Kediaman Ardi sepeninggal Mitha
“Di, siapa lelaki yang jemput Mitha tadi? Gimana ceritanya dia bisa kenal pria kaya itu, hah?” tanya Ema.
Suasana rumah Ardi sudah lenggang setelah ijab Qabul dilakukan. Para tamu dan mertua Ardi juga sudah pulang. Tetapi Ema masih tidak terima Mitha pergi dari rumahnya begitu saja. Selama ini dia menantu yang sangat penurut dan rajin.
Ema serasa punya rezeki nomplok bisa mendapat menantu yang bisa diandalkan seperti Mitha. Bahkan dia tidak pernah protes walaupun Ardi memberinya nafkah ala kadarnya.
“Entahlah, Bu. Ardi juga syok melihat Mitha tiba-tiba dijemput saingan bisnisku,” terangnya.
“Saingan kamu? Jadi, Mitha berkomplot sama saingan bisnis kamu? Kok mau dia sama wanita dekil macam itu. Secara pria tadi tampan dan kaya.” Ema menggeleng heran.
“Selera pria sekarang benar-benar buruk,” sahut Ambar yang tiba-tiba datang.
Ardi tampak tidak bersemangat setelah kepergian Mitha. Bagaimanapun istri yang baru ditalaknya itu begitu telaten merawatnya. Segala kebutuhannya selalu terpenuhi.
“Nyesel ‘kan kamu sudah menjatuhkan talak pada Mitha,” tebak Ema. Seolah bisa membaca pikiran putranya.
“Itu karena Shasi terus mendesakku, Bu,” ujar Ardi lirih.
“Ya sudah nggak papa, Di. Lagian ‘kan kamu juga sudah terlanjur menalaknya, buat apa nyesel. Harusnya bersyukur dong dapat istri secantik dan sebaik Shasi,” sahut Ambar.
Wanita itu mengalihkan pandang ke arah Ema. “Ibu kok tumben sih bela dia. Apa bagusnya coba si Mitha itu.”
“Diam kamu, Ambar! Tahu apa kamu tentang Mitha, selama ini kerajaanmu hanya malas-malasan aja,” tegur Ema membuat Ambar mengerucutkan bibirnya.
“Yah emang mau apa lagi, Bu. Wong udah ada babu gratisan,” jawabnya santai.
Ema menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti maksud Ibu, Mbar.”
“Memangnya kenapa Ibu tadi melarangku menalak Mitha?” tanya Ardi penasaran.
“Karena kalau tidak ada dia, siapa yang mau mengerjakan pekerjaan rumah yang seabrek itu. Kamu pikir selama ini siapa yang mau disuruh-suruh kalau bukan Mitha,” sungut Ema kesal.
Astaga. Ardi menepuk keningnya pelan. Dia pikir sang ibu menyesali kepergian Mitha karena benar-benar menyayanginya. Rupanya tak lain karena ada maunya.
“Selain lugu, dia itu juga bodoh, Di. Makanya Ibu bisa memanfaatkan dia tanpa harus keluar tenaga. Kamu sih nggak dengerin perkataan Ibu,” tambahnya.
Ardi benar-benar tidak menyangka jika pikiran sang ibu sepicik itu. Memang dia kerap abai dengan keadaan Mitha, karena mantan istrinya itu tidak pernah mengeluhkan apa pun.
“Jadi, selama ini Ibu hanya menganggap Mitha sebagai pembantu? Begitu ‘kan kasarannya?”
Ema langsung mengangguk. “Memang iya. Dia itu kemari hanya bawa diri aja, enak aja ngarep tinggal di sini gratis."
“Ibu keterlaluan!” hentaknya.
“Loh, emangnya kenapa? Ada masalah? Ibu lihat sikap kamu juga biasa-biasa aja pas Ibu nyuruh-nyuruh dia,” sanggah Ema tak terima.
“Itu karena Ardi pikir Ibu menunjukkan kedekatan sama Mitha sampai akrab begitu,” balasnya.
“Halah udahlah, ngapain sih ributin Mitha terus. Orangnya juga sudah pergi. Kamu fokus aja sama Shasi, Di. Istri barumu itu orang kaya, 'kan? Bisa dong ngasih tambahan buat modal Mbak jualan?” tanya Ambar bersemangat.
“Uang terus yang ada di pikiranmu, Mbak,” gerutu Ardi.
“Lah, mana ada yang gratis di dunia ini, Di. Semua butuh duit,” jelas Ambar.
“Tau ah, pusing,” jawab Ardi sambil berlalu.
Entah kenapa, tiba-tiba ada yang mengganjal di hatinya. Benarkah Mitha menerima keputusannya? Kenapa dia bisa mengenal Fero. Apa hubungan mereka berdua? Jangan-jangan selama ini istrinya itu juga menjalin hubungan gelap?
Memikirkan semua itu membuat darah Ardi semakin mendidih. Harga dirinya terluka kalau sampai Mitha benar-benar selingkuh di belakangnya selama ini. Dia menyesali sikapnya yang terlampau kasar. Mungkinkah kepergian Mitha karena dia lelah hidup bersamanya?
“Tunggu dulu,” tahan Ema.
“Apalagi sih, Bu.” Ardi benar-benar lelah setelah prosesi akad nikah.
Apalagi harus menghadapi ocehan Ibu dan Kakaknya. Rumah Ardi sudah seperti kapal pecah. Jika saja Mitha masih ada pasti dengan cekatan dia membersihkannya.
“Kamu harus nyewa pembantu buat Ibu, Ibu nggak mau disuruh beberes rumah terus, Ibu sudah tua dan gampang lelah.” Ema beralasan.
Ambar menahan senyum, dia tahu sang ibu memainkan taktik lama supaya Ardi iba padanya, padahal sebenarnya Ema terlanjur nyaman karena selalu dilayani oleh Mitha.
“Kenapa harus nyewa pembantu, Bu? Kalau ada Shasi yang bisa bantu Ibu,” jawab Ardi keberatan. "Biaya sewa pembantu mahal. Belum lagi kerjanya kadang nggak becus.”
“Memangnya istri baru kamu itu mau ngerjain pekerjaan rumah tangga? Lihat saja kukunya panjang-panjang mengkilat, sudah pasti dia juga malaslah, Di,” sela Ema.
“Makanya kamu tu mikir dulu sebelum main talak aja, sekarang nggak ada Mitha, kita juga yang susah, ‘kan?” cerocosnya lagi.
Ardi menghela napas panjang. Dia bertambah pusing dengan Omelan ibunya, padahal sudah menuruti kemauannya untuk menikahi Shasi, sekarang justru disalahkan.
“Ya terus maunya Ibu sekarang gimana?” tanya Ardi putus asa.
“Coba suruh istri kamu itu bersih-bersih, Ibu pengen lihat,” titah Ema bersidekap.
Akhirnya mau tidak mau Ardi pun menuruti perintah Ema. Dia memanggil sang istri dengan lembut.
“Shasi …,”
Ternyata istri barunya tengah sibuk memainkan ponsel. Sekilas dia hanya melirik Ardi dan kembali fokus ke layar gawainya.
“Kok kamu dipanggil diam aja?”
Ardi melangkah masuk ke dalam kamar. Terlihat wajah Shasi begitu kelelahan.
“Kamu ‘kan bisa langsung masuk dan duduk di sampingku, Mas. Ngapain pakai panggil-panggil segala,” jawabnya cuek.
“Kamu dipanggil Ibu, diminta bantu bersih-bersih,” terang Ardi.
“Apa!”
Nada Shasi seketika naik delapan oktaf. Bahkan tubuhnya seketika terjingkat.
“Kamu nyuruh aku bersih-bersih, Mas?” tanya Shasi tak percaya.
“Iya, Sayang. Itu kan sudah jadi tugas kamu sebagai seorang istri,” jawab Ardi dengan enteng.
“Enak aja. Enggak!” bantah Shasi.
“Loh, kok kamu gitu sih, Sayang?” tanya Ardi memelas.
Dia berharap kali ini tidak ada perdebatan. Karena kepalanya sudah cukup pusing memikirkan permintaan ibunya.
“Aku nikah sama kamu itu untuk jadi istrimu, bukan pembantumu,” balas Shasi penuh penekanan.
Ardi melongo mendapati sifat asli Shasi yang langsung keluar setelah selesai ijab qobul. Wanita itu biasanya lemah lembut dan suka menggoda. Tiba-tiba berteriak di depannya, sungguh jauh berbeda dengan Mitha.
“Tapi, kan-”
“Aku lagi hamil anakmu, Ardi. Masak tega sih disuruh-suruh begitu. Nanti kalau aku kecapek’an terus keguguran, kamu mau disalahin?” tanya Shasi memotong ucapan Ardi.
Pria itu menghela napas panjang. Apa boleh buat. Ibu hamil muda memang rentan keguguran.
“Udah ah aku capek mau tidur, kamu jangan ganggu aku, nanti kulaporin ke Papa kalau kamu berani nyakitin aku,” lanjut Shasi.
Wajah Ardi mendadak pucat. Dia menyeka keringat yang berlomba menyembul dari balik dahinya. Ancaman Shasi tak main-main.
Ardi pun menyeret langkah keluar kamar setelah Shasi menarik selimut dan memunggunginya. Benar-benar sial.
“Gimana, Di? Mana istrimu? Dia mau ‘kan disuruh bersih-bersih?” tanya Ema tak sabar.
“Maaf, Bu. Tapi Shashi kelelahan hari ini. Jadi, dia tidak bisa membantu kita,” jelas Ardi.
Ekspresi Ema seketika berubah kesal. “Ya susah kalau begitu kamu ambil pembantu saja secepatnya.”
“Tidak bisa begitu, Bu,” lirih Ardi.
“Jadi kamu lebih milih ibumu kelelahan dan tidak bisa menikmati masa tua? Kamu mau dicap jadi anak durhaka?" tanya Ema dengan balasan menohok.
Ardi menggeleng lemah. “Bukan seperti itu maksud Ardi.”
“Ibu sedih kamu tidak lagi sayang sama Ibu, kamu itu sebagai anak laki-laki harus pandai-pandai mendidik istrimu,” tutur Ema menurunkan suaranya.
“Iya, iya, nanti Ardi kasih tahu lagi Shasi. Dan Ardi juga akan pertimbangkan cari pembantu,” balasnya.
Wajah Ema seketika sumringah. Dia tahu sang putra akan selalu menuruti permintaannya. Karena sejak dulu dia tidak pernah gagal mendikte Ardi.
“Bakti seorang anak laki-laki itu ada pada ibunya, Di. Bukan pada istrinya.”
Bersambung...
Wah, kalau ada mertua seperti Bu Ema enaknya diapain ya?