Bab 14. Juteknya Shashi

1154 Words
“Kalian ngomongin apa sih? Kok sampai lemes gini mukanya?” tanya Shasi yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu. Ardi seketika bangkit dan memberi kode pada ibu dan kakaknya agar tidak lagi membahas Mitha. “Oh enggak kok, Sayang. Ini loh kasihan Ibu belum masak tapi rumah masih kotor, kamu bantuin gih bersih-bersih,” tukas Ardi. “Nggak ah, Mas. Aku capek. Baru pulang kerja juga, cari aja pembantu,” timpal Shasi dengan entengnya. “Tapi ‘kan bayar pembantu mahal, Sayang,” keluh Ardi. “Kamu jadi suami perhitungan banget sih, Jangan pelit-pelit, nanti rezeki kamu seret loh,” balas Shasi. “Kamu dibilangin suami kok malah ngeyel sih, Sas.” Ema ikut bersuara. Geram sekali dia perintah anaknya dibantah terus. “Jadi istri itu harus nurut apa kata suami, biar nggak jadi istri durhaka.” “Ah, kalau Ibu dikit-dikit menganut doktrin biar nggak durhaka, lama-lama jadi babu saya di sini. Sorry ya.” Shasi mengibaskan tangannya ke udara membuat Ema semakin kesal. “Sudah-sudah, Bu. Biarin Shasi istirahat, mungkin dia memang capek habis kerja, apalagi dia sedang mengandung cucu Ibu, 'kan? Orang hamil nggak boleh kecapek’an,” sela Ambar menengahi. “Nah, itu Mbak Ambar pinter,” puji Shasi mengacungkan jempol. “Maksud kamu Ibu nggak pinter?” tanya Ema melotot. Tapi Shashi hanya menggendikkan bahu. “Kamu juga, Mbar. Ngapain belain dia, dikasih apa kamu sama dia.” Ema kali ini memegangi Ambar. “Ambar nggak belain Shashi, Bu. Udahlah nggak usah diributin, nanti Ambar bantu beres-beres deh, Ibu yang masak tapi ya,” jawab Ambar mengalah. Tidak mungkin juga membiarkan rumah seperti kapal pecah juga. Bisa jadi sarang binatang kalau didiamkan. “Nah, gitu dong. Itu baru adil. Masak Ibu semua yang ngerjain,” balas Ema. “Kalau begitu kamu bantu Ibu masak di dapur, Shas. Bantu potong-potong bawang aja.” “Maaf, Bu. Aku nggak bisa, nanti kuku aku rusak, lagian aku juga nggak pernah ngupas bawang,” jawab Shasi dengan santai. “Terus kamu bisanya apa!” seru Ema meninggi. Ardi hanya mengusap wajahnya dengan kasar mendengar perdebatan yang tak kunjung usai. Sedangkan cacing-cacing di perutnya semakin memberontak. “Aku bisanya kerja, Bu. Hasilin duit.” Shasi tersenyum lebar. Dia memang pantang disuruh-suruh. “Huh, alasan aja,” gerutu Ema. “Awas ya kalau sampai kamu ikut makan.” “Oh, tenang aja, aku udah kenyang kok, Bu,” balas Shasi. “Loh, memangnya kamu sudah makan, Sayang?” tanya Ardi menimpali. “Udah barusan makan di luar sama temenku, aku juga udah bungkus nih, buat jaga-jaga nanti malem kalau kelaparan,” balas Shasi sambil mengangkat makanan yang dia bungkus. “Terus kamu kok nggak sekalian belikan aku, Mbak Ambar, dan Ibu?” tanya Ardi lagi. “Uangnya mana?” Shasi menengadahkan tangan. “Ya pakai uang kamulah, kamu ‘kan juga kerja, jadi uang kamu uang kita bersama,” jelas Ardi disambut senyuman miring oleh Ema. “Enak aja! Uangku ya uangku! Kamu nggak berhak ngatur-ngatur, apalagi sampai ikut make uangku!” seru Shasi meninggikan suaranya. “Jadi laki pinter dikit ngapa.” Setelah mengatakan hal itu Shasi berlalu meninggalkan mereka bertiga yang masih melongo melihat sikapnya yang ketus. “Sayang, tunggu.” Ardi menyusul istrinya masuk ke kamar. Tersisa Ambar dan Ema yang saling pandang tak percaya. Apalagi Ema, dia paling benci jika anak lelakinya bertekuk lutut di bawah kendali istrinya. “Sekarang kamu nyesel nggak sudah belain dia, Mbar? Cantik sih, banyak duit juga, tapi buat apa kalau nggak loyal sama keluarga,” sungut Ema kesal. “Ya sudahlah, Bu. Nanti kita cari cara supaya Shashi berubah penurut sama kita,” bisik Ambar. Kening Ema berkerut. “Kok tumben kamu pinter. Ya udah cepet beresin dulu nih rumah, Ibu mau masak,” balasnya sambil membawa bahan belanjaan ke dapur. Ambar menatap sekeliling dengan tatapan nanar. Sekotor ini mau bersihkan mulai dari mana. Dia lupa kapan terakhir kali bersih-bersih. Karena selama ini Mitha mengambil alih semua tugas. *** “Sayang, kamu kok ngambek sih?” tanya Ardi begitu Shashi melengos. “Aku sebel sama kamu, aku nggak mau ya disamain kayak Mitha yang buluk itu, dia ‘kan sudah terbiasa ngerjain pekerjaan rumah. Aku wanita karir, Mas. Yang aku tahu pekerjaan kantor,” jelas Shasi. “Apalagi suruh masak, ih ogah. Bilang sama Ibumu jangan suka nyuruh-nyuruh. Kayak majikan aja.” “Iya, iya. Nanti Mas bilangin. Kan memang tugasnya seorang istri buat urusin rumah tangga, Shas.” Ardi mulai kesal. “Kamu belajar mulai bantu-bantu dikit ya, nanti juga terbiasa.” “Nggak! Sekali nggak tetap nggak. Ngurusin pekerjaan rumah itu nggak ada habisnya, nanti aku malah nggak sempet ngerawat diri, nyewa pembantu ajalah dari pada ribet,” cetus Shashi. “Kan sudah aku bilang kita harus hemat buat biaya kelahiran anak kita,” jawab Ardi. “Mas, kamu itu manajer keuangan, gajimu lebih dari cukup buat bayar pembantu!” seru Shasi. “Dari pada istrimu lama-lama kucel nggak enak dipandang. Mendingan sewa art, jangan pelit-pelitlah, nyesel aku nikah sama kamu kalau perhitungan gini. Dulu aja waktu kita masih pacaran kamu mau nurutin semua mauku.” Ardi mengusap wajahnya merasa frustasi. Bagaimana caranya menjelaskan pada Shasi kalau jabatannya diturunkan. Pasti istrinya itu marah besar. Bisa-bisa tidak dapat jatah dia malam ini. Padahal tubuhnya begitu menggoda. “Bukan begitu maksud aku, Sayang. Dulu ‘kan waktu kita pacaran nggak ada kebutuhan yang mendesak. Kalau sekarang banyak kebutuhan, belum lagi Ibu dan Mbak Ambar. Mereka berdua tanggunganku,” jelas Ardi lagi. “Ah udahlah, Mas. Nggak usah banyak alasan. Mbak Ambar itu udah perawan tua, masak iya dia mau repotin kamu terus. Suruh dia kerja, dari pada keluyuran nggak jelas habisin duit kamu, Ibu juga, kasih jatah bulanan secukupnya. Mulai hari ini gaji kamu aku yang atur. Titik.” Shasi tak mau didebat. Ardi menghela napas panjang. Mimpi apa dia dapat istri secantik Shashi tapi ketusnya minta ampun. Mana dia tidak mau diatur. “Mas,” panggil Shashi mendayu-dayu. Ardi tergagap. Dia paling lemah kalau sama godaan seperti ini. Apalagi tangan Shashi saat ini tengah melayangkan serangan di titik sensitifnya. “Eh, i-iya, Sayang” jawab Ardi terkesiap. “Jadi gimana? Mau ‘kan semua gaji kamu aku yang atur?” tanya Shasi memancing, semakin berani melucuti pakaian suaminya. Dan itulah yang sangat disukai Ardi. “I-iya, Sayang. Apa sih yang enggak buat kamu,” balasnya dalam mode pasrah. “Beneran ya? Jangan bohong. Aku nggak mau kalau gaji kamu diberikan ke Ibu, biar aku aja yang atur biar adil. Jangan khawatir, nanti Ibu juga dapat bagian kok,” rayu Shasi lagi. “Beneran, Sayang. Nanti aku kasih kamu semua deh, cepetan aku udah nggak tahan nih!” seru Ardi yang sejak tadi sudah menegang. Akhirnya Shashi pun melayani suaminya dengan terpaksa. Demi meraih keinginannya. Pria itu harus dirayu dengan lembut. “Yes, kena kamu, Mas. Mana mungkin aku diam saat gaji kamu diberikan cuma-cuma ke keluarga kamu,” batin Shashi penuh kemenangan. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD