Bab 8

2195 Words
HAPPY READING ***   “Lo buka showroom di Semarang?” Tanya Liam, ia memasukan makanan ke dalam mulut sambil menatap Dewa. “Iya, Minggu kemarin,” Dewa dengan tenang meneguk air mineral. “Udah berapa cabang sih showroom lo?” Liam semakin penasaran, ia melirik Medina yang makan dalam diam sambil mendengarkan pembicaraanya. “Udah 20 sih, rencananya next month buka di Makassar dan Lampung. Tapi aku ada outlet khusus jual beli mobil scond dan bangkel mobil.” Dian dan Medina nyaris ternganga mendengar Dewa akan membuka cabang baru di Makassar dan Lampung. Mereka mulai menghitung dalam hati, ditambah dengan bisnis bengkel dan jual beli  mobil second. ia tahu betul  bisnis dunia otomotif harus memiliki modal yang sangat besar. Bisnis yang digeluti oleh Dewa bukanlah bisnis kendaraan bermotor roda dua, tapi melainkan roda empat. Di mana harga satuannya saja paling murah ratusan juta rupiah. Bisnis yang dijalani Dewa merupakan bisnis yang sangat menjanjikan dan memiliki keuntungan besar. Medina tidak bisa membayangkan berapa uang yang dihasilkan oleh Dewa setiap bulannya. Liam mengusap wajahnya dengan tangan, menatap sahabatnya “Oh Jesus, lo bener-bener keren ya sekarang,” Liam berdecak kagum kepada Dewa. “Gimana sih awalnya bisnis mobil? Gue juga suka otomotif, kalau suruh jualan ya masih belum bisa lah.” Liam terkekeh. “Lo mah udah keren kali, kerja diperusahaan ternama, pekerja professional,  bangun gedung-gedung pencakar langit diberbagai belahan dunia.” Liam lalu tertawa, “Hebat lo lah, sehebat apapun kerjaan gue, gue tetep karyawan.” Dewa menyungging senyum, “Ya yang pertama yang lo lakuin itu, harus punya modal sih, niat dan fokus.” “Gue sebenerny belajar dari Bimo, abang gue. Intinya gue modal nekat, pilih lokasi strategis, cari relasi, dan masuk ke circle yang emang semuanya pengusaha, biar semangat. Jadi deh jualan, itu juga modal minjem dari Bimo,” Dewa tertawa. “Ya nggak instan sih, ada beberapa kali ditipu, uang dibawa kabur. Tapi gue nggak nyerah, nyoba lagi sampe sekarang dan ternyata bisa. Soalnya papa gue pernah bilang, kalau lo mau jualan, jualan yang lo suka dan kuasai. Lo kan tau, gua suka otomotif.” “Head officenya di mana?” Tanya Liam penasaran. “Gama Tower, lantai 60.” “Really?” “Yes.” “Itu salah satu gedung tertinggi di Jakarta kan?” “Iya.” “Gila ya, emang bener-bener tuan Pencakar Langit.” Dewa tertawa, “Ya kebetulan aja, dapetnya di sana officenya.” “Lo buka showroom udah berapa tahun sih?” Tanya Liam penasaran. “Lulus dari Stanford, sekitar tujuh tahunan lah kalau dihitung sampe sekarang.” “Pacaran?” “Enggak.” Dewa lalu tertawa. “Asem, lo  tuh setia banget ya !” Liam terkekeh melirik Medina yang tersenyum kepadanya. “Emang lo buaya !” Dewa tertawa. Liam tertawa ngakak, “Itu dulu men, gue sekarang udah nikah. Dan ini istri gue, dan gue udah punya anak. Bahagia gue sekarang. Iya kan sayang,” Liam memandang istrinya yang hanya tertawa. “Ketemu Medina kapan?” Dewa menarik nafas, memandang Medina sekilas, “Waktu ketemu Medina di Senayan City, nggak sengaja ,itu juga ada gethring showroom mobil gue. Bayangin aja, sekian lama nggak ketemu, akhirnya dipertemukan dengan yang nggak disangka-sangka.” “Perasaan lo gimana?” “Amazing, enggak bisa diungkapin kata-kata,” Dewa lalu tertawa, ia melirik Medina yang hanya diam dan lalu tersenyum. “Cantikan Medina dulu atau sekarang?” “Cantikan sekarang lah, gila kalau dia nggak cantik,” Dewa terkekeh ia menatap Medina. Medina yang sekarang menjelma menjadi wanita dewasa yang cantik dan menawan. Rambutnya lurus, bibirnya tipis, alis terukir sempurna, kulitnya putih dan hidungnya mancung. Liam menatap Medina yang hanya diam, ia kembali berpikir. Ia hanya ingin melihat Dewa menemukan cinta sejatinya, “Med …” ucap Liam. “Iya,” Medina memasukan makanan ke dalam mulut. “Lo kangen  nggak sama Dewa naik motor?” Alis Dewa meninggi ketika Liam itu, Liam benar-benar mengatakan kangen naik motor. Ia hampir gila, kembali menatap Liam tersenyum penuh arti. Naik motor bersama Medina adalah keinginannya sejak dulu. Bahkan ia tidak tahu cara mengungkapkannya, dan sekarang Liam mewakili isi hatinya. Liam memang benar-benar sahabat sejatinya. Medina melirik  Dewa, dan lalu terkekeh. Ia menyelipkan rambutnya kebelakang, “Motor vespa Dewa aja udah nggak ada lagi? Udah jadi rongsokan, gimana kita mau pergi kan” Medina tertawa. Karena sejujurnya ia merasa tidak enak jika mengatakan tidak. “Pakek harley gua,” Liam dengan tenang menjawab, ia memandang Dewa yang tersenyum penuh arti. Dewa tersenyum, melihat Liam, ia tau niat sahabatnya itu, “Ada nggak?” Tanya Dewa. “Ada lah, pakek aja. Dulu jaman gue pacaran sama Dian ke mana-mana pakek motor. Males banget pakek mobil, macet,” Liam tertawa. “Kalau lo mau, pakek aja. Udah lama nggak di pakek, motor itu, tunggu gue balik ke Jakarta baru gua pakek,” Liam terkekeh. Dewa memandang Medina cukup serius, Medina menatapnya balik, “Mau nggak pakek motor?” Medina tertawa, “Jangan aneh-aneh deh. Mau ke mana?” “Ke mana aja,” gumam Dewa. “Come on, kapan lagi kan kalian nostalgia, jajan cilok, jajan telur gulung, pulang sekolah makan bakwan Malang. Seru-seruan, inget-inget jaman dulu,” sahut Liam. “Bila perlu lo samperin tuh sekolah SMA 70, siapa tau pamitan sama guru-guru di sana. Bilang murid ibu yang bandel dulu udah jadi sukses.” Dewa seketika tertawa, “Lo itu yang harusnya sungkeman sama guru-guru di sana, lo kan paling nakal.” Liam seketika tertawa, begitu juga dengan Dewa. Masa-masa SMA ada banyak sekali  tentang keseruan dan keceriaan. Saat-saat itu akan menjadi kenangan manis. Kegiatan upacara Senin pagi yang dirindukan, dengan mendengar pidato yang membosankan karena gerah kepanasan. Siswi satu persatu berjatuhan karena pingsan. Ia ingat betul bagaimana ia harus menyelesaikan PR dipagi hari nyalin dari buku teman. Kegiatan ini memacu adrenalin sebelum guru datang meminta tugasnya dikumpulkan. Apalagi saat itu siswa dan siswi doyan ijin ke toilet, selain kebelet alasan lainnya yaitu bosan dan mampir ke kantin. Apalagi reputasi Liam dengan segudang percintaanya. Benar kata orang bahwa cinta pertama  dimulai ketika masa putih abu-abu. Namun Liam memulainya dari yang pertama hingga kedua puluh. Saat itu Liam sangat rajin berangkat ke sekolah bersama pacaranya, pulangnya dianterin, lalu besoknya dijemput lagi begitu setiap hari, silih berganti dengan wanita-wanita cantik di sekolah. Liam yang ia pikirkan sata ini lebih mirip supir pribadi dari pada kekasihh. Ia juga merindukan pelajaran olahraga, bermain basket, bermain voli. Ngelirik cewek-cewek yang ditaksirnya sejak lama yaitu Medina.   “Lo inget nggak kita pernah nggak pakek dasi ke sekolah? Kita dijemur di bawah tiang bendera sambil hormat, dari awal upacara sampe selesai. Selesai upacara malah disuruh pungut sampah lagi” ucap Liam mulai menceritakan. Dewa lalu tertawa ngakak, begitu juga dengan Liam. “Lo inget nggak, rambut gue sempet gondrong. Ada razia rambut, rambut gue dipotong sama guru BP. Potongan rambut gue nggak jelas, compang camping, diketawain satu sekolah”  timpal Liam lagi. “Kita pernah bolos rame-rame. Inget nggak lo?” Dewa tertawa. “Lo pernah bolos kan sama Medina, ke rumah gue.” Dewa dan Medina lalu tertawa, “Inget lah, itu gue paksa-paksa Medina buat ikut gue.” “Kangen sama kebut-kebutan sama satpam sekolah. Turun dari mobil papa, lari sekenceng-kencengnya, berasa atlet lari gua. Baru aja telat semenit dikunciin.” Dewa dan Liam kembali tertawa, “Kangen nyontek pas ulangan gue,” ucap  Liam lalu tertawa begitu juga Dewa. “Sama, gue juga.” Liam mengambil gelas lalu ia meneguk air mineralnya. Ia memandang Dewa, “Kalau lo mau pakek motor gue, nanti gue suruh tukang kebun antar ke apartemen lo.” “Siap.” “Besok jadi kan ke Puncak?” Tanya Dian, ia menyudahi makanannya. Dewa menatap Medina, Medina memandangnya balik. “Jadi,” ucap Dewa. ***   Setelah makan malam bersama, Dewa dan Medina akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Medina memandang Dian dan Liam di depan pagar lalu melambaikan tangan. Mobil Dewa pun kini meninggalkan area rumah Liam. Medina dengan tenang, ia bersandar di kursi, ia melirik Dewa menghidupkan radio, lalu mengecilkan volume. Mereka menatap langit gelap dan membelah jalan. Mereka tadi pergi dalam keadaan senja, lalu malam  dan berbagi cerita. Kini mereka adalah dua orang yang tidak bisa mengucapkan kata sayang dan tidak lebih dari dua orang asing yang saling merindukan. Dewa melihat jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 20.30 menit. “Sekarang mau langsung pulang?” Tanya Dewa. Medina menoleh menatap Dewa dan mengangguk, “Iya.” “Pulang ke rumah orang tua kamu?” “Iyalah, emang di mana lagi.” “Enggak nyoba tinggal sendiri?” “Masih nyari-nyari sih ini, yah harganya dibawa 1 M lah. Jangan mahal-mahal, nggak mampu soalnya,” Medina terkekeh. “Banyak kok, kalau mau di cari. Kamu punya dana berapa? Nanti aku bantu cari, soalnya Bimo punya bisnis property juga, siapa tau di tempat dia ada. Bimo bisa dikasih diskon untuk kamu, atau harga keluarga.” “Aku punya dana, 600-700 juta.” “Oke noted, nanti aku tanyain sama Bimo.” “Makasih ya.” “Iya, sama-sama.” Beberapa menit berlalu, kini mobil Dewa sudah berada di depan rumah orang tuanya Medina. Sepanjang perjalanan tadi ia berpikir, karena ia merasa tidak pantas jika bersama pria yang sudah memiliki tunangan. Apalagi untuk bersenang-senang bersama, ia hanya takut lengah dan jatuh ke jurang yang sama. Ia tidak ingin memperumit masalah hidupnya, jika ada yang melihat ia jalan dengan pria bertunangan. Namanya menjadi tercoreng dan akan berddampak sanksi social.  Apalagi jika ia dan Dewa menciptakan chemistry itu kembali. Ia tidak ingin menyakiti hati tunangan Dewa apalagi merusaknya. Ia seorang wanita yang sangat rentan menjadi pelaku utama di dalamnya. Ia dan Dewa harus ada batasan, tidak seharusnya bersenang-senang diatas hubungan itu. “Dewa.” “Hemmm” ucap Dewa, ia menghidupkan lampu dasbor, agar ia bisa melihat wajah cantik Medina. Medina menarik nafas ia menatap Dewa, “Aku dan kamu, harus ada barrier. You know what I mean” ucap Medina tenang. Mereka tahu bahwa sekarang mereka dihadapi masalah hati yang tidak biasa. Ia tidak akan gampang jika hanya  bermodal kata kenangan  dan ego membutuhkan. Ia tidak ingin menjadi perusak hubungan Dewa dan Amber. Apalagi ia tahu pria itu akan menikah pada bulan ini. Mereka tidak seharusnya bersama, ini merupakan tindakan yang salah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Amber jika melihat tunangannya bersama wanita lain. “I know, but I want,” timpal Dewa, ia tidak suka mengatakan itu kepadanya. “No, we can't do it, Dewa ! Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganmu. Kita tidak bisa bersama mengendari motor berdua denganmu. Sebenarnya aku ingin membantah ucapan Liam tadi, namun rasanya tidak enak di sana ada Dian. Aku menghargai pembicaraan Liam saja,” ucap Medina tenang, ia tidak ingin tersulut emosi. “Oh God,” Dewa ingin sekali membanting setir, membawa Medina pergi sejauh-jauhnya. “It's just a memory of the past,” gumam Medina lagi. “Forget it, and remember you have a fiancé. You will also get married !” timpal Medina, ia ingin memberitahu bahwa pembicaraan mereka tadi di rumah Liam sudah tidak dibenarkan, apalagi untuk bernostalgia. “Aku mengatakan ini hanya ingin menghargai hubungan kamu.” “Aku menghargai wanita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tunangan kamu, melihat kekasihnya bersenang-senang dengan wanita lain. Aku seorang wanita Dewa, aku tahu bagaimana perasaan wanita” Dewa menarik nafas, ia menutup wajahnya dengan tangan. Ia mengepalkan tangan hingga buku-buku tangannya memutih, menahan geram. Sial, padahal tadi ia berharap bahwa ia akan bersenang-senang dengan wanita yang ia inginkan sepanjang hidupnya. Ada perasaan kesal luar biasa Medina mengatakan itu kepadanya. Dewa menatap Medina dengan berani, “Jadi kamu membatlkan besok ke Puncak.” “Ya tentu saja, aku akan menghubungi Liam nanti. Aku tidak akan datang. Coba kamu pikirkan? Bagaimana kita bisa ikut bersama mereka, jika mereka ingin ke membuat adik untuk Riri. Bukankah itu mengganggu bulan madu kedua mereka?” “Kita hanya menghargai pembicaraan Liam dan istrinya.” Ini yang ia tidak suka dari Medina, hatinya sangat keras dan sulit melawan egonya. Wanita itu memang sulit dimengerti. Bahkan wanita itu menangis tersedu-sedu, tetap mengatakan tidak, padahal sebenarnya dia ingin. Dia seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorah luka. Rindu-rindu itu seperti sajak yang mati. “I hope you understand.” “I never understood you, Medina !” dengus Dewa kesal. “Oh Jesus ! I don't understand your wishes, your hopes, what you do, your dreams, your life?” Timpal Dewa, emosinya tidak bisa ia control lagi. “Berhentilah keras dengan diri kamu sendiri !” “Aku tidak pernah keras dengan diri aku Dewa. Aku ingin semuanya baik-baik saja.” “Aku harap kita tidak bertemu lagi. Berhentilah berhubungan denganku. Fokuslah dengan pernikahanmu.” “Pertemuan hari ini hanya kebetulan. Ingat hanya kebetulan !. Aku tidak akan berhubungan dengan pria yang sudah memiliki kekasih apalagi bertunangan. Aku tidak mau memperumit hidup kamu dan aku.” Dewa memukul setir, karena kesal luar biasa, “Bukankah hidup ini mudah? Kalau rindu kamu datangi, jika gelisah ungkapkan, jika kamu cemburu katakan. Kamu saja yang mempersulitnya Medina. Ego kamu terlalu besar hanya untuk mengucapkannya !” “Why? Aku tidak bisa mengerti kamu !” desis Dewa. “Why?” tanya Dewa lagi. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD