Bab 7

2842 Words
HAPPY READING *** Medina melangkah mendekati mobil hitam milik Dewa. Menatap Dewa di depan kemudi setir dengan mobil yang sudah menyala. Lihatlah betapa tampannya pria itu di sana. Medina membuka hendel pintu dan lalu masuk. Ia mendaratkan p****t di kursi lalu memasang sabuk pengaman. Beberapa detik kemudian mobil meninggalkan area rumah. Mobil Dewa membelah jalan, ia menatap langit yang mulai jingga. Kedatangan senja menenggelamkan matahari mengajarkan ia tentang segala sesuatu tidak ada yang abadi. Medina melirik Dewa, pria itu sedang menyetir mobil. Ia akui, bahwa ia suka melihat Dewa ketika berkonsentrasi untuk memanuver mobil. Walaupun tidak macet namun mobil-mobil banyak sekali berlalu lalang di hadapan mereka. Ia melihat Dewa selalu siaga dengan jarak mobil dan motor di depanya. Pria itu sangat seksi ketika tubuh bidang menyandar santai di kursi, tungkai kaki menginjak kaki-kaki rem dan koplingn, sementara kanannya aktif menyetir dan tangan kirinya pada persneling mobil. Dewa mengulurkan tangan ia menghidupkan radio, agar suasana mobil tidak terlalu sepi. “Halo sobat kaula muda. Balik lagi di Boy William and Gina In The Afternoon With Kenny di Prambors Radio. Lo telat ya gin 13 menit. Gue tuh tadi udah datang tapi kesiangan, terus karna kesiangan gue naik mrt dulu jalan-jalan, ke monas ya? abis itu gue kesini lagi, oh lo yang bakar-bakar itu ya? bakar-bakar sate." "Hey akhirnya kita siaran live dari studio nih kaula muda, dengan kebiasaan kita semprot-semprot, ngelap-ngelap udah berisik-berisik. Eh ada ga satu tempat yang lo kangenin banget waktu-waktu jaman dulu. Kita bernostalgia sejenak ketika masa-masa udah kita lewat, coba deh kaula muda kita pengen denger salah satu tempat yang lo kangenin sama pasangan lo, di mana kah bioskop kah, kampus kah? atau sekolah, atau rumah mantan?  yahh uwww 08130002344 eh udah bisa telfon. Don't go anywhere. Keep staytune." Jingle Jason Derulo – Lifestyle (feat. Adam Levine) Dewa mencuri pandangan ke arah Medina, wanita itu hanya diam sambil bersandar di sisi kursi. Siaran radio sore ini seakan tahu suasana hati yang ia alami saat ini. “Kamu bawa apa?” Tanya Dewa, ia tadi melihat Medina membawa paperback. “Owh itu, tadi mama kamu bungkusin makanan gitu, di suruh bawa pulang,” ucap Medina menjelaskan. “Tadi Bimo cerita kalau aku itu temen kamu SMA, jadi mama kamu baru tahu. Mama kamu ternyata baik banget ya.” “Iya,” Dewa mengangguk, sebenarnya ada sedikit bahagia ketika ibunya membawakan Medina bekal makanan. Berarti ada sedikit kata peduli dan ingin mengenal lebih dekat kepada Medina. “Tadi di ruang keluarga ada siapa?” Tanya Dewa penasaran. “Ada orang tua Anya, orang tua kamu, Anya dan Bimo. Di ruang utama ada crew aku dan asistenya Bimo. itu aja sih.” “Ada nanyain aku nggak?” Medina menyungging senyum, “Enggak ada.” Dewa melirik Medina, wanita itu memiliki senyum yang menawan. Ia kembali fokus dengan kemudi setir menuju ke mall Senayan City. “Nanti kamu mau beli apa untuk baby Liam?” Tanya Dewa. “Anaknya cewek atau cowok?” “Enggak tau, aku WA Liam aja ya.” “Yaudah boleh, biar pilih giftnya enak.” Dewa membuka ponsel ketika lampu merah menyala, ia mengirim pesan singkat untuk Liam. Menanyakan jenis kelamin anaknya. Balasanpun diterima, Liam menjawab, “Baby girl.” “Baby girl.” “Apa kita beliin baby stoller aja ya,” ucap Dewa lagi. “Jangan itu, pasti mereka udah punya. Kamu tau lah Liam gimana, temennya banyak, orang-orang hebat semua, apalagi ini anak pertama. Persiapan mereka menyambut buah hati pasti lengkap banget. Aku pengalaman banget sama mas Tibra dan mba Arum. Barang-barang kayak gitu sampe nggak kepakek loh.” “Iya sih, bener banget. Anya dan Bimo juga bahkan sudah menyiapkan kamar untuk anak mereka. Padahal anaknya belum lahir, barang-barang baby udah lengkap. Jadi kasih gift apa?” “Necklace or bracelet,” ucap Medina. “Gold?” “Yes of course, for baby. Dari pada kita membeli stroller, paket perawatan baby, atau pakaian bayi. Lebih baik perhiasan saja, karena menurut aku perlengkapan bayi seperti pakaiannya hanya dipakai beberapa bulan saja. Tumbuh kembang bayi sangat cepat. Emas itu benda berharga, jadi sewaktu-waktu anak sudah besar bisa dijual oleh orang tuanya.” Dewa melirik Medina, ia setuju dengan pendapat wanita itu, bahkan sepanjang jalan tadi ia hanya memikirkan untuk membeli stroller. Ternyata ekspeasinya salah. “Aku setuju kita membeli perhiasan, kesannya juga mewah.” *** Dewa menarik nafas, ia lalu melajukan mobil menuju mall. Mendengar kata perhiasaan ia ingin sekali membelikan Medina cincin, kalaung atau gelang, sebagai bentuk kenang-kenangan darinya. Ia melirik Medina, wanita itu kembali diam menekuri ponsel. Tidak butuh waktu lama mereka tiba di mall Senayan City. Ia masuk ke outlet Florist Medina, di sana ada beberapa pengunjung. Karyawan Medina menyambutnya dengan ramah. Jujur sebenarnya ia suka ke outlet ini, karena ketika masuk ke dalam merasakan ketenangan dan aroma wangi yang sangat memberi energy positif.  Dewa melihat berbagai jenis bunga dipajang di esetalase kaca, dan box-box cantik berisi bunga dengan pita bertulisan Florist Medina, ditata seindah mungkin oleh sang pemilik florist. Medina memang menyukai ke indahan dan jiwa seninya cukup tinggi. Setiap buket yang dia buat pasti memiliki arti dan makna tersendiri. “Kamu kasih bunga apa?” “Mawar putih,” ucap Medina. Medina masuk ke dalam ruangan, ia mengambil bunga di dalam lemari penyimpanan bunga. “Kenapa?” “Bunga mawar putih melambangkan cinta sejati, kemurnian dan kesucian. Sangat cocok diberikan kepada pasangan sebagai ungkapan cinta dan ketulusan.” “Tergantung sih kamu memberinya dengan siapa. Mawar putih ada makna yang berbeda.” “Apa?” “Mawar putih juga sebagai lambang perpisahan, misalnya kamu berpisah kepada orang yang kamu cintai, sahabat kamu, atau keluarga kamu.  Mawar putih ini sebagai bentuk penghormatan terakhir.” Dewa mengangguk paham, ia memperhatikan Medina. Medina membalas tatapannya. Mereka berpandangan satu sama lain sekian detik. “Kalau aku memberimu mawar putih. Kamu akan memaknainya seperti apa?” Jantung Medina seketika maraton, ia menelan ludah. Medina berusaha tenang, dan lalu tersenyum, “Mungkin sebagai lambang perpisahan,” ucap Medina pelan, lalu melanjutkan rangkaiannya. Dewa tersenyum culas, ia memperhatikan Medina, wanita itu merangkai bunga, tangannya sangat terampil ketika dia menunduk memotong tangkai, dan menutupnya dengan kapas basar. Jujur dia terlihat sangat cantik, bahkan menurutnya Medina lebih cantik dari pada bunga itu. Namun pemikiran Medina salah, ia akan memberikan mawar putih sebagai lambang cinta sejati. “Kayaknya aku mau kasih Glass Dome Flower juga,” ucap Medina kepada Sita, tangannya masih aktif mencampur mawar itu dengan breath flower. Medina memandang karyawannya, wanita yang mengenakan jas hitam itu, “Sita, Glass dome flower aku mau itu ya,” ucap Medina menunjuk salah satu bunga kering yang berada di dalam kaca. Dewa melihat karyawan memasukan bunga itu ke dalam paperbag bertulisan Florist Medina. Jujur ia menyukai wanita yang memiliki kecintaan dengan bunga seperti Medina. Wanita yang memiliki bakat merangkai terlihat sangat istimewa menurutnya. Karena tidak semua wanita mampu melakukannya. Ini lah yang setiap hari Medina lakukan,  berkutat dengan bunga-bunga. Wanita itu tahu betul mana bunga impor dan local. Ia melihat price list di dinding, berbagai macam paket bunga yang ditawarkan. Harga-harga bunga itu dibandrol dengan harga yang lumyan pricy menurutnya, bahkan harganya bisa mencapai puluhan juta. Padahal itu hanya sekedar bunga. Dewa memandang bunga yang sudah menjadi buket, rangkaian yang dibuat oleh Medina sangat indah. Medina tersenyum melihat hasil rancangannya. “Oke udah selesai,” ucap Medina, ia mengeluarkan dompet lalu menggesek p********n dari buket bunga yang telah ia ambil. “Bayar?” Tanya Dewa. “Iya lah, harus bayar. Walau aku ownernya, aku harus tetap membayarnya,” Medina lalu tertawa. “Iya sih,” Dewa juga ikut tertawa. Dewa mengambil alih paperbag berisi glass dome flower, sementara Medina membawa buket hasil buatannya. Mereka melangkah menuju ke outlet Jawellery, Dewa membelikan kalung dan gelang. Setelah itu mereka menuju parkiran mobil. Beberapa menit kemudian mobil meninggalkan area mall. Kini mereka menuju Pondok Indah dalam keadaan langit hampir gelap. Sepanjang perjalanan mereka mendengarkan lagu di radio. Dewa sesekali melirik Medina yang hanya diam. “Boleh aku tanya sesuatu kepada kamu?” Tanya Dewa, karena di dalam pikirannya bertanya-tanya. “Iya,” Medina menoleh menatap Dewa yang masih fokus dengan kemudi setirnya. “Apa kamu sedang dekat dengan seorang pria?” Tanya Dewa penasaran. Medina kembali berpikir, jujur ia tidak memiliki kedekatan apapun dengan seorang pria untuk saat ini. Namun ia teringat  Armand, dengan pria itu juga tidak memiliki chemistry yang kuat. Pria itu kemarin sempat mengajaknya ke Brussel, namun ia menolak karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dengan beralasan banyak kerjaan. Padahal hatinya dipenuhi dnegan Dewa, hingga ia sulit tidur. Medina menarik nafas, tersenyum menatap Dewa, “Nggak ada, masih pengen sendiri aja” ucap Medina. “Kenapa?” Tanya Medina kepada Dewa. “Enggak apa-apa, aku hanya ingin tahu.” Ada perasaan lega ketika Medina mengatakan bahwa wanita itu masih ingin sendiri. Sebenarnya ia ingin bernostalgia mengendarai motor melawan kecepatan angin. Mengingat masa-masa muda dulu, makan di tepi jalan, sambil tertawa, atau paling nggak ke SMA. Dewa menggeram dalam hati, bibirnya seketika kelu ingin mengutarakan niatnya untuk mengajak Medina mengendarai motor. Dewa tidak bertanya lagi ia melajukan mobilnya menuju rumah orang tua Liam. ***   Mobil Dewa berhenti di salah satu rumah berpagar tinggi, karena maps menunjukan bahwa inilah tempat tinggal Liam. Dewa dan Medina menatap rumah itu. Karena ini merupakan pertama kalinya mereka ke rumah orang tua Liam yang baru. Dewa lalu menghubungi Liam dan mengatakan mereka sudah berada di depan rumahnya. Tidak butuh waktu lama, Dewa dan Medina menatap seorang pria bertubuh tinggi besar membuka pagar. Pria itu mengenakan kaos berwarna hitam dan celana jins. Rambut panjangnya diikat kebelakang. Walau berambut gondrong, tidak mengurangi ketampanan Liam. Dialah pria yang banyak digandrungi banyak wanita-wanita diluar sana. “Itu Liam,” Dewa menyungging senyum. “Iya, kayaknya dia nggak berubah,” Medina lalu tertawa. “Masih kayak dulu, asyik, selalu to the point, dan masih gila,” ucap Dewa. Dewa memasukan mobil di halaman rumah itu. Dewa menatap halaman yang luas. Di sana terdapat rumput dan tumbuhan yang terawat dengan baik. Lampu-lampu taman sudah menyala. Ia melirik Medina melepas sabuk pengaman, mengambil paperbag berisi dome glass flower dan tidak lupa ia membawa buket bunga mawar hasil rancangannya. Dewa dan Medina lalu keluar dari mobil, mereka akan bernostalgia jaman-jaman SMA dulu. Medina menatap Liam tidak jauh darinya. Pria itu sangat gagah, otot-otot tubuhnya terlihat dan dia sekarang memiliki tato diseluruh tangannya. Liam memandang Dewa, dia lalu memeluk tubuh sahabatnya itu. Jujur ia tidak menyangka mereka dipertemukan lagi. Ia akui bahwa kini Dewa sudah menjelma menjadi pengusaha sukses, memiliki kantor di gedung pencakar langit. Dia benar-benar berubah menjadi tuan pencakar langit. Bahkan tidak bisa dihitung lagi seberapa banyak nominal uang di ATM nya “Apa kabar men?” Ucap Liam, ia melepaskan pelukannya. “Baik, makin keren aja lo,” Dewa meninju bahu Liam. Liam tertawa, “Lo yang makin sukses, udah jadi tuan pencakar langit.” Dewa tertawa, “Berlebihan lo.” Liam mengalihkan pandangnya ke arah wanita yang mengenakan dress berwarna biru muda, rambut panjang wanita itu tergulung hingga atas, sehingga menampkan leher jenjangnya. Dia adalah Medina adik kelasnya dulu. Wanita yang ditaksir oleh Dewa bertahun-tahun lamanya. Namun ia tidak menyangka bahwa Dewa bertunangan dengan seorang wanita, wanita itu bukan Medina. Ia pikir Dewa akan memperjuangkan cintanya. Ia kembali memperhatikan Dewa, pria itu menatap Medina cukup lama dan memandangnya seperti ia menatap Dian. Ia yakin sahabatnya itu masih menaruh hati kepada Medina. Medina tersenyum kepada Liam, ia menyerahkan buket bunga dan paperbag kepada Liam. “Apa kabar Med-med cantik,” ucap Liam ia memeluk tubuh ramping Medina. Wanita itu masih sama, tubuhnya ramping dan mungil. Medina melepaskan pelukan Liam, “Baik dong,” Liam tersenyum ketika Medina memberinya buket bunga mawar dan paperbag berisi bunga dome glass berisi mawar putih yang indah. “Jual kembang sekarang?” “Iya.” “Sukses dong.” Medina lalu tertawa, “Biasa aja, cukup lah untuk jajan.” “Jajan mobil nya Dewa, pasti.” Dewa  seketika tertawa, “Bisa aja lo.” Dewa dan Medina mengikuti langkah Liam masuk ke dalam pintu utama. Medina mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan, di d******i warna putih. Rumah ini sangat luas dan bergaya eropa. Ia melihat ruang tengah terdapat lampu Kristal yang mewah. Dan sofa malas yang menghadap langsung ke TV flat, menyatu kedinding. Rumah terlihat sepi dan lengang. “Nyokap lo mana?” tanya Dewa. “Barusan keluar tadi sama Jo” Dewa terkekeh. “Lo kok nggak ikut juga?” tanya Dewa. “Males, ke rumah mertuanya Jo, ada acara gitu,” ucap Liam. “Owh, pantesan.” “Anak gue ada di dalam, masuk aja.” Dewa dan Medina lalu masuk ke dalam  kamar, mereka memandang seorang wanita mengenakan dress berwarna kuning lengan bagian leher berbentuk V dan memiliki kancing. Rambut panjang diikat kebelakang. Walau selesai melahirkan wanita itu terlihat cantik. Aroma cologne baby tercium disegala penjuru ruangan. Medina melihat bayi tertidur di tempat tidur. Dian tersenyum atas kehadiran teman-teman Dewa. “Temenya Liam SMA ya.” “Iya,” ucap Medina. Dian menatap wanita cantik mengenakan dress biru muda. Dian mengulurkan tangan kepada wanita itu, “Dian.” “Medina.” Dian memandang pria tampan di hadapannya, dia adalah sahabat Liam sejak SMA, “Dewa kan ?” ucap Dian, karena  ia masih ingat pria itu datang ke acara pernikahan ia dan Liam. “Iya.” Liam menyerahkan buket bunga kepada istrinya, “Dari Medina, dan ini juga dari Medina.” Liam meletakan dome glass florist di nakas. Bunga di dalam kaca itu sangat cantik, “Medina ini yang punya florist sayang?” “Pantesan, cantiknya kebangetan,” ucap Dian. “Kalau nggak salah ini ada lampunya ya?” tanya Liam kepada Medina. “Iya ada, tombolnya ada di samping.” “Hebat loh kamu bisnis florist di Jakarta. Toko offlinenya di mana?” tanya Liam penasaran, mereka kini duduk di sofa kamar. “Di Senayan City di samping outlet Dior,” sahut Dewa, ia melirik Medina yang tersenyum dengan tenang. “Woww, keren banget, salut banget.” “Kerennya lagi Medina, ambil MBA di Standford.” “Serius?” “Iya, lulus tahun kemarin.” “I see.” Medina hanya tertawa, ia memandang Dewa, yang selalu membanggakannya. “Anak lo namanya siapa?” Tanya Dewa kepada Liam, ia menyerahkan paperbag bertulisan Jewellary kepada Liam. “Eloise Gabriella, panggilannya Riri.” “Apa lagi nih men.” “Untuk baby Riri, dari aku sama Medina.” Dewa duduk di samping Medina, ia merasakan aroma parfume mawar putih dari tubuh Medina. Ia teringat jelas bagaimana ia mencium Medina di mobil dengan paksa rasanya sangat manis. Ia mencoba berpikir jernih, di saat seperti ini ia malah memikirkan tentang ciuman. Oh Jesus, yang benar saja di saat seperti ini ia memikirkan ciuman mereka. “Kalian repot-repot banget.” Dewa melirik Medina yang tersenyum, “Untuk keponakan.” “Thank ya men dan Med-med,” ucap Liam, ia menyerahkan itu kepada Dian. “Dewa,” ucap Dian, menatap pria itu. “Besok rencananya kita mau ke Puncak. Kamu mau ikut nggak?” Tanya Dian. “Puncak?” Tanya Dewa. “Iya, mau ketempat wisata yang deket-deket gitu. kalau Riri ada apa-apa kita bisa pulang cepet. Medina ikut aja, temenin kita. Me time. Nggak lama kok palingan tiga hari.” “Riri ikut?” “Enggak, titip sama mama. Mama sama papa nyuruh kita liburan beberapa hari gitu.” “Terus.” “Ya buat adek lagi lah untuk Riri,” ucap Liam santai. Dewa lalu tertawa begitu juga dengan Medina, “Dasar ya,” ucap Dewa. “Come on, Puncak deket kok.” Dewa melirik Medina, “Mau nggak?” Medina kembali berpikir, ia memandang iris mata Dewa, Medina menarik nafas, “Boleh aja sih, aku nggak terlalu sibuk kalau weekday. Soalnya kalau event-event penting itu weekend.” “Kamu nya yang sering sibuk? Meeting?” Ucap Medina kepada Dewa. Dewa membalas pandangan Medina. Ia tidak tahu pasti, kapan lagi ia bisa bersama Medina, menikmati waktu berdua, sebagai kenang-kenangan indahnya. Ia merasa bahwa do’a-do’a nya kini sudah dikabulkan oleh Tuhan. Hari ini mereka bertemu tanpa sengaja lalu menciptakan kenangan berdua. Rindu dan Medina itu seperti angin. Tak bisa dilihat, tapi dirasakan kehangatan dan kegelisahan. Ia hanya ingin menenangkan kegelisahan yang tercipta sepanjang hari. Ia bukan bermaksud untuk berpaling, namun ada hati yang belum ia selesaikan, untuk menciptakan ketenangan hati. “Jam berapa?” Tanya Dewa. “Pagi jam 07.00, udah lama juga nggak liat ijo-ijo. Maklum New York dan Jakarta sama aja. Liat-liat gedung mulu.” “Oke,” ucap Dewa tersenyum. Liam tersenyum penuh arti, ia menatap Medina dan Dewa, “Kalian berdua kenapa nggak nikah aja sih” “Oh Jesus,” ucap Dewa lalu tertawa. “Gue tau lo men, lo nggak usah boong,” timpal Liam. “Astaga, dasar lo ya,” Dewa hanya tertawa, ia melihat Medina hanya diam. Mereka melihat Dian menyuguhi teh hangat dan kue pai. “Nanti makan malam sama-sama ya”. “Repot-repot banget.” “Ah nggak apa-apa, jarang-jarang loh ketemu kayak gini. Udah lama banget kan nggak ketemu.” “Iya, lama banget.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD