Pesona Dokter Arseno

1229 Words
Arseno masih berdiri dengan kening mengkerut menatap gadis berkerudung yang masih memandangnya kesal. Gadis mungil dengan mata sembab itu kembali merunduk dengan bergumam panjang lebar membuat Arseno mengedarkan pandangannya ke koridor seakan tidak peduli. Seorang suster berlari kecil ke arah keduanya dengan wajah cemas. "Dok, pasien di kamar anggrek nomor lima, kambuh. Dokter harus segera ke sana," tutur suster membuat Seno menghela pelan dengan melirik kecil gadis di depannya yang nampak tersentak kaget. "Suster jangan ikutin bohongin saya ya?! Suster tahu gak dia ini siapa?" Sentak gadis aneh itu sudah marah-marah membuat suster mendelik kecil. "Dokter Arka kemana? Bukannya tadi dia yang jaga?" Ujar Arseno sama sekali tidak menanggapi omongan perempuan asing itu. Suster malah menggelengkan kepalanya pelan dengan menatap punggung dokter Arseno yang hendak melangkah pergi. "Lo mau kemana sih? Jangan begini terus dong, gak lucu ya?!" Arseno menghela kasar sembari menolehkan kepalanya ke belakang suster yang mengernyitkan dahi melihat tingkah laku sosok berkerudung itu yang bersikukuh menahan dokter Seno. "Sus, tolong bilangin ke semua staff kalau pasien rumah sakit jiwa jangan sampai keliaran begini." Titah Arseno dengan tatapan dinginnya buat perempuan yang menebut namanya Azura tadi jadi menarik diri dengan membelalakan mata kaget. Pemuda jangkung itu melangkah pergi dengan raut masamnya sembari berdiri di depan lift. Arseno mengerjap sayu dengan merunduk pelan menatap sepasang sepatu hitamnya dengan perasaan aneh. Melihat kembarannya masih hidup dan sampai bisa bertatap muka langsung dengannya membuat Arseno dilemah. Apa harus benar-benar lega atau justru sebaliknya. Banyak yang pemuda itu pikirkan dan perhitungkan. Takut kejadian lama akan terulang lagi dan membuat keduanya terpisah lagi untuk waktu yang lama. Pintu lift terbuka membuat pemuda jangkung itu melangkah masuk dengan mengangguk samar saat beberapa orang di dalam lift tersenyum menyapa ke arahnya. Beberapa dari mereka saling menyenggol sembari memberi kode untuk melirik ciptaan tuhan yang paling indah itu. Walau Arseno punya garis wajah yang kaku dan terlihat dingin. Nyatanya pemuda yang punya lesung pipit samar itu populer di kalangan para pasien, keluarga pasien atau pun beberapa staff di sana. "Dokter Seno ya?" Arseno menolehkan kepala ke arah dua gadis yang terlihat malu-malu menyapanya dengan mencicit di samping pemuda jangkung itu. "Iya." Balasnya singkat dengan kembali menatap pintu lift yang masih tertutup. Kedua gadis yang merupakan keluarga pasien itu saling mendorong dengan mengeluarkan ponsel dari tas mereka masing-masing. Pintu lift terbuka membuat Arseno sontak melangkah keluar. Kedua gadis itu mengekori dengan berlari kecil mengejar langkah panjang Arseno yang sama sekali tidak menanggapi keberadaan keduanya. "Dokter Seno!" Arseno kembali menghentikan langkahnya dengan memutar matanya jengah. "Kenapa." Ujar Arseno dengan nada seperti tidak bertanya membuat kedua orang itu menegak kaget karena sikap dingin sang dokter tampan. "Ah.... anu dokter.... boleh minta nomor hapenya gak? Biar nanti kalau terjadi apa apa sama keluarga aku, aku bisa lang---" Omongan salah satu dari mereka terpotong saat Arseno berdecak samar dengan menatap keduanya tajam. "Kalian pikir sekarang lagi di taman bermain?" "Eh? Ah? Maksudnya dok?" "Jangan buang buang waktu saya dan tolong pergi dari sini, se ka rang!" Keduanya menegak kaget dengan tubuh membeku mendengar omongan ketus dan dingin itu. Arseno sudah melangkah pergi meninggalkan keduanya dari koridor lantai tiga. "KYAAAAAAAAAA DOKTER ARSENO KEREN BANGET YA AMPUNNNNNN!!!" "SUNTIK AKU DONG DOK, SUNTIK AKU! AKU IKHLAS?!" Arseno yang berjalan masuk ke salah satu kamar masih mendengar samar-samar pekikan dua gadis sinting itu. Pemuda tampan itu hanya mengusap wajahnya lelah sembari pasrah saja. Walau berusaha galak dan dingin, tetap saja ada yang keras kepala dan membuntutinya seperti stalker. Arseno lelah menjadi dokter tampan. ****** Alvaro meringis kecil sembari berusaha menggerakan tubuhnya yang masih ngilu. Pemuda itu menolehkan kepala ke atas nakas memandangi buah-buahan yang belum terkupas. Pemuda itu terlihat menelan salivanya. Rasanya ia ingin makan namun terlalu jauh. Tidak bisa dijangkau oleh tangannya. Mau pencet bel buat panggil suster pun di atas kepalanya. Tubuhnya belum bisa ia gerakin jadi percuma. Alvaro melemaskan bahu merasa miris begitu saja. Pemuda itu jadi teringat Azura. Azura tahu gak yah kalau dia kecelakaan? Azura tahu gak yah kalau dia masuk rumah sakit? Alvaro jadi menegak saat pintu ruangannya terbuka membuat ia menolehkan kepala kearah ambang pintu. Seorang dokter melangkah masuk dengan tersenyum samar kearahnya. Awalnya dokter itu biasa saja, namun saat perlahan mendekat jadi melebarkan mata menatap Alvaro. "Elo sakit? Kok bisa? Elo kecelakaan yah? Bukannya kemarin lo baik baik aja dan masih keluar sama Arka? Kenapa jadi begini?" Cerocos dokter perempuan itu dengan panik membuat Alvaro hanya mengerjap aneh. "Elo siapa?" Pertanyaan Alvaro itu sontak membuat dokter yang menguncir satu rambut panjangnya itu jadi menegak seakan tertohok. "Elo... gak kenal gue?" Dengan polosnya Alvaro mengangguk tanpa tahu kalau gadis itu kini merunduk dengan menggigit bibir menahan tangis. Dokter perempuan itu sekilas menghela nafas seakan menguatkan diri. Alvaro jadi harap cemas memandanginya. "Dengarin gue." Ujarnya dengan menjeda omongannya, "gue orang yang pernah nembak lo saat kita kuliah dulu. Gue orang yang lo tolak di depan orang banyak. Gue cewek yang berkali kali lo tolak, Arsen. Gue... orang yang suka sama lo." Lanjutnya lagi seakan menjelaskan kepada Alvaro siapa sebenarnya gadis ini. Alvaro mengerjap sembari mencerna omongan gadis ini. Bentar. Dia bilang Arsen? Arsen siapa? Sejak kapan Alvaro berubah nama? Apa semenjak dia tidak sadarkan diri Azura mengganti namanya? Yakali. "Elo masih belum ingat?" tuturnya hati-hati dengan wajah panik memandangi Alvaro yang hanya terdiam. Alvaro mengangguk lagi dengan polosnya. "Oh atau lo ingat ini. Gue pernah nyium lo di taman pas malam tahun baru. Dan lo cuma diam waktu itu. Elo ingat, kan?" Alvaro menganga kecil mendengar itu. Heran juga kenapa dokter ini mendadak curhat penjang lebar dengannya? Kenal saja tidak. Alvaro berdehem pelan, "maaf dokter sebelumnya," ujarnya meringis kecil, dokter perempuan itu menatapnya lekat, "saya... lapar." Lanjutnya buat dokter cantik itu sontak ternganga kecil lalu dengan cepat mengambil buah apel di atas nakas. "Elo belum makan?" "Iya. Gak dikasih makan dari kemarin." "Huh? Emang Arka gak kesini jengukin lo?" "Arka siapa dah? Dari tadi ngomongin dia mulu," kata Alvaro heran. Dokter itu terdiam dengan mengangguk paham. "Gue lupa kalau lo amnesia," katanya miris sendiri buat Alvaro mengerjap lagi. Pintu kembali terbuka membuat keduanya menoleh kearah pintu. Arseno masuk dengan santai sembari menjatuhkan pandangannya kearah gadis yang kini tengah mengupas apel dengan mata melebar menatapnya. Arseno menghela pelan sembari mendekat. "Sejak kapan dokter ngupasin apel buat pasiennya?" ujarnya seakan menyindir buat gadis itu sontak menjatuhkan buah merah itu ke lantai. "Elo... elo... kembar? Jadi? Yang tadi gue ajak ngomong itu bukan lo?" Kata gadis itu lagi dengan pekanya, buat Arseno mengangguk. Bukan gadis itu saja yang kaget tapi Alvaro juga. Sejak kapan Alvaro kembar? "Kembar? Elo sama gue?" "Hm." Balas Arseno santai buat Alvaro meloto lagi, "Huh? Sejak kapan?" Kata Alvaro lagi buat Arseno mendengus kasar. "Metta. Lo keluar dulu yah, gue mau ngomong empat mata dulu sama dia." Katanya sembari menunjuk Alvaro dengan dagunya. Gadis bernama Metta itu hanya mengangguk menurut lalu melangkah keluar. Alvaro kembali menatap Arseno dengan alis bertautan, "heh jelasin ke gue? Sejak kapan elo jadi kembaran gue?" Katanya. "Sejak lahir." "Aisssh. Bukan itu maksud gue? Yah sejak kapan? Sejak kapan gue punya kembaran? Seingat gue gak ada." "Elo sama gue pisah." "Huh? Gimana gimana gimana? Jelasin!" "Mama ngelahirin kita berdua. Antek anteknya kolega papa pisahin kita. Dan sekarang kita ketemu, the end." Jelas Arseno dengan santainya tanpa melihat wajah melongo Alvaro. "Jelasinnya yang serius dong?" Arseno menghela kasar hendak membuka mulut namun pintu kembali terbuka menampilkan Metta yang sedang berusaha menghadang seseorang yang hendak masuk. "Mbak gak boleh masuk sembarangan dong. Ini tuh kamar VVIP, mbak kalau mau ketemu dokter Arseno nanti aja." Kata dokter Metta berusaha menghadang gadis itu. Alvaro dan Arseno berusaha melongokan kepala melihat ke ambang pintu, "bentar aja dokter. Saya cuma mau minta maaf," kata sosok itu lalu menerobos pintu dengan kasarnya. Alvaro sontak melebarkan mata kaget. "Azura?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD