Arseno terlihat memeluk tangan di depan d**a sembari menatap lurus pemuda yang terbaring di ranjang dengan mata terpejam. Entah apa yang membuat pemuda sekaligus kembarannya itu punya hobi keluar masuk rumah sakit. Padahal baru beberapa hari yang lalu dia keluar dari sana.
Arseno mengkerutkan kening saat adiknya itu bergerak kecil. Beruntungnya tidak ada luka yang serius, hanya ada beberapa goresan pada kedua lengannya.
"Hobi banget kecelakaan?" Cibir Arseno sembari mendudukan diri pada kursi di samping kiri kasur.
Pemuda yang tidak lain adalah Alvaro itu mengerjap pelan sembari langsung mendudukan diri memandang Arseno di sampingnya. Pemuda ini baru saja kecelakaan karena hendak menemui sang kembaran. Tapi, malangnya ia harus berakhir terbaring lemah di bangsal untuk kesekian kalinya.
"Kok gue bisa di sini?" Tanya Alvaro dengan alis terangkat, "lo kecelakaan, gue yang bawa lo kesini." Jelas Arseno dengan helaan nafas panjang.
Alvaro mengerjap lagi dengan mata sayu memandangi ruangan berdominan putih itu, "elo gak ngabarin Azura, kan?" Tanyanya lagi membuat pemuda yang memakai jubah dokter di hadapannya itu menggeleng cepat.
Alvaro bernafas lega.
"Emang kenapa lo bisa kecelakaan sih? Motor lo sampai tergores parah gitu," tutur Arseno masih tidak habis pikir, apalagi saudara kembarnya itu hampir kehilangan nyawanya untuk kedua kalinya.
"Gue gak fokus, banyak pikiran."
Arseno mengangguk saja, "banyak pikiran tuh di rumah, jangan di jalan. Efeknya besar, bisa bahayain orang lain termasuk diri lo sendiri."
Alvaro terdiam dengan menipiskan bibir.
"Oh iya, penumpang mobil yang hampir tabrakan sama gue baik baik aja, kan?"
Arseno mengernyit dengan alis kiri terangkat, "mobil? Mobil apaan?" Tanyanya tidak mengerti buat Alvaro mendesah panjang.
"Mobil di depan gue, yang nabrak pohon besar di depan jalan? Elo gak lihat?" Arseno kembali menggeleng dengan yakin, "gue sampai disana gak ngelihat mobil, cuma ada lo sama motor lo di jalan yang lagi dikerubungi orang banyak." Jelas pemuda itu lagi, "bukannya langsung nolongin lo atau telepon ambulans, malah ngelihat sama diam aja." Cibir pemuda itu menyayangkan sikap dan perilaku orang-orang tadi yang menyaksikan kecelakaan Alvaro tanpa melakukan pertolongan pertama.
Alvaro mengulum bibir bawahnya dengan mata mengerjap. Sedangkan, Arseno malah beranjak dengan menatap Alvaro lagi.
"Elo udah boleh pulang sekarang. Motor lo masih di bengkel, mungkin nanti atau besok langsung di antar ke rumah lo."
"Hm. Thanks,"
Arseno mengernyit melihat kediaman kembarannya itu. Namun, pemuda jangkung itu memilih tidak menanggapi banyak.
"Masalah beasiswa lo, kita bahas di rumah lo aja. Kalau sekarang gue belum bisa, jadwal gue masih padat," Alvaro mengangguk paham, "ke depan aja langsung, nanti di antar sama sekertaris gue." Lanjut Arseno lagi membuat Alvaro menggelengkan kepalanya lemah.
"Enggak usah. Gue bisa pulang sendiri,"
"Hm. Oke kalau begitu,"
Alvaro kembali terdiam dengan kening yang makin mengkerut. Pemuda itu merasa perasaannya tiba-tiba tidak enak. Seperti akan ada kejadian besar nantinya. Apalagi menghilangnya mobil dan juga penumpang yang terlibat kecelekaan dengannya.
Arseno menautkan alis dengan pikiran melangnangbuana. Pemuda itu tidak tahu lagi, apa yang akan terjadi pada rumah tangga Alvaro kedepannya.
****
Gadis berambut sebahu itu terlihat mengulum bibir dengan kening mengkerut. Matanya masih menatap layar pipih di tangannya sembari mengerjap samar. Gadis itu bergerak kecil dengan menyender pada sofa di ruang tamu rumahnya.
Suara cekikikan terdengar dari jauh membuat gadis yang berprofesi sebagai dokter itu mengangkat wajah kecil. Dengan mendelik kecil ia melongos saja melihat adiknya sudah tertawa geli memandang ponselnya.
"Elo kenapa, sih dek? Kesambet? Heboh amat ketawanya," cibirnya dengan menghela panjang, Adiknya malah melongos dengan memutar matanya jengah.
Gadis yang tidak lain adalah Metta itu terlihat menggeser tubuhnya lalu mendekat pada adiknya yang hanya beda dua tahun dengannya. "Dih. Mau tahu aja," cibirnya lalu mendudukan diri pada sofa dengan bibir mengerucut. Metta beranjak berdiri membuat adiknya yang bernama Seana Areana itu mendongak dengan alis terangkat.
"Ke kamar gih, packing baju buat sebentar sore." Ujarnya lalu melangkah menuju tangga, Seana beranjak sembari mengekori, "packing buat apa? Mau kemana kita?" Metta menghela panjang dengan menolehkan kepala ke Seana yang berjalan di sampingnya. "Arsen ngajak ke vila bentar sore, kita nginap disana,"
Seana memekik kaget membuat Metta terperanjat kecil.
"Kak Arsen ngajak nginap ke Vila? Seriusan? WAAAAAHHHH dalam rangka apa nih? Gue mencium bau bau mencurigakan," ujarnya dengan mata memicing kearah sang kakak yang sudah melesat masuk ke kamar.
Seana mengekori dengan langsung merebahkan tubuh pada kasur empuk Metta. Sedangkan Metta membuka lemari dan mengambil beberapa pakaiannya dan memasukannya ke dalam koper miliknya.
"Vila keluarga iparnya Alvaro, yang kembarannya Arseno. Kita diundang kesana," jelasnya dengan tangan yang masih sibuk melipat pakaiannya, Seana di atas kasur hanya menggulingkan tubuh dengan mengembungkan pipi. "Jangan jangan kak Arsen sengaja ngajak elo, biar sekalian ngomongin soal pernikahan lo berdua kali." Tebaknya dengan mengerling tengil.
Metta berdecak lirih.
"Buruan packing dek, bisnya siap jam empatan,"
"Kesana naik bis? Berasa tour sekolah," cibirnya walau beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar meninggalkan kamar Metta.
Metta memandangi punggung sang adik yang perlahan menjauh. Gadis itu merunduk dengan menghela panjang sembari tersenyum miris.
"Nikah? Gue aja gak tahu hubungan gue sama Arsen itu apa,"