Danu masih bertanya-tanya siapa perempuan aneh yang sudah berani menampar pipinya yang sangat berharga. Bahkan selama ini seekor nyamuk pun tidak bisa menyentuh pipi keramatnya itu. Rasa perih yang tadi terasa sudah menghilang sepenuhnya. Rona kemerahan pun juga sudah sirna. Tapi kejadian itu masih menyisakan sejuta tanya yang terasa sangat mengganggu.
Kalau-lah dia masih berstatus sebagai pangeran seperti sebelumnya, Danu tentu akan mengerahkan segenap koneksi dan barisan orang suruhannya untuk mencari tahu identitas perempuan yang sudah menzholiminya.
“Gila … perempuan itu benar-benar gila!” umpat Danu sambil sesekali meremas setir mobilnya lebih kuat.
Mobil itu kemudian memasuki kawasan apartemen Riyan. Setelah memarkir mobilnya, Danu pun segera naik menggunakan lift menuju kamar yang ditempati temannya itu.
Sambil melangkah dia masih saja mengumpat. Tatapan mata yang bengis, raut wajah masam perempuan itu masih terbayang-bayang jelas di pelupuk matanya. Danu segera masuk ke dalam apartemen setelah menekan nomor sandinya. Tapi kemudian dia terkejut melihat Riyan yang sudah duduk terpekur di tepi tempat tidur dengan tiga buah koper berukuran besar yang ada tepat di sampingnya.
Deg.
Danu menatap nanar. “Lo mau ke mana?”
Riyan langsung menatap Danu dengan bibir bergetar seperti sedang menahan tangis. “Gue harus ke Surabaya, Nu.”
“Ngapain lo ke Surabaya?”
“Tiba-tiba aja gue dipindah tugasin ke sana,” jawab Riyan.
Danu termangu sesaat, tapi kemudian dia langsung menatap curiga. “Hahahaha … gue tahu sekarang. Ini pasti cuma akal-akalan bulus lo doang kan? Lo udah nggak mau numpangin gue lagi. Makanya lo ngedrama pura-pura pindah trus nanti diem-diem lo tetep tinggal di sini iya, kan?”
Riyan hanya menghela napas panjang. “Apa gue terlihat sejahat itu di mata, lo?”
“Ya iya … sejak kedatangan gue lo jadi nggak bisa co-li dengan bebas. Lo nggak bisa juga vcs sama cewek-cewek yang lo temuin di f*******:. Selain itu … lo juga nggak bisa nyalain speaker aktif lo kalo gue ada di sini. Jadi pastinya lo bakalan berusaha untuk mengusir gue dengan berbagai cara,” tukas Danu.
Riyan tergelak sebentar. “Ucapan lo itu tidak sepenuhnya benar, tapi tidak juga sepenuhnya salah.”
Danu menatap tajam. “Udah deh! Nanti kalo gue udah kembali ke posisi gue yang seharusnya … ketika semua akses keuangan gue kembali … gue bakalan ngeganti jasa ini dengan sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan!”
Riyan meneguk ludah. Itu sungguh sebuah negosiasi yang cukup menggiurkan.
“Jadi sekarang lo nggak usah banyak gaya. Nggak bakalan lama, kok! Lo kan, tau sendiri … gue kalo berantem ama Bokap itu nggak lama. Paling lama juga tiga bulanan.”
“Itu lama Junaidi,” sela Riyan. “Tapi masalahnya … kali ini gue nggak lagi nge-drama. Gue emang di mutasi ke sana.”
“Nggak percaya gue! Lo itu adalah manusia yang penuh dengan tipu muslihat,” bantah Danu.
Riyan tidak lagi menjawab. Dia mengambil sebuah surat dari atas meja dan memberikan surat itu pada Danu.
“Lo baca aja sendiri.”
Meski merasa ogah pada awalnya, Danu pun akhirnya membaca baris demi baris isi surat itu dengan helaan napas yang mulai sesak. Riyan ternyata tidak berbohong. Surat pemberitahuan mutasi itu benar-benar terpampang nyata.
Glek.
Danu meneguk ludah. “J-jadi ini beneran?”
“BENERAN, LAH …!!!” bentak Riyan.
Danu paham betul bahwa kali ini Riyan berkata jujur. Apalagi surat itu memang resmi, namun Danu masih menolak untuk memercayainya.
“Siapa tahu aja surat ini lo palsuin juga.”
Riyan tidak lagi menjawab dan bangun dari duduknya. “Terserah lo deh … yang jelas malam ini gue harus berangkat.”
Danu menatap panik. “T-terus kamar ini gimana?”
“Lo bisa nempatin buat sementara seorang diri karena sewanya masih tersisa,” jawab Riyan.
Seulas senyum langsung mengembang di wajah Danu. “Lo serius, Cuk?”
“Iya.”
“Sampai kapan?”
Riyan berpikir sebentar. “Sekarang tanggal berapa?”
“Tanggal empat juni,” jawab Danu.
“Berarti tersisa tiga hari lagi. Sewanya abis tanggal tujuh.”
Deg.
“BANG-CAT …!” Danu langsung mengumpat. “M-memangnya berapa sewa apartemen di sini?”
Riyan tersenyum. “Deposit lima belas juta dan perbulannya enam juta rupiah aja.”
Glek.
Danu menelan ludah. Nominal sebanyak itu seharusnya bukan masalah baginya. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini …
Semua jelas menjadi masalah.
“P-pinjemin gue duit dong!” pekik Danu kemudian.
“Gue aja masih ngutang sama lo tiga juta lima ratus dan sampe sekarang belum gue bayar,” tukas Riyan.
“Kalo gitu bayar aja utang lo sekarang! Oh iya, uang depositnya kan ada?” selidik Danu.
“Lo pikir gue mampu bayar deposit sebanyak itu? Depositnya pake duit atasan dan ssekarang juga udah balik ke rekeningnya.”
“Terus gue gimana dong?” pekik Danu panik.
“Ya, mana gue tau … emang gue bapak lo,” sergah Riyan.
“Gue butuh duit buat bertahan hidup.”
“Jual aja tuh mobil, lo.”
Deg.
Danu langsung membelalak. “No …. mobil itu udah gue anggap seperti anak gue sendiri.”
“Ya udah … kalo gamau, lo tinggal balik ke rumah dan minta maaf noh sama bokap lo. Beres kan?”
Danu membeku. Sementara Riyan buru-buru menyeret kopernya dan segera melarikan diri pergi dari sana.
.
.
.
Eilish yang baru saja turun dari mobil grab yang ditumpanginya langsung menatap heran pada gedung yang kini ada di hadapannya. Gedung itu lebih pantas disebut sebagai wahana rumah hantu dibandingkan dengan bangunan kantor. Eilish pun memeriksa kembali alamat yang tertera di layar handphone-nya, kemudian juga mengecek papan nama kusam yang ada di depan gerbang.
“A-alamatnya sudah benar, sih … t-tapi kenapa seperti ini?” bisik Eilish.
Hari ini Eilish terlihat sangat cantik dan profesional dalam balutan jas dengan celana berwarna merah maron. Dia mengikat rambutnya dengan rapi, lengkap dengan make up yang sangat mengintimidasi. Polesan lipstick yang berwarna senada dengan pakaiannya itu menjadi spot paling menarik untuk dilihat. Kalau untuk masalah fashion, Eilish memang ratunya.
Tapi sekarang …penampilannya yang sangat wow seperti itu sangat kontras dengan gedung tua yang menyeramkan di depan matanya.
Eilish meneguk ludah. Pikiran negatif mulai menyergap otaknya. Apa jangan-jangan dia menjadi korban penipuan? Apa jangan-jangan di dalam sana nanti dia akan disekap dan kemudian dijual ke luar negeri. Apa di era digital seperti ini perdagangan perempuan masih eksis? Apa nantinya dia akan dijebak untuk melakukan bisnis MLM?
Glek.
Eilish menelan ludah. “T-tapi itu nggak mungkin. Perusahaan ini memiliki track record yang bagus. Dia bahkan menempati brand popularitas terbaik tahun kemarin. Aku nggak mungkin se-ceroboh itu. Aku sudah mencari tahu latar belakang perusahaan ini.”
Eilish masih termangu beberapa saat hingga kemudian akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam gedung perkantoran yang disebutnya mirip dengan rumah hantu itu. Derap langkahnya dipenuhi oleh rasa gamang, tapi Eilish tetap mencoba berpikir positif.
Setiba di dalam sana, kedatangannya langsung disambut seorang perempuan berhijab dengan senyum yang ramah.
“Selamat siang, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan itu.
Eilish tersenyum canggung, lalu sedikit mengangkat map berisi kelengkapan berkas yang ada di pangkuannnya. “Saya Eilish Anderson, salah satu peserta interview hari ini.”
Sosok wanita berhijab itu tampak terkejut. “Eh … tapi jadwal interviewnya sudah dimajukan kemarin.”
“A-APA …?” Eilish melotot kaget.
“Apa kamu tidak mendapatkan pemberitahuannya? Kita sudah mengirimkan email ke semua calon pekerja,” tambah wanita itu.
“Nggak, Mbak … saya nggak dapat e--” kalimat Eilish terhenti saat dia menyadari ada sebuah notifikasi email di handphone-nya dan benar saja. Itu adalah email dari Baskoro Advertising Group.
Eilish menatap panik. Dia sama sekali tidak menyadari email masuk itu.
“Iya. Interviewnya dimajukan jadi hari kemarin,” ulang perempuan itu lagi.
Eilish meringis pelan. “J-jadi bagaimana, Mbak? Apa itu artinya saya gagal?”
Perempuan itu tersenyum. “Tunggu sebentar ya, saya akan mencoba menghubungi atasan saya dulu.”
Perempuan itu langsung menghubungi seseorang melalui telepon yang ada di meja bagian informasi. Tapi ternyata telepon itu tidak dapat digunakan.
“S-sebentar ya, sepertinya sambungan telepon perusahaan ini sudah diputus oleh pihak Telkom,” jelasnya sambil cengengesan.
Deg.
“K-kenapa diputus?” Eilish refleks melontarkan pertanyaan itu.
“Kayakne tagihan teleponnya belum dibayar.” logat bicara perempuan itu langsung berubah. Dia berbicara dengan logat dengan irama yang kental.
“Sebentar ya, Mbak Yu …,” ucapnya lagi.
Jawaban itu sukses membuat Eilish tercengang. “K-kenapa belum dibayar?”
Perempuan itu kembali nyengir. “Ya, karena ndak ada u--” kalimatnya terhenti, lalu kemudian dia mengganti jawabannya itu. “Kayaknya kelupaan. Jadi don’t borry.”
“Don’t worry maksudnya, Mbak?” tanya Eilish.
“Nah, iya itu,” pungkas Yuni.
Eilish makin terheran-heran. Suasana kantor itu juga sangat lengang sekali seolah-olah tidak ada kehidupan di sana. Perempuan itu kini tampak melakukan panggilan telepon melalui handphone-nya.
“Sebentar, ya,” ucapnya.
Eilish hanya mengangguk sambil tersenyum canggung.
Tapi hanya berselang beberapa detik saja, perempuan itu kembali menurunkan handphone-nya lalu menatap Eilish.
“Maaf … ternyata pulsa saya abis. Boleh saya pinjam handphone-nya untuk telepon?”
Glek.
Eilish semakin takut sekarang, tapi tangannya tetap menjangkau handphone yang tersimpan di saku celana dan memberikannya kepada perempuan itu. Sembari menunggu Eilish pun kembali melihat-lihat keadaan sekitar. Sungguh, tempat itu terlihat seperti gedung-gedung berhantu yang ada di film horror.
“H-halo … ini saya Yuni, Pak.” perempuan itu mulai bebricara. Eilish pun sengaja berdiri lebih dekat untuk menguping pembicaraan.
“Ada apa kamu menghubungi saya?” terdengar suara tegas di seberang sana.
“Anu, Pak ….”
“ANU ANU APAAN, SIH …!?” sosok Yuni sontak menjauhkan handphone itu dari telinganya. Eilish pun juga terjaget-kaget mendengar bentakan itu.
“I-ini, Pak … ada salah seorang calon pekerja yang kemarin nggak ikut interview karena tidak mendapatkan pesan tentang perubahan jadwal.”
Terdengar suara Danu yang sedang mengembuskan napas. “Kemarin yang berhasil terjaring berapa?”
Yuni berbisik lirih. “Cuma enam orang, Pak … padahal ada 25 kuota.”
“Bukannya pelamar mencapai 60 orang?” tanya Danu.
“I-iya, Pak … tapi kebanyakan dari mereka kabur saat akan interview.”
Hening.
“Ya sudah … kalau begitu terima saja dan suruh dia masuk bekerja mulai hari senin besok.”
Tut… Tut… Tut…
Sambungan telepon itu pun langsung terputus.
Yuni tersenyum, memberikan handphone milik Eilish, lalu mengambil map berisi berkas yang masih dipeluk Eilish kuat-kuat.
“K-kenapa, Mbak?” tanya Eilish sambil menahan map itu.
“Selamat … kamu di terima kerja di sini.” Yuni menarik map itu kembali.
Eh.
Eilish menatap bingung. “K-kenapa semudah itu?” dia menarik lagi mapnya.
Yuni tersenyum dan berusaha merebut map itu secepatnya. Aksi tarik menarik itu berlangsung cukup lama hingga sosok Yuni keluar sebagai pemenangnya.
“Pokoknya … kamu diterima kerja di sini!”
Eilish masih kebingungan. “T-tapi ….”
“Kamu bisa mulai masuk bekerja hari senin nanti.”
Deg.
Eilish mematung. Sementara Yuni kini mengambil tangan Eilish dan menjabatnya. “Sekali lagi selamat, ya ….”
Akhirnya Eilish hanya mengangguk dengan raut wajah yang terlihat bodoh. Sedangkan sosok Yuni pun hendak berbalik pergi. Eilish pun juga balik badan hendak keluar dari tempat itu, tapi kemudian dia kembali memanggil Yuni.
“Mbak … tunggu sebentar …!”
Yuni berbalik. “Iya. Apa ada yang masih bisa saya bantu?”
“Tapi ini beneran Baskoro Advertising Grup, kan?”
Yuni mengangguk dengan senyum khas yang mirip seperti pegawai bank yang sedang melayani nasabah. “Benar sekali. Kita adalah Baskoro Advertising Grup! Perusahaan Advertising no satu se Indonesiah.” Yuni mengacungkan jari telunjuknya.
“Tapi kenapa kantornya berbeda dengan yang saya lihat di internet?” tanya Eilish.
Glek.
Yuni menelan ludah, tapi setelah itu memasang senyum nan merekah indah itu kembali.
“Kita ini adalah cabang pembantunya,” jawab Yuni.
“C-cabang pembantu? Tapi tetap dalam grup dan manajemen yang sama, kan?” eilish masih gigih bertanya.
“APA PUN ITUUUU ….”
Deg.
Eilish tersentak karena tiba-tiba Yuni memekik kencang.
“Kita adalah Baskoro Group,” lanjut Yuni kemudian.
.
.
.
Bersambung…