Ternyata Evan tidak menepati janjinya.
Sosok lelaki itu tidak kunjung datang menemui Eilish dan ini sudah tiga hari lamanya. Eilish tentu merasa kesal. Karena tujuannya datang lebih awal ke Jakarta memang untuk menghabiskan waktu bersama Evan sebelum sibuk dengan pekerjaan barunya. Eilish bahkan sudah mencari-cari beberapa tempat wisata yang ingin ia kunjungi bersama Evan melalui internet. Dia sudah membuat jadwalnya, tapi ternyata …
Evan malah super sibuk dan bahkan sangat sulit untuk sekedar dihubungi melalui telepon.
“Tampang kamu kusut amat kayak kain pel abis di peras,” ledek Aqina sambil terus mengunyah chitato rasa sapi panggang ukuran jumbo yang ada di pangkuannya.
Eilish berdesis pelan. “Tau, tuh … padahal dia udah janji mau ke sini dari tiga hari yang lalu dan besok aku sudah interview final.”
“Interview final?”
“Iya. Jadi itu semacam formalitas aja. Karena aku udah resmi keterima kerja, kok.”
Aqina mengangguk tanda mengerti. “Bagus juga kalo gitu. Ya, wajar sih … kamu kan, emang pinter dan juga cantik lagi. Paket komplit, deh.”
Eilish langsung menyipitkan matanya. “Mulai deh … pasti ntar endingnya kamu mulai ngeluh-ngeluh dan insecure sama diri sendiri, iya, kan? Duh … Aqina! Setiap manusia itu sebenernya istimewa.”
“Hehehe … nggak dong! Aku udah nggak insecure lagi sekarang. Pokoknya sejak kamu ceramahin panjang lebar waktu itu, deh,” tukas Aqina.
“Bagus, deh kalo gitu! Awas aja kalo kamu masih bersikap bodoh seperti dulu.” ancam Eilish.
Aqina terdiam dan langsung menundukkan wajah. Sementara tatapan Eilish langsung tertuju pada sebuah bekas luka yang ada di pergelangan tangan kiri Aqina. Seketika kenangan buruk itu langsung teringat, tapi kemudian Eilish tersenyum dan kembali bersuara.
“Karena Evan hari ini pun juga nggak ada kabar … gimana kalau kita berdua aja yang pergi main hari ini?” Eilish mengedipkan matanya.
Kuping Aqina langsung berdiri mendengar ide itu. Dia langsung mengangguk senang. “Kuy …! aku juga udah lama nih, gak jalan-jalan.”
Eilish tersenyum, lalu beralih merebut ciki ukuran jumbo yang masih dipeluk oleh Aqina. “Baiklah … tapi sekarang kamu mandi dulu ya … aku sudah pantau kamu belum mandi dari kemarin. Iya, kan?”
Aqina terkekeh dan langsung berdiri. “Iya deh, iya ….”
Eilish mengembuskan napas pelan sambil geleng-geleng kepala. Suara guyuran air pancuran di kamar mandi kini terdengar samar. Sejenak dia teringat pada peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di masa lalu. Semua rekam jejak peristiwa itu masih tersimpan dalam ingatannya. Hari di mana ia menemukan sosok Aqina yang sudah lemas terkapar di dalam bathroom dengan air yang sudah berubah merah. Saat itu Eilish langsung panik. Dia segera mengikat luka di pergelangan tangan Aqina untuk menghentikan pendarahannya.
Kejadian itu terjadi saat Aqina masih berkuliah di Padang, yang juga merupakan kampung halamannya. Aqina yang cupu, Aqina yang pendiam itu tiba-tiba saja bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Aqina tidak pernah mau memberitahukan alasan kenapa dia melakukan hal itu. Sampai akhirnya fakta pilu itu terkuak. Aqina ternyata telah dino-dai oleh seorang p****************g yang tidak bertanggung jawab hingga ia hamil. Lelaki itu tidak mengakui perbuatannya. Aqina yang dilanda stress dan frustasi itu pun juga akhirnya mengalami kegugu-ran.
Kejadian mengerikan itu ia alami seorang diri tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya. Hingga puncaknya, diterpa rasa sedih, penyesalan dan juga amarah yang sudah membumbung tinggi, Aqina melakukan perbuatan gila itu.
Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan. Beruntung saat itu Eilish berinisiatif menyusul Aqina yang sudah hampir seminggu tidak masuk ke kampus. Perempuan itu tinggal sendirian di kediaman sang orang tua. Sementara ayah dan ibu Aqina menetap di kota Pekanbaru, Riau karena bertugas sebagai pegawan negeri sipil di sana.
Eilish memejamkan matanya sejenak. Bagi dia pribadi kejadia itu pun masih meninggalkan trauma tersendiri. Setelah kejadian itu Aqina berhenti dari kuliahnya. Setelah itu dia juga mendapatkan perawatan mental selama kurang lebih sati tahun dan kemudian barulah Aqina melanjutkan hidupnya kembali dengan merantau ke Ibukota, mengikuti sebuah akademi desainer dan juga bekerja di sebuah butik.
“Syukurlah … sekarang dia terlihat jauh lebih baik dan dewasa,” bisik Eilish kemudian.
Eilish pun menunggu Aqina selesai mandi. Untuk membunuh waktu, Eilish sibuk melihat-lihat beranda akun i********:-nya. Hingga kemudian dia berdecak pelan.
“Hmm … rasanya sudah lama sekali aku nggak melihat akun i********:-nya Evan.”
Eilish tersenyum pelan karena seingatnya, akun i********: yang sudah ada sejak tahun2014 itu hanya berisikan tiga buah foto mereka berdua yang sedang menyantap es kelapa muda di pantai Padang saat mereka kuliah dulu. Dan akun i********: itu sendiri pun Eilish yang membuatnya. Karena Evan memang bukan tipikal orang yang aktif bermain sosial media.
“Ayo kita lihat!” Eilish terkikik senang.
Perempuan itu mulai mengetikkan huruf demi huruf abjad nama akun i********: Evan masih dengan senyum mengembang di wajahnya.
Deg.
Namun kemudian Eilish langsung menatap nanar.
Akun istagram milik Evan sudah sepenuhnya berubah. Total postingannya kini sudah berjumlah ratusan foto dan video. Followers Evan yang biasanya juga hanya sekitar dua ratusan saja kini sudah membludak menjadi dua puluh satu ribu followers.
“A-APA-APAAN INI …?”
Pupil mata Eilish bergetar melihat deretan foto-foto Evan yang menampilkan gaya hidupnya yang sangat glamor. Ada banyak foto yang menampilkan sosok lelaki itu tengah berlibur di berbagai tempat yang terkenal seperti Bali, Bandung, Surabaya dan juga berbagai kota lainnya di Indonesia. Eilish bahkan semakin terkejut saat melihat potret Evan yang tersenyum di depan menara Eiffel, Paris.
“K-kapan dia keluar negeri? Apa mungkin foto ini adalah editan?”
Lirikan mata Eilish terus tertuju pada feed i********: milik kekasihnya itu. Evan benar-benar menjelma layaknya selebgram yang selalu tampil modis dan keren. Fotonya dibanjiri oleh puluhan ribu likes dan juga komentar yang ramai. Sebagian besar foto-foto itu menunjukkan gaya hidup Evan. Seperti liburan, olahraga dan juga makanan organik yang disantapnya, serta OOTD yang sering ia kenakan setiap hari.
“I-ini bener-bener dia, kan?” bisik Eilish lagi.
Eilish masih terpana, dia kemudian dikejutkan oleh sosok Aqina yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Kenapa kamu kaget gitu?” sergah Aqina.
Eilish langsung menyembunyikan handphone-nya dan kemudian menggeleng pelan.
“N-nggak kok … nggak ada apa-apa,” jawabnya kemudian.
.
.
.
“Apa … aku dipindahkan ke kantor cabang yang ada di Jakarta Barat?” Danu menatap tak percaya.
Sang papa hanya acuh tak acuh di meja kerjanya.
“Selama ini aku yang sudah berusaha keras membuat perusahaan pusat hingga sebesar sekarang ini!” pekik Danu lagi.
Kali ini sang papa menatap padanya. “Lalu kenapa? Kalau begitu kamu hanya perlu membuat perusahaan itu menjadi besar seperti perusahaan pusat. Gampang, kan?”
Deg.
Danu tidak bisa lagi berkata-kata. Kali ini dia tidak lagi membantah. Ucapan sang papa seperti sebuah tantangan baginya. Danu mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat, lalu kemudian mengangguk pelan.
“Baiklah kalau begitu … aku akan bekerja di sana dan akan membuktikan kalau aku bisa! Tapi … apa yang akan aku dapatkan jika aku berhasil nanti?” tanya Danu.
Sang papa tersenyum pelan. “Apa yang kamu mau?”
“Aku mau perempuan dan anaknya itu keluar dari rumah!” jawab Danu lantang.
Sang papa terdiam sejenak. Raut wajahnya sukar dibaca. Apakah saat ini dia terkejut atau marah sama sekali tidak bisa dibaca. Danu pun menanti jawaban dengan degup jantung yang cukup berdetak kencang. Dia sedikit cemas jika sang papa kembali mengamuk.
Tapi ternyata, sang papa memberikan jawaban yang tak terduga.
“Baiklah kalau itu mau kamu … dan selamat mencoba …!”
.
.
.
Danu tercengang begitu sampai di sebuah gedung perkantoran tingkat tiga yang terlihat kumuh dan tidak terawat. Sebagian besar halamannya sudah ditumbuhi oleh rumput ilalang yang tinggi. Cat tembok berwarna putih itu juga sudah terlihat kusam dan sebagian juga mengelupas setelah diterpa hujan dan juga panas sinar matahari.
Ini adalah pertama kalinya Danu mengunjungi salah satu kantor cabang bidang advertising dan iklan itu. Dan dia sama sekali tidak menyangka bahwa situasinya akan sangat hancur dan urak-urakan seperti ini. Kaca-kaca yang buram itu seakan menjelaskan apa yang terjadi di dalam sana.
Danu menghela napas panjang. “Pantas saja Papa bisa berkata seperti itu.”
Danu melangkah masuk.
Kedatangannya langsung disambut oleh beberapa staf yang memang sudah mengenalnya.
Seorang lelaki dengan rambut belah tengah, sebuah tahi lalat besar di pipi dan setelan baju kemeja yang kedodoran pun langsung menghampiri Danu.
“S-selamat datang Mas Danu! Saya Akil, penanggung jawab kantor cabang di sini. Saya sebelumnya sudah mendengar kalau Mas Danu akan mengambil alih cabang ini.” sosok itu tampak menatap Danu dengan binar mata yang penuh akan secercah harapan baru.
Tatapan Danu beralih melihat suasana dalam gedung yang tak kalah memprihatinkan. Sudut langit-langitnya bahkan dipenuhi oleh jaring laba-laba. Suasana di dalam jug sangat gelap karena kaca jendela yang sudah ditempeli kabut tebal serta penerangan yang kurang efektif pun semakin memperburuk suasana.
“Mana karyawan yang lain? Kenapa sangat sunyi di sini?” tanya Danu.
Akil menelan ludah. “Selama tiga bulan terakhir ini … perusahaan tidak mendapatkan project apa pun, Mas … sehingga tepat tiga hari yang lalu tujuh puluh persen pegawai sudah mengajukan resign secara berjamaah.”
“A-APA …!?” suara Danu melengking keras.
Akil tersenyum pelan. “Hehehe tapi jangan khawatir, Mas … saya sudah menjaring pekerja baru dan untuk langsung memikat mereka, saya bahkan langsung menerima sebagian besar pelamar dan besok mereka semua akan datang untuk interview sebagai formalitas saja.”
Danu menatap kesal. “Jadi mereka bahkan sudah diterima sebelum interview? Cara konyol macam apa itu, ha?”
“Maaf, Mas … saya sengaja melakukan hal itu … karena jika mereka interview terlebih dahulu … pasti mereka akan duluan melarikan diri melihat keadaan perusahaan yan seperti ini.”
Danu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dia tidak bisa berkomentar banyak. Karena memang seperti itulah adanya.
“Apa jangan-jangan semua pekerja itu juga sudah menanda tangani kontrak meski belum datang ke sini?” selidik Danu.
Akil mengangguk. “I-iya, Mas.”
Danu mengembuskan napas kasar. “Baguslah … sepertinya memang hanya dengan cara itu kita bisa merekrut karyawan baru. Sungguh licik dan kotor sekali.”
Akil pun hanya cengengesan mendengar sindiran itu.
“Sekarang ada berapa karyawan yang tersisa?”
“Kalau di total-total semuanya ada sekitar dua puluh lima orang, Mas,” jawab Akil.
Danu mengangguk tanda mengerti, lalu kemudia tersenyum. “Baiklah … sekarang kamu kumpulkan mereka semua dan kalian harus bergotong royong untuk membersihkan tempat ini terlebih dahulu.”
“Saya juga, Mas?” Akil menunjuk dirinya sendiri.
Danu menyeringai, lalu menepuk kedua pundak ringkih Akil. “Tentu saja …. dan kalau besok semuanya masih terlihat kotor … Kamu dan semua karyawan yang tersisa itu akan saya pecat juga.”
Glek.
Akil menelan ludah. Kedua lutut mungilnya bahkan langsung menggigil. Sedetik kemudian dia mengangguk kencang hingga membuat lehernya seperti patah.
“B-baik, Mas … saya akan segera melakukannya!” jawab Akil kemudian.
Setelah itu Danu pun segera bergegas pergi dari sana. Dia memacu mobilnya dengan rasa gerah yang memuncak. AC mobil yang menyala itu pun seakan tidak memiliki efek apa-apa lagi sekarang.
Danu merasa panik dan stress dengan situasi yang akan dihadapinya. Tidak ada lagi gedung perkantoran mewah, ruangan yang super nyaman dengan berbagai fasilitas yang menyenangkan. Terakhir kali Danu bahkan membeli sebuah meja bilyar untuk diletakkan di ruangan kerjanya yang super luas.
Sekarang semua kesenangan itu sirna sudah.
Sekarang semua kemewahan itu tidak bisa lagi dinikmatinya.
Danu pun terus larut dalam pemikiran kalut yang menyerang otak. Hingga kemudian dia terkejut saat melihat dua orang perempuan yang tiba-tiba menyeberang di depannya.
Deg.
Danu melotot kaget. Dia langsung menginjak pedal rem kuat-kuat hingga mobil itu berdecit. Sementara dua perempuan di depan sana kini juga terlihat syok.
“SIAAAL …!” Danu mengumpat dan langsung keluar dari mobilnya. “APA KALIAN SUDAH BOSAN HIDUP, HA?” bentak Danu.
Sosok perempuan berbadan mungil dengan kacamata itu langsung tertegun mendengar ucapan itu. Dia langsung terlihat linglung dan seperti kehilangan kesadarannya. Melihat hal itu, seorang perempuan dengan tubuh tinggi semampai itu pun langsung memegangi kedua pundak temannya.
“A-Aqina … kamu nggak apa-apa, kan?”
Ya. Kedua perempuan itu adalah Eilish dan Aqina.
Eilish terus memanggil-manggil nama Aqina, tapi perempuan itu masih termangu dan kemudian bulir-bulir bening pun mengalir di pipinya. Sepertinya ucapan Danu sudah membuat Aqina kembali teringat akan kisah kelamnya di masa lalu.
“HEH … MALAH MASIH BERDIRI DI SANA. BURUAN MINGGIR …!!!” hardik Danu lagi.
Eilish menatap tajam. Sedetik kemudian dia berjalan mendekati Danu dan berhenti saat sajah mereka berdua nyaris berdekatan.
“Apa?” tanya Danu dengan wajah songongnya.
Eilish tidak menjawab. Tapi dia langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Danu, kemudian kembali berbalik pergi menyeret Aqina pergi dari tempat itu.
Eilish dan Aqina sudah berada di seberang sana. Tapi Danu masih termangu di tempatnya sambil menyentuh pipinya yang kini terasa perih. Ini adalah pertama kalinya Danu mendapatkan perlakuan seperti itu. Dia sangat syok dan masih belum memercayai apa yang baru saja terjadi.
Hingga kemudian kesadarannya pun kembali. Danu langsung mencari keberadaan Eilish, tapi keberadaannya sudah tidak terlihat lagi.
“Siapa perempuan jaha-nam itu?” bisik Danu dengan sorot mata tajam.
.
.
.
Bersambung …