Sisi Gelap

1115 Words
“Inara? Lu okay ‘kan?” Neysa menyenggol bahu sahabatnya. “Lu kenapa, setan?” Kenyataan bahwa Agra pecinta lelaki membuat Inara sedikit tenang kalau berdekatan dengan pria itu. Hanya saja, masalah lain timbul Inara tidak sepintar itu hingga otaknya sulit menyerap. “Pak, saya izin ke kamar mandi dulu,” ujar Inara meminta izin. Saking buru-burunya, Inara tidak sengaja menabrak dosen yang berakhir dirinya diminta membawakan buku. Di ruangan dosen, Inara banyak mendengar hal yang tidak pantas. “Keluarga Bramawijaya bakalan lengser dari Yayasan, tinggal nama aja yang tersisa.” “Keturunannya gak ada lagi ya? Cuma Pak Alvano yang sekarang bertarung sama Dewan Pengawas.” “Mau gimana lagi. Investor sama pemerintah gak ngasih dana ke Universitas gara-gara korupsi gede banget, tenaga pengajar juga kurang.” Mata Inara panas, buru-buru pergi ke kamar mandi kosong belakang pascasarjana untuk berteriak, “Anjing setan bangsattt!” “Udah gue duga lu cuma setan berkedok Princess.” “Neysa!? Lu ngapain disini?” Perempuan itu keluar dari bilik paling ujung. Ini kamar mandi tidak terpakai, Neysa biasa merokok disini. Menggoda Inara dengan meniupkan asap rokok ke wajahnya. “Setan! Asapnya kena gue!” “Hahahaha! Mau rokok?” Inara menggeleng. “Gue nakal, gak sejauh ngerokok juga.” “Kalau ngklab? Mau?” Neysa memperlihatkan layar ponsel nya. Sebuah pesta topeng di klab ternama malam ini. “Gue tamu VIP. Mau join?” “Teman-teman yang lain juga ada?” “Sebagian. Tenang aja, gue bakalan jaga rahasia lu sebagai Princess imut. Mereka juga bisa keep silent.” Oke, inilah aslinya Inara. Anak manja yang hanya terlihat baik didepan kedua orang tuanya. Di Amerika, dia sering bersenang-senang dengan adiknya keluar masuk klab malam bersama. Inara sudah berkomitmen akan membentuk karakter yang baru setelah menginjak Indonesia. Sayangnya tidak semudah itu, pelajaran kuliah tidak kunjung masuk ke otaknya. Inara harus bertanya dulu pada Agra apakah ada yang bisa harus dia lakukan nanti malam, sebab Inara ingin ke klab bersama Neysa. Seperti biasa chatnya tidak dibalas, jadi Inara ke rektorat setelah selesai kuliah. “Pak Agra ada, Pak?” bertanya pada Agil; sang sekretaris. “Ada di dalam lagi sama, Pak Aben. Kamu gak dipanggil tuh.” “Mau ngobrol penting.” “Masuk aja, saya buru-buru mau ke depan.” Agil bergegas pergi. Jadinya Inara melangkah sendiri ke pintu yang sedikit terbuka hingga dia bisa mendengarkan percakapan Aben dan Agra didalam sana. “Jangan lupa burungnya nanti malam ya,” ucap Agra. Inara menutup mulutnya seketika. Semakin jelas kalau Agra ini…. pecinta pria. “Saya mau burung yang hitam, besar dan gemuk, Aben.” “Baik, Pak.” *** “Setelah beberapa hari jadi anak kalem, sekarang keluar aslinya lu, Kak?” “Pengalihan aja bentar, keadaan di Yayasan genting banget. Lagian nyatanya gue gak bisa bantu banyak,” ucap Inara membalas pertanyaan adik kembarnya; Aksara yang sekarang masih di Amerika. “Gue turun dulu ya, temen udah nunggu.” Untung saja Agra bilang malam ini ada perlu, jadi Inara bebas keluar. “Anjiiirrr, lu gak bilang tinggal di apartemen keren ini. Boleh masuk gak?” “Nanti ajalah, ayok sekarang kesana.” Inara memakai gaun merah tanpa lengan, topeng eye mask terpasang di wajahnya. Pikiran Inara sekarang terfokus pada lautan manusia. Neysa sebagai tamu VIP bahkan kenal dengan sang DJ. Menghabiskan dulu energy di lantai dansa sebelum naik ke ruangan VIP lantai dua. “Wow, lu udah langganan?” tanya Inara. “Klab ini punya Tante gue…. lu belum pernah kesini?” “Gak pernah ke klab di Indonesia, soalnya diawasin sama orangtua. Kalau pas di Amerika, itu pas nakal-nakalnya.” Neysa mengangguk paham. “Punya pacar lu?” “Punya, Cuma udah 1 bulan gak ada komunikasi.” “Kok bisa?” Inara menatap ponselnya. “Orangnya sibuk, tapi dia selalu nyalahin gue. kan lu orang strich parents, gak boleh pacaran, gitu bilangnya.” “Lahhh asuuu, tinggalin aja. Kan banyak yang suka juga sama lu, Ra.” “Gak dulu deh, dia cinta pertama gue.” Neysa datang dengan gelas alkohol ditangannya. “Nih, kita lupain segala beban buat malem ini.” *** “Aben kamu gila ya ngajak saya ke tempat beginian?” tanya Agra kesal. “Kata Bapak mau lihat burungnya dulu sebelum diambil. Ini bagus loh, Ibu Sundari pasti suka. Bapak gak bakalan disuruh nikah lagi.” Aben menjelaskan sampai dia tiba-tiba berhenti di depan pintu. “Hehehe, saya mau langsung pulang, Pak. Pacar saya kena tipes. Boleh?” “Yaudah sana.” Agra masuk ke diantarkan pelayan menuju ruangan VIP. Disaat yang bersamaan, Inara ditinggalkan sendirian di ruangan karena Neysa mendadak dipanggil pulang oleh Papanya. Inara juga hendak pulang, tapi matanya menangkap Agra yang memasuki salah satu ruangan. Di dalam ruangan yang dimasuki Agra sudah ada pria yang menunggu kedatangannya. “Maaf, Pak. Saya harus kerja di klab, jadi bisa bertemunya disini.” “Gak papa, mana burung yang kamu bilang?” “Ini, burung beo warna hitam.” Membuka penutup sangkar. “Bagaimana, Pak? Jadi dibeli dalam nominal 17 juta?” “Ini gak segede yang kamu bilang.” “Aslinya ini berat, Pak. Biar saya perlihatkan.” Sangkarnya dibuka, tapi siapa sangka burung itu langsung menyerang Agra hingga pria itu terkapar. “Argghhh!” Burung beo mengikuti, “Ahhhh! Ahhh!” teriaknya menyebabkan salah paham pada Inara yang berdiri diluar pintu. Perempuan itu buru-buru pergi dari sana, meninggalkan Agra yang sepertinya sedang bersenang-senang. Inara sampai keluar lewat jalan belakang takut ada Aben. Dia memesan taksi sambil terus berjalan. Efek mabuk sedikit membuatnya pening hingga kakinya terkilir dan jatuh. “Ahhh, astaga!” “Ya ampun, cantik gak papa?” tanya seorang pria diujung jalan. Mereka bergerombol datang menuju Inara. Peringatan bahaya Inara langsung hidup, dia harus pergi. Tapi kakinya sakit saat diajak berlari. Dia Kembali menuju klab mencari keramaian. “Hei, sayang. mau kemana? Abang anterin yuk.” “Gak usah!” teriak Inara berlari pincang. “Ayok dianterin. Hei!” mereka tertawa bersama. “Mau lari kemana, Cantik? Mending ikut Abang aja yuk.” “Gak mau!” teriak Inara semakin panik apalagi parkiran belakang begitu kosong. Tidak ada siapapun, suara music terdengar sampai keluar. Inara tahu dirinya tidak akan selamat ketika tangannya berhasil dicekal salah satu pria jahat itu. “Lepasinnnn!” “Mabok nih cewek. Ajak mau kuy, kit- Agghhh!” tiba-tiba saja sebuah tangan mencekal pergelangan si pria hingga melepaskan Inara. “Arrghhh lepasinnnn!” “Dia punya saya,” ucap Agra berusaha meremukan pergelangan tangan itu. Dibelakangnya ada security yang menyusul hingga segerombolan pria itu mulai berlarian. Inara menyembunyikan tubuhnya dipunggung Agra, melihat mereka semua mulai berlarian termasuk pria yang tadi menangkapnya. “Bapak…,” panggil Inara. “Apa, Bocah nakal?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD