Bab 3. Siapa Sebenarnya Mitha?

1437 Words
Mitha tersenyum simpul saat Ardi mulai cemas. Dia tidak akan menangis di pernikahan suaminya. Justru pria itu yang akan menyesal. “Apa-apa’an kamu, Mitha? Jangan membuatku malu!” tegur Ardi berbisik. “Siapa yang membuat malu, Mas? Apa nggak kebalik? Aku bisa saja membuka aibmu jika kamu menghamili Shasi terlebih dulu,” jawab Mitha santai. Wajah Ardi semakin pucat. Dari mana istrinya tahu perihal itu, padahal dia sudah merahasiakannya agar istrinya tak tahu. “Awas kamu ya, jangan macam-macam atau ….” “Heh, perempuan kampung. Beraninya kau bicara seperti itu, lihat saja, aku akan buat perhitungan denganmu setelah ini!” Shasi memotong ucapan Ardi karena ikut geram. Mendengar itu, Mitha tidak terpengaruh. Walaupun dia emosi, masih bisa mengatur mood-nya. “Bagaimana, Bu Mitha?” tanya Pak RT yang ikut berkumpul sebagai saksi. “Sebelum kamu menikahi wanita ini, tolong ceraikan aku dulu, Mas!” tegas Mitha. Sontak Ema dan Ambar mendelik tak percaya. Mungkin mereka terkejut karena selama ini Mitha selalu penurut dan tak pernah membantah, apalagi di depan umum, dia tidak akan berani melawan keluarga Ardi. “Talak aku sekarang juga, Mas!” tambahnya penuh keyakinan dan terdengar menuntut. Ardi pun tertunduk lesu. Ekspresinya membuat Mitha bingung. Bukankah itu yang diinginkan suaminya? Cerai darinya, istri yang tak lagi mau disentuhnya karena dekil. “Mas! Tunggu apa lagi? Cepat talak dia!” tegur Shasi yang menggebu-gebu saat melihat Ardi malah diam saja. Ema memberi kode pada putranya dengan gelengan kepala. Dia tak kalah terkejutnya. Wajahnya mendadak pias. Kenapa tiba-tiba mereka seperti itu? Bukankah selama ini Mitha selalu dibenci dan dimusuhi? Oh atau mereka takut kehilangan tenaga sukarela di rumahnya? “Maaf, aku tidak bisa, Mitha,” lirih Ardi. “Apa? Tidak bisa? Memangnya kenapa, Mas. Bukankah kamu ingin menikahi perempuan ini? Bahkan kamu sampai menganggapku pembantu di depan teman-temanmu!” pekik Mitha menahan kesal. “Sudahlah, Mitha! Jangan mempersulit Ardi. Biarkan dia menikahi Shasi. Dia tetap bertanggung jawab menafkahi kamu kok,” bujuk Ema dengan lembut. Mitha mengernyit. Tidak biasanya, sang mertua bersikap manis terhadapnya atau mungkin sedang ada maunya. “Lagian ya, kalau kamu minta cerai, kamu mau tinggal di mana? Ekonomi kamu sulit aja berlagak minta cerai. Apa kamu nggak malu balik ke kampung dan tinggal sama bibimu yang miskin itu?” timpal Ambar. “Itu urusanku, Mbak. Mbak, enggak usah pikirin bagaimana nasibku nanti!” jawab Mitha merasa heran. “Ayo, Pak penghulu! Lebih baik lanjutkan saja ijab qabulnya,” pinta Ema mendesak. “Tidak bisa! Pernikahan ini tidak bisa berlangsung sebelum Mas Ardi menceraikanku!” sanggah Mitha menentang keras. “Jangan keras kepala, Mitha!!Apa susahnya tinggal terima saja, toh kamu juga tetap mendapat hakmu!” Ambar mulai emosi melihat adik iparnya tetap teguh akan pendiriannya. “Maaf, Bapak, Ibu, sebaiknya ada kesepakatan dahulu antar mempelai dan istri pertamanya sebelum dilanjutkan.” Penghulu pun merasa perlu untuk melerai. “Mas, kenapa diam aja sih, cepat talak dia!” seru Shasi tak sabar. Beberapa kali membenarkan duduknya seolah tak sabar. “Ba-baiklah,” jawab Ardi tergagap. Meski rasanya berat, tentu saja ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk bisa menikahi Shasi. “Ardi, jangan!” pekik sang ibu lantang. “Maaf, Bu, tapi Ardi tidak punya pilihan lain.” Wajah sang ibu bertambah cemas. Mitha menyadari ada keanehan pada mertuanya. Kenapa dia mendadak gelisah? Sebenarnya ada apa? “Paramitha, mulai saat ini aku menjatuhkan talak padamu dan kamu bukan lagi istriku!” ujar Ardi dengan mantap. Ada kelegaan tersendiri dalam hati Mitha. Seolah batu besar yang selama ini menindihnya telah terangkat. “Habislah kita,” gumam sang ibu yang masih bisa didengar Mitha. Walaupun ada yang ganjil dengan sikap ibu mertuanya, tetapi Mitha tidak peduli. Yang terpenting saat ini dia sudah bebas dari keluarga Ardi yang tak tahu diri itu. “Oke, karena aku bukan siapa-siapa lagi di sini. Jadi mulai hari ini, aku akan pergi dari rumah ini.” Mitha berbalik hendak ke kamar mengambil kopernya. “Mitha, kamu tidak bisa pergi begitu saja, ingat kamu masih punya masa iddah!” tegur Ema. Namun, Mitha tak menghiraukan. Biarlah dosa dia yang menanggung. Daripada tersiksa hidup dalam neraka yang dibuat oleh mereka. Sebelum penghulu datang, Mitha memang sudah mengemasi semua pakaian dan surat-surat penting miliknya. Dia sudah menghubungi salah satu temannya juga untuk menjemput. Jadi, tidak butuh waktu lama, Mitha langsung menyeret kopernya dan beranjak ke teras. Tak berselang lama, muncul seorang pria tampan bergaya casual mengejutkan semua orang yang hadir. Terlebih Ardi dan keluarganya. Pria itu berjalan dengan gagah menghampiri Mitha. "Fero?" gumam Ardi tak percaya. Dia adalah rivalnya dalam bisnis. Pria licik itu memiliki banyak taktik untuk menjebak perusahaan pesaingnya. “Selamat siang, Semua. Kedatangan saya kemari untuk menjemput Mitha," ucapnya dengan santai. “Ayo pergi, aku sudah siap, Fero,” balas wanita itu penuh kemenangan. Dia melirik ekspresi suaminya yang berubah mengenaskan. Dalam pikiran, Ardi bertanya-tanya. Bagaimana istrinya yang udik dan dekil itu bisa mengenal seorang Fero Bagaskara? “Baiklah, Mitha. Mobil milikmu sudah siap.” Pria itu mempersilakan Mitha agar mengikutinya. Netra Ardi terbelalak begitu mengetahui mobil mewah Tesla model x-plaid yang ditaksir senilai empat milyar, terparkir rapi di halaman depan rumahnya. “Tunggu, Mitha! Kamu ini sebenarnya siapa? Apa ada yang kamu sembunyikan dariku? Apa benar mobil itu benar-benar milikmu?” tanya Ardi mencecar dengan berbagai pertanyaan. "Dan, kenapa Fero bisa menjemputmu? Apa hubungan kalian berdua? Apa kalian sebelumnya sudah saling mengenal?” Pertanyaan bodoh, harusnya pria itu sadar jika semuanya sudah terlambat. Siapa pun Mitha, tidak akan merubah semua keputusan dan pernikahan mereka sudah berakhir. “Aku adalah istri yang kau sia-siakan, juga kau khianati,” desis Mitha sinis. "Kamu terlalu sibuk mengurusi selingkuhanmu itu, Mas. Sampai-sampai tidak tahu menahu tentang siapa saja teman-temanku." Ardi tampak resah. “Ka-kamu yakin ingin berpisah denganku? Aku tahu kamu tidak akan bisa hidup tanpaku, kamu masih cinta 'kan sama aku,” bujuk Ardi. “Tetaplah di sini, kita masih bisa rujuk!” Lihatlah, betapa pengecutnya Ardi, padahal baru beberapa menit dia menjatuhkan talak. Sekarang sudah berubah pikiran. “Dasar penjilat, tahu mobil bagus langsung mengemis agar aku tidak pergi,” batin Mitha. “Maaf, Mas, tapi aku tidak berminat lagi rujuk denganmu,” tolaknya tegas. Wajah Ardi seketika mengeras. Dari dulu Mitha tidak pernah menolaknya. Dia selalu tunduk dan patuh. “Kamu akan menyesal pergi dari sini, Mitha!” tukas sang mertua mengompori. Mitha hanya tersenyum sarkas. Tidak menggubris ucapan mertuanya. Selesai memakai sepatu, dia bergegas bangkit dan mengucap salam. “Saya pamit ya, Semua. Assalamualaikum,” ujarnya dengan tenang. Sang mertua seketika bimbang. Siapa yang akan mengurusi rumah mereka yang begitu luas? Selama ini, hidupnya sudah begitu enak dilayani tanpa harus menggaji siapa pun. “Halah, dasar wanita nggak bener,” gerutu Shasi yang mengikuti Ardi dengan kesal. “Apa maksud kamu?” tanya Ardi. “Itu mantan istri kamu 'kan orang kampung, nggak mungkin bisa naik mobil semewah itu, palingan selama ini dia jadi simpanan om-om,” balas Shasi menuduh. Ardi hanya menatap kepergian Mitha dengan nanar. Benar juga kata Shasi, mantan istrinya tidak mungkin punya harta sebanyak itu. Lagi pula selama ini, dia hanya seorang gadis kampung yang bertemu Ardi saat berjualan jajanan tradisional di pasar. “Mitha! Kamu tidak boleh pergi dari sini seenaknya! Ingat, selama ini kamu makan numpang sama kami!” teriak Ema seperti orang kesetanan. Dia kesal diabaikan begitu saja oleh mantan menantunya itu. Selama ini, dia selalu diperlakukan bak ibunda ratu. Nanti, siapa lagi yang akan melayaninya tanpa kenal waktu. Mitha pun hanya melambaikan tangan sambil terus melangkah pasti. Fero membukakan pintu mobil. Selanjutnya, Mitha duduk dengan anggun dan merebahkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi mobil. Hampir 24 jam Mitha bekerja tanpa jeda di rumah suaminya. Seolah dia robot yang tak punya rasa lelah. Sekarang kebebasannya telah datang. Dia sudah siap untuk menatap hidup barunya. “Siapa suruh kamu main-main sama aku, Mas. Sekarang rasakan pembalasanku, ini baru permulaan. Aku pastikan, kamu pasti akan menyesalinya!” batin Mitha sambil menatap dingin rumah seperti neraka yang selama ini dia tempati. Tiba-Tiba ponselnya berdering. Nama “Bibi” muncul di layar ponsel. Pasti wanita itu sangat mengkhawatirkannya. Oh bahkan, untuk sekedar nama saja dia harus memalsukan agar tidak ada pihak-pihak yang memperalatnya. Setelah ini, Mitha harus lebih berhati-hati karena identitas aslinya akan segera terungkap. Dia pikir akan tenang hidup dalam identitas samaran. Rupanya sangat melelahkan. “Halo,” jawab Mitha. “Nona Sherly, akhirnya Anda memutuskan untuk pulang. Kami akan menunggu Anda dengan senang hati,” jawab wanita itu dari seberang sana. Sudut bibirnya tersenyum getir. Menyayangkan jika pengorbanannya selama ini untuk menjalani pernikahan yang bahagia bersama Ardi harus kandas. Namun, Mitha coba untuk tak menangisinya lagi. “Mungkin ini sudah saatnya ….” Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD