yang berdiri di ambang pintu mengerjap kaget.
"Lah anjir. Napa megang megang?" Protes Alvaro merasa kesal sendiri, Azura terperangah sembari menarik kembali tangannya.
"Beneran orang astaga." Katanya dengan wajah melongo tidak percaya, "elo siapa? Terus elo siapa? Suami gue yang mana?" Katanya dengan mengerjap polos buat Metta di ambang pintu menegak kaget.
Arseno sendiri melirik Alvaro yang sudah memasang wajah kesal menatap Azura yang masih memandangi Arseno dengan lekat. Arseno mengguk paham, baru menyadari kalau gadis bernama Azura ini adalah istri sah Alvaro.
Alvaro berdehem keras buat Azura sekilas melirik kearahnya lalu gadis itu kembali menatap Arseno lekat, "masa suami sendiri gak kenal sih, yang?" Ujar pemuda itu memberenggut kesal buat Arseno di sampingnya mendelik kecil.
Azura menggelengkan kepalanya pelan.
"Jangan panggil gue sayang dulu. Gue masih bingung kenapa muka suami gue ada dua? Kenapa? Ini maksudnya apaan? Biar gue punya suami dua? Biar gue punya cadangan? Kalau satu meninggal masih ada satu, gitu?" Cerocos Azura asal membuat Alvaro sontak mengumpat samar. Arseno hanya melipat tangan di depan d**a memandangi keduanya dengan alis bertautan. Berbeda lagi dengan Metta yang masih menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Elo sekolah dua belas tahun ditambah kuliah masih aja b**o yah," cibir Alvaro kesal, "kalau dua orang yang punya wajah mirip itu berarti kembar dong, Ra. Elo jangan bikin gue malu elah," omel Alvaro masih memandangnya kesal karena tidak dikenali sang istri.
"Maksudnya?"
Alvaro mengumpat samar lagi dengan berusaha meredam emosinya. Seharusnya Alvaro tidak kaget. Azura memang otaknya seperempat dari orang normal.
"Yah maksudnya gue sama dia itu kembar. Kembar kayak elo sama Azzam," balas Alvaro berusaha tidak menggikan suara.
Azura melongo. Bibirnya terbuka kecil dengan memandang Alvaro dan Arseno gantian.
Hening.
"JADI BENERAN ELO BERDUA KEMBAR?!"
Alvaro terlonjak kaget dengan pekikan tiba-tiba sang istri membuat ia merintih kecil karena lukanya. Pemuda jangkung itu mencibir dengan melirik sang istri tajam. Arseno hanya menghela kasar tidak tahu menahu dengan drama dua orang itu. Begitupun dengan Metta.
Azura masih berdiri menjulang tinggi. Perasaan kehilangan beberapa jam yang lalu sudah tidak ia pikirkan. Hanya perasaan aneh sekaligus takjub karena seorang Alvaro benar-benar punya kembaran.
Arseno beranjak dari tempat duduknya hendak meninggalkan dua orang itu. Namun, Azura menahannya.
"Jangan pergi dulu. Jelasin dulu ke gue," katanya menahan pemuda berahang kokoh itu lagi buat Seno menurut dan duduk kembali.
Alvaro mendecih kecil saat Azura mendekat kearahnya dan menarik kursi duduk di sana.
"Kenapa kalian bisa kembar?" Ceplosnya masih saja bingung.
"Mana gue tahu. Tanya sama orang tua gue bikinnya gimana," balas Alvaro asal buat Azura menatapnya nyalang.
Arseno menghela pelan, "gue sama Alvaro dipisahin dari lama dan baru ketemunya sekarang. Kalau diceritain panjang, yah intinya kita kembar." Jelas pemuda itu lebih kalem membuat Azura mengangguk paham.
"Tunggu, tunggu, tunggu dulu. Kalau kalian kembar dan dipisahin lama," ujarnya sembari menunjuk wajah Alvaro dan Arseno tak sopan, "berarti kalian kakak adik dong ya?"
Alvaro menggigit lidahnya kasar berusaha untuk tidak mengumpat lagi. Arseno hanya tersenyum samar sedangkan Metta sudah mengulum senyum menahan tawa.
"Jangan bikin gue terjun lagi di pesawat yah, Ra?!" Celetuk Alvaro buat Azura mendecih kecil dengan mata memicing.
"Yah maklumin ajalah. Kan aku gak tahu kalau kalian kembar, makanya aku nanya biar semuanya jelas, gitu." Cicitnya kecil seperti keong yang masuk ke cangkangnya, Alvaro jadi menghela pelan sembari mencibir.
Arseno beranjak berdiri dengan tersenyum samar, "kalian ngobrol berdua aja dulu. Gue harus kembali kerja," pamitnya dengan sekilas melirik Alvaro lagi.
"Elo dokter?"
"Hm. Gue pamit yah," ujar Arseno lagi, "eh bentar." Tahan Azura lagi buat Arseno menghentikan langkahnya dan membalikan tubuhnya menghadap gadis mungil itu.
"Soal tadi gue minta maaf," ujarnya tulus buat Arseno mengangguk lemah lalu melangkah pergi membuat Metta yang sedari tadi berdiri di ambang pintu sontak mengekori.
Metta berlari kecil mengejar Arseno yang melangkah cepat di depan sana. Pemuda jangkung itu sama sekali tidak menoleh padahal ia tahu betul kalau Metta sedari tadi mengejarnya.
"Arsen!"
Arseno menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Metta seutuhnya. "Kenapa, dokter Metta?" Katanya dengan sengaja menekan kata dokter berusaha menyindir gadis itu.
Metta berdehem pelan merasa malu. Kelepasan menyapa Arseno akrab begini padahal sedang jam kerja.
"Kenapa gak cerita kalau kamu punya kembaran? Kok aku baru tau?" Katanya dengan mengulum bibir berharap pemuda di depannya itu mau menjelaskan. "Gak ada yang perlu diceritakan."
"Tapi, Arseno aku ini temanmu udah lama kita udah dekat kan, kenapa soal sepenting itu pun kamu gak mau berbagi sama aku? Kenapa?"
Arseno menghela panjang, sekilas melirik jam tangannya lalu menatap Metta lagi.
"Kita cuma teman. Masalah keluarga aku itu urusanku, gak ada urusannya sama pihak luar." Balasnya dingin lalu berbalik pergi meninggalkan Metta yang membeku di tempatnya.
Metta menelan salivanya kasar. Merasa tertohok dengan ucapan pemuda jangkung di depan sana. Metta tertawa miris, merutuki dirinya sendiri dalam hati. Kenapa terlalu berharap kalau Arseno bisa terbuka padanya. Pemuda itu hanyalah cowok dingin yang tidak akan pernah menjadi hangat. Selalu menutup diri dan menjauh dari orang banyak karena pemuda itu sulit menaruh rasa percayanya terhadap orang lain.
Arseno selalu membangun tembok besar antara keduanya. Tembok yang tidak bisa Metta lewati atau rubuhkan. Tembok itu terlalu kuat sampai Arseno sendiri tidak tahu, bagaimana merobohkan tembok pembatas itu.