5. APA KAU TIDAK INGIN BERCINTA DENGANKU?

1532 Words
Di ruang makan, Laura terlihat menunggui Zea yang tengah menikmati makan malam. Dengan sabar, perempuan itu melayani dan memastikan semua kebutuhan Zea terpenuhi tanpa kurang satu pun. "Setelah ini, Anda harus makan puding buah, Nona. Setelahnya minum vitamin dan juga obat, kemudian bersiap-siap untuk istirahat." Zea mengangguk. Mau membantah, dirinya juga tidak bisa. Padahal, seumur hidup Zea tidak suka apa pun itu yang namanya puding. Tapi, setelah tinggal di rumah Jane, ia harus menuruti perintah dengan belajar untuk mencoba camilan sehat tersebut. "Apa Tuan Edgar belum makan malam? Aku tidak melihatnya dari tadi?" Zea bertanya karena penasaran. Biasanya, saat hendak makan malam, ia selalu berpapasan dengan pria itu. Tapi, malam ini Zea tidak melihat sama sekali keberadaannya. "Sepertinya Tuan Edgar sedang lembur. Mungkin beliau makan malam di luar juga." Zea mengangguk. Lagi pula, ia juga tidak berhak mengurusi kegiatan pria itu. Selesai menghabiskan puding yang Laura beri, Zea gegas menuju kamar untuk beristirahat. "Ini vitamin dan obat Anda, Nona." Laura kemudian menyodorkan segelas air putih berikut beberapa butir vitamin dan obat yang harus Zea konsumsi. Menunggu, memastikan sungguh-sungguh bahwa Zea mengonsumsi semuanya tanpa kurang satu pun. "Akhirnya, satu obat habis juga aku minum." Laura tersenyum melihat ekspresi yang Zea tunjukkan. Raut wajahnya persis seperti orang yang lega bercampur senang seolah baru saja menyelesaikan satu misi. "Anda tampak senang sekali." Zea ikut tersenyum seraya mengangguk. "Ya, obat-obat yang ku minum beberapa waktu belakangan ini membuatku merasa tidak nyaman. Jauh berbeda dari sebelumnya." Laura mengerjap. Ia sedikit terkesiap mendengar pengakuan Zea. "Maaf kalau saya lancang. Memangnya ada obat yang membuat Anda tidak nyaman?" Zea kembali mengangguk. Jujur saja, meminum berbagai macam obat serta vitamin dalam jumlah banyak membuatnya sedikit tersiksa. Tapi, Zea bisa apa? Ini sudah keharusan yang tidak bisa ia tolak. "Ada, Laura. Obat penyubur kandungan, yang bentuknya paling besar. Obat tersebut selalu membuatku tidak nyaman." Laura kerutkan keningnya mendengar apa yang Zea tuturkan. Ditanggapinya pernyataan ini dengan serius. Terlebih, ia bertanggung jawab penuh atas apa pun yang terjadi pada Zea. Itu sebabnya, Laura harus memastikan bahwa majikannya dalam keadaan baik-baik saja. "Tidak nyaman bagaimana? Apakah ada bagian tubuh Anda yang merasa sakit?" "Bukan sakit," sanggah Zea, kemudian memberi tahu. "Hanya saja, setiap selesai minum obat tersebut, aku merasakan kedua payudaraku terasa kencang. Aku tidak nyaman akan hal ini." "Mungkin ini efek samping dari obat tersebut, Nona." Zea mengangguk setuju. Ia juga berpikir seperti itu. Karena gejala ini ia rasakan berulang kali ditiap dirinya selesai mengonsumsi. "Ya, aku juga sependapat denganmu." "Kalau begitu, kita lihat besok. Apabila setelah tidak lagi mengonsumsi obat tersebut Anda masih merasa tidak nyaman, katakan saja kepadaku. Nanti, aku akan sampaikan kepada Tuan Edgar untuk membawamu memeriksakan diri ke dokter." Zea mengangguk. Kemudian Laura membantunya untuk segera berbaring. Bahkan, sebelum tidur, asistennya itu bantu untuk memijat kedua kakinya. "Kau tidak perlu memijatku seperti ini, Laura." Walau ini bagian dari tugas. Pun, Laura mendapatkan gaji atas apa yang ia kerjakan, tetap saja Zea merasa tidak enak atas pelayanan Laura yang begitu totalitas. Apalagi umur asistennya tersebut jauh lebih tua darinya. "Tidak perlu sungkan, Nona. Harusnya, Anda nikmati saja semua pelayanan serta fasilitas terbaik yang Tuan dan Nyonya Cullen berikan kepada Anda." Zea tersenyum getir. Entah sebenarnya ia harus bersyukur atau malu atas pencapaian yang ia rasakan saat ini. "Aku yakin, kau pasti berpikir bahwa aku adalah wanita yang gila uang. Mau saja menyewakan rahimnya kepada orang kaya demi mendapat uang banyak." Laura tertawa kecil. Selesai memijat, ia bantu menarik selimut agar menutupi seluruh tubuh Zea. "Anda berlebihan. Saya tidak pernah berpikiran seperti itu. Lagi pula, saya yakin kalau Anda pasti punya alasan tersendiri melakukan semua ini. Dan yang terpenting, saya tidak sedikit pun berhak menghakimi keputusan Anda." "Terima kasih atas pengertianmu, Laura." Laura mengangguk kemudian bangkit. Bantu meredupkan lampu, ia bersiap untuk keluar kamar. "Selamat malam, Nona Zea. Selamat beristirahat." *** "Tuan, sekarang sudah jam delapan malam. Apa Anda tidak berniat untuk segera pulang?" Axel Morgan yang merupakan asisten sekaligus orang kepercayaan Edgar tampak menegur. Sedari pagi, bahkan sejak bosnya itu sampai di gedung Nebula Enterprise, ia dapati Edgar tampak tidak konsen seolah tengah banyak pikiran. Padahal, Axel tahu bahwa pekerjaan kantor tidak begitu padat serta tidak sedang dikejar deadline beberapa hari belakangan ini. Lantas, apa yang tengah menganggu pikirkan bosnya itu? "Biar aku saja yang lanjutkan pekerjaannya. Anda bisa pulang sekarang." Edgar hela napasnya pelan. Menutup laptopnya, ia pun mengangguk setuju. "Tolong selesaikan laporan Axon secepatnya. Begitu release, jangan lupa kirim salinannya segera ke emailku." Edgar memutuskan untuk segera meninggalkan ruangan. Sebelum benar-benar pergi, ia terlihat mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang terlebih dahulu. Bukannya pulang, Edgar malah arahkan mobil yang ia kendarai untuk singgah ke Balcony yang merupakan bar terkenal di pusat kota London. "Tumben sekali mengajakku bertemu mendadak seperti ini." Baru sampai dan memasuki Bar, Edgar sudah disambut oleh Samuel. Memang pria itu yang tadi ia telpon dan ajak untuk bertemu. "Aku butuh teman minum malam ini." Samuel tertawa. "Kenapa tidak ajak yang lainnya saja?" "Siapa maksudmu?" tanya Edgar menyelidik. "Shawn dan Matthew sedang tidak berada di London. Kakakmu Raphael saat ini pasti sedang sibuk berpacaran dengan Elea. Kaivan? Aku bisa gila kalau mengajaknya minum. Yang ada, kami berdua tidak akan pulang." Kali ini Samuel terbahak mendengar penuturan Edgar yang terkesan putus asa. "Tapi, aku dokter. Mana bisa terlalu banyak minum." "Justru karena hal itu aku memilihmu. Paling tidak, kalau aku mabuk berat, kau bisa mengantarkanku pulang dengan selamat." "Dasar sial!" umpat Samuel lalu disambut tawa oleh Edgar. "Sebenarnya, ada masalah apa kau mengajak minum bukan di hari libur seperti biasanya?" Edgar tersenyum. Ia sandarkan bahunya pada kursi agar bisa lebih rileks. "Entah lah, Sam. Aku juga bingung sebenarnya apa yang sedang ku pikirkan saat ini." "Ku tebak, kau pasti kepikiran soal proses bayi tabung yang kemarin sempat gagal, bukan? Sudah ku katakan, kau tidak perlu khawatir. Aku yakin Zea pasti bisa mengandung anak kalian. Rahimnya sangat bagus dan tidak sedikit pun bermasalah." Edgar malah tertawa. Padahal, Samuel tidak sedang melucu atau mengungkapkan kalimat bernada candaan. "Asal kau tahu, dari awal aku ingin Jane yang mengandung anak kami. Bukan malah pinjam rahim perempuan lain." Samuel tersenyum. Ia tanggapi ucapan Edgar dengan santai. "Semua pasangan normal maunya juga begitu. Aku bahkan sempat bertanya-tanya atas keputusan yang kalian berdua ambil. Padahal, kalau Jane mempermasalahkan bentuk tubuhnya yang akan berubah, zaman sekarang teknologi kedokteran sudah sangat maju. Dua minggu pasca melahirkan, tubuh Jane bisa saja kembali normal. Kalau mau, ia bahkan bisa kembali perawan. Apa yang tidak bisa di zaman sekarang ini? Semua bisa dilakukan asal kau punya uang yang banyak." Kali ini Edgar tersenyum getir. Ia sendiri pusing dengan keputusan yang sudah Jane ambil. Edgar awalnya juga tidak serta merta setuju. Tapi, karena lelah bertengkar dengan permasalahan yang selalu sama, mau tidak mau dirinya mengalah. "Terkadang, aku berpikir terlalu bodoh dan naif karena mau saja menuruti semua permintaan Jane." Samuel tertawa. Ia akui sahabatnya itu memang bodoh kalau berhadapan dengan wanita. "Kalau saja kau bercerita dan berkeluh kesah dengan Kaivan, aku berani jamin ia pasti akan mati-matian mengolokmu. Dari awal, Kaivan yang paling tidak setuju kau menikahi Jane." Edgar mengangguk. Ia tidak mengelak akan hal ini. Teringat dulu bagaimana Kaivan susah payah membujuknya agar tidak menikahi Jane dengan berbagai macam alasaan. Tapi, ia abaikan begitu saja peringatan yang sahabatnya tunjukkan. "Kaivan merasa kalau Jane tidak tulus kepadaku. Tapi, karena terlalu cinta, aku bersikeras untuk tetap menikahinya. Dan sekarang, aku merasa kalau ucapan Kaivan ada benarnya." "Kalau begitu, kau nikmati saja keputusanmu. Untuk apa susah payah mengeluh?" Edgar berdecak. Ia tinju lengan Samuel lalu kembali mengajak pria itu untuk minum. Entah berapa gelas alkohol ia habiskan malam itu. Yang pasti karena kesadarannya sedikit berkurang, Samuel yang pada akhirnya kerepotan dan mau tidak mau mengantar Edgar pulang. Sampai di kediamannya, dengan berjalan sedikit sempoyongan, Edgar memasuki rumah. Sialnya ketika sudah berada di lantai dua dan sedikit lagi sampai kamar, Edgar nalah hilang keseimbangan. Tubuhnya ambruk dan ia pun jatuh tersungkur di lantai. Di saat yang sama, Zea yang baru saja mengambil minum di ruang makan, melihat sosok Edgar yang sudah jatuh dilantai. Buru-buru mendekat, ia pun memberanikan diri untuk membantu. "Tuan Edgar!" Zea bersusah payah untuk membantu. Mengerahkan seluruh tenaganya, ia berusaha membopong Edgar yang setengah sadar agar segera berdiri. Agak susah awalnya, karena tubuh Edgar memang jauh lebih besar darinya. Karena usaha yang gigih, Zea berhasil membuat Edgar bangkit. Pelan-pelan ia bopong pria itu untuk segera masuk kamar lalu dirinya arahkan menuju tempat tidur. "Astaga, pasti pria ini mabuk berat." Aroma alkohol yang menguar tajam membuat Zea langsung menarik kesimpulan. Setelah bantu membaringkan Edgar di atas tempat tidur, ia juga berbaik hati bantu membukakan sepatu pria itu. Meyakini tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan, Zea bermaksud untuk pergi. Namun, ketika hendak berbalik badan, Edgar malah menarik pergelangan tangan Zea. Menoleh, Zea buru-buru bertanya. Takutnya saja Edgar butuh sesuatu. "T-tuan Edgar... maaf saya lancang memasuki kamar Anda. Apa Anda butuh sesuatu?" Edgar tidak menyahut. Alih-alih menjawab, pria itu malah menarik Zea hingga terjatuh tepat di atas tubuhnya. "T-tuan." Zea memekik terkejut. Terlebih saat Edgar dengan serta merta mendekap lalu mengunci tubuhnya. "Tuan Edgar, apa yang ingin Anda lakukan?" Edgar tidak sedikit pun mengendurkan dekapannya. Dengan mata setengah memejam, ia berbisik tepat di telinga Zea. "Apa kau tidak berminat untuk bercinta denganku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD