Tegang bersama Agra

1480 Words
“Udah saya duga, sejak kamu pukul saya pake koper, kamu pasti sejenis perempuan bar bar.” Inara menelan salivanya kasar, menunduk saat mobil membawanya pergi. “Otak kamu juga gak terlalu pinter ‘kan?” “Hanya membutuhkan waktu lebih lama.” “Bohong banget. Coba kamu cek dokumen ini dan tarik kesimpulannya apa.” Agra meraih berkas dari dashboard mobil. Dengan takut-takut, Inara berusaha memfungsikan otaknya. “Total tagihan kartu kredit 380 juta untuk bulan ini.” Lohh. “Gede banget, Pak?” Agra merebutnya. “Shiit!” Aben salah memberikan dokumen. “Kita ke kampus dulu.” “Nanti ada orang disana, Pak.” “Gak akan ada yang kenalin kamu dengan tampilan gini. Paling juga dikira wanita bayaran,” Ucapnya dengan enteng beserta wajah datar. “Saya capek, Pak. Mata kuliah disini ternyata beda, lebih sulit. Ditambah keadaan Yayasan gini, gimana saya gak tertekan?” “Alkohol bikin kamu makin tolol.” Agra memarkirkan mobil depan Gedung Rektorat. “Tunggu disini sambil pikirin jawabannya.” “Ih Pak saya mau ikut,” Gumamnya dengan suara kecil. Inara melihat sekeliling, terasa menakutkan disini. Agra tidak menjawab apapun, Inara mengikuti dari belakang dengan perlahan. Kakinya yang keseleo masih terasa sakit hingga Inara jatuh lagi dan terkena lumpur bekas hujan. “Aduhh…,” cicitnya. “Astaga, Inara…” Pria itu mengulurkan tangan yang diterima oleh Inara, dibantu menuju kran untuk membersihkannya dulu. Agra berjongkok dan menggosok kaki Inara supaya cepat selesai, tidak tahu saja perempuan itu merasa malu sekarang. Inara mungkin akan baper kalau tidak tahu Agra ini gay. Porsi tubuh yang sangat ideal, ditambah wajah yang tampan. Agra ini matang, bukan sekedar wajah yang dijual. Tapi sudah memiliki vibes sugar daddy juga. kresek! Inara menoleh. “Paaa… bapak…” “Belum beres, kaki kamu masih kotor.” “Ada ODGJ,” Bisiknya menahan napas. Agra menoleh ke dekat tempat ibadah, sepertinya naik lewat jalan samping. “Udah diem aja.” “Gimana kalau dia kesini?” “Jangan sampai mata kamu bertatapan sama dia, Inara.” Agra mengatakan itu bersamaan dengan Inara yang bertatapan. “Keburu tatapan! Bapak dia jalan kesini!” ODGJ itu mulai berjalan cepat, tatapannya fokus pada Inara. “Udah jangan diliatin. Ayok pergi.” “Kaki saya sakit. Aaaa! bapak dia mulai deket.” Inara refleks naik ke tubuh Agra layaknya koala. “Bapakkkk!” Agra pun berlari merasakan pria gila itu mengejar mereka. Membuat Inara terguncang. Dirinya yang sebentar lagi haid merasakan sakit saat daadanya bergesekan sambil naik turun seirama dengan larinya Agra. “Ahhhh! Ahhh! Ahhh!” Menyebabkan nya bersuara seperti itu. “Inara jangan mendesah di telinga saya.” “Ma-af ahh! Ahh! Daadah sayahhh! Ahhh! Ahhh! Sakhitt!” Ada yang lebih sakit, milik Agra yang kini mengeras. *** “Bapak?” Panggilnya ketika Agra tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Inara sudah 30 menit berada di ruangan Rektor. Kakinya masih sakit, tubuhnya masih kotor. Inara ingin segera pulang. “Bapak, gak pingsan kan?” “Enggak, Inara. Diem.” Inara bosan juga lama-lama, dia melihat ada toples permen di atas meja. Kakinya melangkah mendekat hendak mengambil satu, tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Sebuah berkas tentang dirinya. Apa selama ini Agra mencari tahu tentangnya? Inara menelan salivanya kasar, ini nilai-nilai aslinya ketika para staff sekretariat di Amerika belum mendapatkan sogokan. “Udah ketemu?” “Maksud bapak apa ini? Bapak nyari tahu tentang saya?” “Jelas, saya harus tau siapa yang akan saya bimbing nantinya.” Agra melipat tangan di daada berhadapan dengan Inara yang berdiri dengan satu kaki terangkat. Tampilannya yang seperti itu membuat Agra segera berpaling. “Dan ternyata… yang harus saya bimbing ini adalah type perempuan yang suka kelayapan. Diam-diam menghanyutkan. Sampai bayar staff yang masukin nilai biar bagus.” “Saya akan mulai belajar, Pak. Saya bakalan tunjukin kalau saya bisa.” “Denger, Inara, gimana kamu bisa mendisiplinkan para dosen dan staff yang nerima sogokan kalau kamu familiar sama hal itu?” “Saya akan berubah, Pak. Saya janji akan belajar dan nurut apa kata bapak. Tapi tolong jangan kasih tau ini ke orangtua saya ya atau….” “Atau apa?” “Atau saya bisa kasih tau orang lain kalau bapak gay terus abis main di klab.” inara ingin mengatakan itu, tapi menunduk lagi takut Agra malah kabur dan tidak membantu papanya lagi. “Atau… saya hilang arah nantinya. Tolong, Pak. Saya akan sungguh-sungguh. Saya minta maaf juga udah gebuk muka bapak, ngaduin bapak, remes muka bapak.” Inara merendahkan dirinya, bersimpuh di hadapan Agra meskipun kakinya sakit. “Ahh… shhhh… ngahhh…” “Ngapain kamu?” “Mau berlutut. Ahhhh… shhhhh.” “Berdiri! Berdiri!” Saat Inara merendahkan tubuhnya, Agra bisa melihat belahan daada yang begitu mungil. “Maaf ya, Pak.” “Mulai besok, kamu harus belajar di apartemen setiap pulang kuliah.” “Iya, Pak.” “Ayok pulang.” “Baik. Shhh… ahhh… ngahhh…” Agra menoleh dengan tatapan tajamnya. “Maaf, kaki saya sakit. Boleh bapak gendong saya lagi? Ummm… di punggung?” “Yaudah cepet.” Agra pikir dirinya akan aman kalau menggendong Inara di belakang. Ternyata perempuan itu memeluknya erat hingga daada kenyalnya menempel di punggung Agra. *** Untung saja perkuliahan hari ini siang hari. Pagi tadi Inara bisa tidur nyenyak. Sedikit semangat saat pacarnya mengirim pesan, Keenan: Sayang, maaf. Aku baru pulang dari sss buat penelitian. Akhirnya aku bisa lulus lebih cepet(❁´◡`❁) Setelahnya Inara membalas panjang kali lebar kali tinggi dengan segala pujian pada kekasihnya yang hampir menamatkan S2. Ujung-ujungnya tidak dibalas lagi. “Ra, masih mikirin pacar lu?” Tanya Neysa. “Makan kek, lu dari tadi diem aja.” Inara dan teman-teman kelasnya tengah berkumpul di cafe yang sama setelah jam pulang kuliah. “Dahlah tuh minum dulu, gausah galau.” Neysa memerintah, dari tadi sahabatnya ini diam terus. Inara menghela napas dalam sampai salah ambil minuman “Puwahhhh! Panassss!” “Duhh lu mah tololll! Ini kopi mendidih punya gue. Makannya kalau makan liat-liat.” Neysa marah-marah. Tidak dapat menahan perih di mulut, Inara pergi ke kamar mandi untuk membasuh bibir. Disisi lain Neysa segera ke lantai bawah meminta es batu pada pelayan. “Ney, lipgloss lu jatuh tadi nih,” ucap Karin; teman sekelasnya juga. “Lipgloss? Oh yang ini, udah mau gue buang.” “Kenapa?” “Pahit, padahal belum kadaluarsa.” Temannya yang lain mencoba. “Iya pahit! Buang aja” “Loh kenapa dibuang?” Tanya Inara yang sudah Kembali, dia mengambilnya dari tangan Neysa. “Ini bagus loh.” “Gak… pahit?” Tanya Neysa saat Inara mengaplikasikannya pada bibir. “Enggak tuh.” Sampai mencoba menjilatnya. “Buat gue aja, jangan dibuang. Sayang merk bagus loh.” *** ME: saya mau mandi dulu, abis itu baru ke bapak. Agra mengerutkan keningnya, kenapa juga memberitahunya. “No, shitt!” Umpat nya ketika mengingat tubuh Inara yang mungil tapi berisi seperti semalam. “Bukan, bukan karena dia. Karena mabok.” Mengingat saat Inara meminta dipijat kakinya dan mengeluarkan suara Anghhhh ahhhh ahhhhh sakittt, Pak… . Membuat Agra menegang dan harus menuntaskan di kamar mandi lagi. Ting tong. Begitu pintu terbuka, Inara langsung dihadapkan dengan wajah menakutkan Agra. “Hari ini saya dapat laporan dari wali dosen kamu, katanya kamu gak bisa ngejar. Tugas telat, ditanya gak bisa. Mau gimana jadi pemimpin kalau jadi mahasiswa aja gak bener.” “Ya maaf. Kan sekarang mau mulai lagi dari awal, Pak.” “Bikinin saya makan malam dulu.” “Tuh bapak mah anggap saya babu, bukan anak didik.” Sedetik kemudian Agra menoleh dengan tatapan datarnya. “Iya, Pak, iya…” Agra benar-benar dosen menyebalkan, kesan HOT yang dikatan semua orang itu lenyap. Apalagi Inara tau sebuah fakta. Namun nyatanya, fakta itu membuat Inara sedikit percaya diri. Agra tidak akan berani menyentuhnya, hehe. “Kan saya harus punya tenaga buat ngajar kamu secara private.” “Hmmm… kurang asin sih?” Inara menambahkan lagi garam sampai lima sendok, tetap hambar sampai Inara menuangkan semuanya. “Garam gak beryodium kah?” “Udah beres belum?” “Bentar, ada tissue lagi gak?” “Nah dimeja.” Menunjuknya dengan tatapan sebelum fokus lagi pada ipad yang dipegangnya. Inara menghela napasnya dalam dan melangkah menuju ruang keluarga. Terlalu fokus pada Agra yang serius sampai karpet bulu menjerat kakinya. “Aaaaaa!” Bruk! Jatuh ke pelukan Agra. Inara menarik leher pria itu hingga Agra menunduk dan CUP. Bibir mereka bersentuhan. Lipgloss di bibir Inara terasa ke bibir Agra. Tidak ada yang bergerak selama lima detik pertama, sampai Agra merasakan cairan pahit menjalar ke mulutnya. “Minggir!” Mendorong Inara BRUK! dan berlari ke kamar mandi. “HOEKKK!” Inara yang terjatuh diantara sofa dan meja itu sampai terdiam, mengabaikan kedua kakinya yang menyangkut. Lebih fokus pada Agra yang muntah-muntah. “Aman deh gue disini juga. Pak Agra beneran gak doyan cewek.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD