6. MALAM YANG TIDAK TERLUPAKAN

1252 Words
Zea ingat benar kalau dirinya malam itu langsung tertidur beberapa menit setelah Laura keluar dari kamarnya. Selang beberapa jam kemudian, ia kembali terjaga karena merasa haus. Pelan-pelan menegakkan tubuh, Zea langsung menoleh. Menyipitkan mata ke arah nakas, ia meyakini kalau saat ini baru pukul dua dini hari. Padahal, Zea merasa kalau tidurnya sudah amat lama. Tapi, ternyata setelah diperhatikan kembali, ia baru sadar kalau baru saja tidur sekitar empat jam lamanya. Entah kenapa, dirinya malam itu ingin sekali minum air dingin. Berjalan sedikit mengendap, Zea putuskan untuk pergi menuju ruang makan lalu mengambil segelas air dingin. Namun, setelah selesai dan hendak kembali ke kamar, Zea dibuat terkejut. Dirinya mendapati sosok Edgar yang tahu-tahu sudah jatuh, tersungkur di lantai. Zea berinisiatif membantu. Ia dekati, lalu tolong Edgar dengan membawanya menuju kamar pria itu. Tapi, kejadian tidak terduga malah terjadi. Saat hendak pergi, Edgar malah menarik pergelangan tangan Zea. Menahan Zea agar tidak beranjak ke mana-mana. "T-tuan Edgar? Anda butuh sesuatu?" Edgar tidak menjawab, pria itu tanpa terduga malah menarik Zea hingga perempuan itu terjatuh tepat di atas tubuhnya. Bahkan, saat hendak beranjak, Edgar malah mendekap erat lalu mengunci tubuh Zea hingga tidak bisa pergi ke mana-mana. "Tuan, apa yang ingin Anda lakukan?" Suara Zea terdengar panik. Tentu saja ia takut sesuatu yang tidak diinginkan bakal terjadi. "Apa kau tidak ingin bercinta denganku?" "Bercinta?" Kedua manik mata Zea menbola. Ia 100% yakin bahwa Edgar mabuk berat atau masih dalam pengaruh alkohol. Kalau tidak, mana mungkin pria yang Zea akui sangat ketus dan dingin sejak pertama kali bertemu tersebut bisa bertindak aneh seperti ini. "T-tuan... jangan bercanda. Saya yakin Anda sedang mabuk berat." Kekehan malah terdengar mengalun dari bibir Edgar saat Zea menegur. Bukannya dilepas, dalam sekali gerakan, pria itu merubah posisi tubuh Zea berpindah ke bawah tubuhnya. "Tuan!" Zea memekik terkejut. Mana menduga atas apa yang Edgar lakukan padanya. Bahkan, di atas tubuh Zea, dengan santai pria itu melepas dasi yang tadi membelit lehernya. Ia tarik kedua tangan Zea ke atas, lalu diikatnya dengan sengaja dasi tersebut ke kedua tangan Zea agar tidak bisa bergerak. "Tuan, tolong lepaskan. Anda tidak boleh---" Kalimat Zea terdengar menggantung. Belum lagi selesai diucapkan, Edgar tanpa terduga malah mendekatkan wajahnya. Mengecup bibir Zea tanpa permisi. Memagut singkat, lalu mengurainya begitu saja. "Bibirmu lembut dan manis," bisik Edgar sambil tersenyum. Dalam jarak yang amat sangat dekat dan dalam keadaan mata yang sayu, pria itu memandangi Zea yang cemas sekaligus kebingungan. "Aku tidak pernah merasakan bibir wanita semanis dan selembut ini." Lalu wajah Edgar kembali turun. Menyasar pada leher Zea yang jenjang, ia endus berulang kali lalu kecup basah di sana. "Demi Tuhan, apa yang sedang Anda lakukan?" Zea berusaha untuk menjauh dan memberontak. Tapi, karena kalah besar, usahanya tidak sedikit pun membuahkan hasil. Yang ada, Edgar malah menertawakannya. Kemudian Egdar lepas kemeja sekaligus kaos tipis yang tadi membalut tubuhnya. Ia lempar ke sembarang tempat. Menyisakan dirinya yang dalam keadaan bertelanjang dadaa. "Ku mohon sadar lah, Tuan. Anda tidak boleh bertindak jauh." "Sstss..." terdengar Edgar mendesis. Setengah memejam, ia taruh telunjuknya tepat di atas bibir Zea. "Ya Tuhan. Kenapa kau cerewet sekali? Apa kau tidak bisa diam dan nikmati saja apa yang aku lakukan kepadamu? Aku yakin kau pasti akan merasakan kesenangan setelah ini." "Saya bukan Nyonya Jane. Anda salah orang. Saya yakin sekali kalau---" "Terserah mau kau Jane atau siapa pun itu." "Tapi, Tuan Edgar." Edgar tidak perduli. Ia bungkam segala ocehan yang mungkin akan Zea lontarkan ke dalam satu pagutan yang tampak menuntut. Tidak sedikit pun memberi celah pada wanita di depannya untuk sekedar menolak. Sambil terus mencium, Edgar bawa tangannya yang bebas untuk bergerak dengan lincah. Tanpa sungkan menggerayangi tiap jengkal tubuh Zea. Menikmati, merasakan bagaimana halus lembut kulit wanita itu. Menyelinap masuk ke dalam piyama tidur milik Zea. Mengusap lembut di sana. Lalu berhenti beberapa saat sebelum akhirnya meremas tepat di salah satu titik sensitif milik Zea. Zea langsung bereaksi. Setiap dirinya berusaha untuk berontak, di saat itu juga Edgar langsung membawa tangannya, sengaja menyentuh dan mengusap bagian tubuh Zea lainnya. Ciuman yang tadinya penuh penuntutan, kini pelan-pelan berubah lemah lembut dan tampak berperasaan. Gelenyar aneh yang sedari tadi timbul benar-benar membuat Zea hampir gila. Demi Tuhan, Zea tidak ingin sesuatu di luar batasan sampai terjadi. Tapi, tubuhnya nyata berkhianat. Ada rasa tidak biasa yang membuatnya hilang akal. Lebih sialnya lagi, Zea makin lama malah terbuai dan menikmati segala sentuhan yang Edgar beri. Entah sadar atau tidak, Zea diam saja saat Edgar melepas habis piyama tidur yang melekat pada tubuhnya. Bahkan, saat pria itu memasuki dirinya, Zea hanya pasrah menikmati sensasi memabukkan yang ia rasakan. Tanpa sadar kalau setelah ini masalah besar akan mengancam hidupnya. *** Zea terbangun dengan perasaan nyeri di sekujur tubuhnya. Membuka mata perlahan, ia dapati Edgar yang masih tertidur pulas sembari memeluk erat tubuhnya. Mendongak, Zea pandangi sejenak wajah tampan Edgar. Setelahnya, ia memejam sesaat. Merutuk dirinya sendiri atas hal gila yang semalam dirinya lewati bersama pria asing di sebelahnya. "Kau benar-benar cari mati, Zea!" Zea bergumam dalam hati. Ingin menyesal, tapi ia tidak memungkiri kalau turut menikmati hal gila yang sudah dirinya lakukan bersama Edgar. Sungguh, Zea ingat benar segala bentuk rasa atas sentuhan serta cumbuann yang Edgar beri untuknya. Begitu memabukkan dan Zea yakini tidak akan pernah ia lupakan. "Bisa-bisanya kau tidur dengan suami dari perempuan yang mengeluarkan uang banyak untuk membayarmu, Zea!" Mengabaikan segala rasa yang masih terekam jelas dalam benaknya, pelan-pelan Zea berusaha untuk keluar dari dekapan Edgar. Untungnya semalam setelah bercinta, ia sempat memakaikan kembali celana sekaligus kaos tipis yang melekat pada tubuh Edgar. Meyakini kalau Edgar masih tertidur pulas, pelan-pelan Zea melangkah untuk segera keluar dari kamar pria itu. Sambil melangkah menuju kamarnya, ia berdoa dalam hati agar Edgar lupa atas apa yang terjadi pada mereka berdua semalam. "Tuan Edgar pasti lupa," kata Zea menghibur dirinya sendiri. "Aku yakin pria itu pasti lupa apa yang sudah terjadi semalam. Dia mabuk berat. Ya, dia mabuk dan tidak akan mengingat apa pun yang sudah terjadi." "Nona Zea." Padahal, Zea sudah hampir masuk ke kamarnya. Baru hendak menarik tuas pintu, tiba-tiba terdengar suara Laura menegur, memanggil namanya. "I-iya," sahut Zea agak gugup. "Anda dari mana?" "A-aku?" Laura mengangguk. Ia melempar tatapan menyelidik. "Iya. Anda dari mana? Tadi saya sempat mengetuk kamar Anda berkali-kali tapi tidak ada jawaban." Zea kebingungan. Mana mungkin dirinya memberi tahu kalau baru saja keluar dari kamar Edgar dan bahkan semalam tidur bersama pria itu. "Ah, aku baru saja kembali dari balkon yang ada di sana," ungkap Zea sambil menunjuk bagian kiri rumah yang tak jauh dari kamar Edgar. "Aku pergi melihat-lihat sekaligus menghirup udara segar." Laura kembali mengangguk. "Kalau begitu, bersiap lah ke ruang makan. Sudah saatnya Anda sarapan." Zea kemudian buru-buru masuk kamar. Membersihkan diri, lalu segera pergi menuju ruang makan. Sementara Edgar di kamarnya baru saja terbangun. Dengan kepala yang masih terasa amat berat, ia pelan-pelan membuka mata. Menatap sekeliling sembari mengumpulkan seluruh kesadaran, mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya, lalu tak lama memutuskan untuk segera membersihkan diri. Tiga puluh menit berselang, dengan berpenampilan rapi, bersiap untuk berangkat kerja, Edgar melangkah menuju lantai satu rumahnya. Memasuki ruang makan, dirinya mendapati Zea yang tengah menikmati sarapan seorang diri. Sadar akan kedatangan Edgar, Zea langsung menghentikan suapannya. Menyudahi kegiatan makannya, perempuan itu bermaksud untuk buru-buru pergi. Persis seperti orang yang menghindar dan takut untuk berpapasan. "Mau ke mana?" Edgar langsung menegur. Menghentikan langkah Zea yang kentara jelas ingin segera beranjak dari ruang makan. Apakah Edgar memanggil karena ingin membahas kejadian yang sudah terjadi di antara mereka semalam? Atau ada pembahasan lain yang ingin pria itu dibicarakan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD