Beberapa hari yang lalu Arseno mendengar kabar kalau kedua mertua Alvaro meninggal dunia karena kecelakaan. Dan yang menjadi tersangkanya adalah Alvaro sendiri, saudara kembarnya. Yang dituduh sebagai penyebab tabrakan maut itu.
Arseno tidak paham. Kenapa harus Alvaro yang disalahkan, padahal posisinya Alvaro juga termasuk korban. Karena memang semua kejadiannya murni kecelakaan. Namun, Istri Alvaro sampai sekarang tidak menegur sapa sang suami karena masalah itu. Bahkan, wanita berkerudung itu sampai mencetuskan kata perceraian. Masih menyalahkan sang suami tanpa mau mendengarkan penjelasan Alvaro.
Arseno mengerjap samar dengan mengeraskan rahang. Sudah gatal ingin menyemprotkan omongan pedasnya pada istri Alvaro.
Arseno mengerjap samar memandangi bis besar yang akan mengantarkan mereka ke tempat penginapan. Di Vila keluarga Azzam. Pemuda berahang kokoh itu mengernyitkan dahi melihat Azura yang sudah melangkah menaiki bis setelah beradu argumen dengan Azzam karena tidak ingin pergi ke Vila bersama Alvaro. Melihat Azura duduk seorang diri, pemuda itu pun beranjak berdiri lalu berjalan ke kursi depan membuat Alvaro yang juga sudah ikut berdiri tersentak kaget
"Elo duduk sendiri," ujarnya lalu melangkah mendekat kearah Azura dan duduk disana. Alvaro menganga kecil dengan melebarkan mata. Pemuda itu hendak protes namun supir bis sudah menarik gas membuat ia mau tidak mau memilih duduk kembali pada kursi belakang seorang diri.
Azura tersentak kaget melihat Arseno mendudukan diri di sebelahnya dengan tampang tak berdosa. Pemuda itu malah seakan tidak menganggap keberadaan Azura yang duduk lebih dulu dibandingkan dirinya.
"Elo gak salah tempat duduk?" Ujar Azura akhirnya membuka suara, Arseno menoleh pelan kearahnya lalu menggeleng, "kenapa? Elo berharap Alvaro yang duduk disini?"
Azura mendelik dengan menatap Arseno tajam. Gadis berkerudung biru terang itu hanya membuang muka, menatap keluar jendela yang memperlihatkan jalanan yang basah karena hujan semalaman. "Gue turut berduka cita atas meninggalnya orang tua lo, maaf gak bisa hadir di pemakamannya."
Azura mengulum bibir dengan menggigitnya kecil. Bersusah payah ia meredam emosinya dan menarik kembali bulir hangat pada pelupuk matanya.
"Elo pasti bangga, karena kembaran lo udah bisa ngambil kebahagiaan gue. Kembaran lo udah bikin orang tua gue meninggal," ketus Azura dengan memandang Arseno tidak takut, pemuda itu hanya menatapnya datar seakan tidak melakukan sesuatu. Yang lain sudah heboh dengan aktifitas masing-masing. Ada yang sibuk berselfie lalu kemudian saling memposting di sosmed. Ada Bagas yang terlihat mengganggu Maliq, karena pemuda itu sama sekali tidak mendengarkan ceritanya. Berbeda lagi dengan yang dibelakang sudah tidur berjamaah dengan headshet pada telinga masing-masing.
Arseno menghela pelan dengan menyender pada kursinya lalu memejamkan matanya pelan.
"Gue ternyata salah nilai lo," ujar pemuda yang memakai kaos putih dengan kemeja gelapnya itu, "gue kira lo yang paling paham Alvaro. Ternyata sama sekali gak," tambahnya dengan nada datarnya, masih dengan mata terpejam. Azura tertohok mendengar itu dengan mengepal tangannya erat.
Arseno kembali membuka matanya dan menatap Azura tepat.
"Harus bangat lo jadiin Alvaro pelampiasan?"
"Maksud lo?!"
Arseno tersenyum miring dengan memeluk lengan tenang, "dengarin gue." Ujarnya lalu memiringkan kepalanya menghadap Azura seutuhnya.
"Orang tua lo meninggal karena sudah takdirnya. Kalau lo malah protes dan nyalahin Al, bukankah elo menyalahi takdir?" Azura terdiam dengan tenggorokan yang kering, "elo ngebenci suami lo sendiri karena hanya ketidaksengajaan ini. Elo gak percaya Tuhan?"
"Elo ngomong apa sih?!"
Arseno kembali menganggukan kepala dengan menyender lagi.
"Semua kejadian yang menimpa orang tua lo murni kecelakaan, Alvaro juga korban dari kecelakaan itu dan gue sendiri yang bawa dia ke rumah sakit." Azura melebarkan mata mendengar itu, "apa yang lo lihat gak selamanya benar. Seharusnya lo dengarin penjelasan suami lo dulu, jangan cuma makan mentah aja apa yang ada di depan mata lo." Tambah pemuda itu pedas lalu kembali memejamkan matanya erat.
"Cukup orang tua lo yang ninggalin lo. Jangan suami lo lagi," ujar Arseno membuat Azura kembali tertohok, gadis itu terdiam dengan mata menghangat. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk mau mendengar penjelasan Alvaro. Azura terlalu egois, dari dulu memang ia begitu. Dan ia mnyesalinya.
Tanpa kedua orang itu sadari. Jauh dibelakang sana ada dua orang yang kepanasan melihat keduanya duduk bersama dan mengobrol sepanjang perjalanan mereka.
***
Metta menghembuskan nafasnya kasar melihat dua ransel besar di hadapannya kini. Sang adik, Seana sudah menyelonong pergi tanpa membawa ransel miliknya. Gadis itu sudah pergi turun bersama yang lain saat bis sampai di tempat tujuan.
Metta mengembungkan pipinya berusaha tidak kesal sembari meraih satu ransel dan memakainya ke pundak. Metta tersentak saat sebuah tangan mengambil alih ransel di pundaknya membuat gadis itu mendongak kecil.
"Arsen?"
Pemuda itu hanya diam lalu melangkah lebih dulu, dengan ransel di pundak dan juga dalam gendongannya.
"Gue bawa yang satunya," kata Metta tidak enak namun cowok itu tidak mendengarkan malah melangkah lebih cepat meninggalkannya di belakang. Metta berdecak lirih lalu melangkah saja mengekori pemuda itu.
Semua berkumpul di depan Villa dengan ransel dan koper yang sudah berjejer di teras Villa. Azura dan Alvaro terlihat masih canggung berbicara satu sama lain membuat Arseno yang berdiri di samping keduanya melongos saja.
Arseno menoleh pelan saat seseorang menepuk bahunya, pemuda itu mengernyit melihat seorang gadis sudah tersenyum kearahnya.
"Elo pasti Arseno, ya? Kenalin, gue Yena." Ujar gadis berambut panjang lurus itu sudah menjulurkan tangan dengan bibir yang masih mengembang, Arseno mengangguk lalu meraih tangan Yena pelan lalu menariknya lagi. "Arseno." Balasnya datar.
Yena tersenyum memandangi pemuda tampan itu dengan berbinar.
"Elo bisa masak pasta, gak? gue bisa bikin saosnya. Biar nanti pas acara dinner kita berdua yang masak," ujarnya menawarkan diri membuat Arseno mengangguk saja.
Metta yang berdiri tidak jauh dari keduanya terdiam dengan menghela pelan lalu merunduk dengan bahu melemas.
"Atau gak bikin pasta garlic aja? Enak tuh, gue paling suka makan itu." Cerocos Yena tanpa henti, Arseno mengulum bibir, pemuda itu merasa seperti seseorang memperhatikannya. Pemuda itu mengangkat wajah dan tidak sengaja matanya bertubrukan dengan mata Metta yang sedari tadi melihatnya. Sontak Metta melihat kearah lain dengan salah tingkah membuat sang adik yang memperhatikannya sedari tadi melongos saja.
"Gitu aja terus kak, perhatiin dari jauh. Giliran doi di dekatin cewek lain, sedih, nangis. Ck, mental kerupuk lo, kak." Cibir Seana dengan menatap prihatin kakaknya itu lagi.
Metta menggigit bibir dengan mencibir kecil. Gadis itu terperanjat kecil melihat Arseno yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan menatapnya datar.
"Ke... napa?"
"Ikut gue,"
"Kemana?" Seana hanya menatap keduanya dengan mendelik kecil.
"Masak buat dinner."
Metta mengerjap, "tadi udah ada Yena, kan?"
Arseno berdecak kasar lalu mengangkat alis.
"Gue maunya elo, bukan orang lain. Paham?"
Metta mengerjap dengan mata melebar sedangkan Seana sudah tersedak dengan terbatuk-batu kecil. Tidak menyangka jawaban manis dan mendebarkan itu berasal dari seorang Arseno. Si cowok dingin dan kaku itu.