Sepanjang sore itu Vina membantu ibunya membereskan rumah dengan gembira. Memastikan setiap sudut rumah bersih dan sedap dipandang hal itu dia lakukan karena nanti rumahnya akan kedatangan tamu. Bak orang penting kedatangannya sangat dinanti oleh Vina karena terbilang sangat jarang sekali tamu ini berkunjung ke rumahnya. Tamu itu adalah Tante Lina yang tak lain tetangganya yaitu Mama Kiki. Meskipun rumah mereka bersebelahan tetapi jika bukan karena sedang ada acara yang mengharuskan mereka melakukan satu kegiatan rukun tetangga rasanya tidak akan ada interaksi antara dua keluarga yang bertetangga itu. Bukan karena kesibukan masing-masing tetapi karena dua keluarga itu tidak akrab. Meskipun dua anak mereka yang sebaya beitu dekat bahkan bersahabat.
Malam itu Ambar dan Lina akan memasak untuk keperluan acara kompleks untuk pagi besok. Membayangkan interaksi adem ayem yang akan dilakukan ibunya dan Mama Kiki sudah membuat Vina senyum senyum bahagia. Tak lama Tante Lina datang dengan Kiki yang mengekor di belakangnya membawa tas belanjaan berisi berbagai bahan makanan. Vina menyambut mereka di depan rumah dengan wajah cerianya apalagi melihat kehadiran Kiki juga di sana. Setelah meletakkan bawaannya di dapur Kiki segera bergabung dengan Vina di sofa ruang depan menonton televisi.
“Kok ga bilang sih Ki mau ikut?”
“Ya kenapa engga? besok kan libur juga”
Malam itu sembari menunggu kegiatan masak-masak dua ibu itu kedua anak mereka menghabiskan malam menonton televisi. Vina dan Kiki begitu asyik mengobrolkan banyak hal mulai dari teman-teman di sekolah bahkan tentang tayangan yang tengah mereka tonton. Sunggingan senyum tak bisa lepas dari wajah Vina bahkan ketika aroma masakan mulai tercium senyumannya semakin lebar.
“Happy Vi?”
“Hmm happy lah, Ibu sama Mama kamu masak bareng gitu hehe”
Tanpa menoleh ke arah Kiki yang mengajaknya berbicara Vina menanggapi dengan kekehan tak menutupi perasaan bahagianya melihat interaksi dua orang di dapur. Seringkali dia merasa risih jika keluarganya dan Kiki berinteraksi layaknya orang asing yang selalu canggung padahal mereka ini bertetangga. Terlihat jelas bahwa Ibunya sering tidak cocok dengan Mama Kiki hingga berujung membicarakannya di belakang. Meskipun hanya menjadi ocehan sebal saat di rumah yang seringnya dengan Ayah Vina tetapi Vina juga ikutan mendengarkannya yang sering teradi saat di meja makan sewaktu makan malam. Vina pikir hubungan pertemanannya dengan Kiki bisa menyatukan dua keluarga ini tetapi meski ibunya menerima Kiki sebagai teman Vina tetapi justru Ayah Vina yang sering berlebihan melarang Vina untuk tidak terlalu dekat dengan Kiki.
Hanyut dalam pikirannya tiba-tiba Vina merasakan telapak tangan Kiki berada di atas punggung tangannya. Sesaat senyum Vina berganti menjadi mimik terkejut diikuti detak jantungnya yang meningkat. Dia tak berniat menjauh tapi juga terlalu tegang hingga Vina terpaku mungkin juga sedikit menerka yang akan terjadi selanjutnya. Ia rasakan tangan itu mulai membungkus tangannya dengan lembut, hangat, dan erat. Menormalkan detak jantungnya Vina mengatur nafasnya namun tetap tak ingin melihat orang yang tengah membuat gelenyar membingungkan seolah sejuta kupu-kupu berterbangan dalam rongga perutnya.
Entah sejak kapan keberadaan Kiki di dekatnya selalu membuat Vina seolah bisa merasakan suhu tubuh Kiki. Bukan satu dua kali saja Vina memikirkan beberapa interaksi fisik yang bisa dia lakukan dengan Kiki. Bukan berpikiran yang aneh-aneh tetapi refleks Kiki yang memeluk atau memegang tangannya seolah sudah menjadi kebiasaan dan Vina menyukai hal itu. Dia merasa nyaman dengan beberapa perlakuan Kiki kepadanya. Meski begitu tetapi yang dilakukan Kiki tetap saja selalu membuat Vina terkejut.
Vina menatap lurus ke arah TV dengan tangannya yang berada di genggaman Kiki, semua yang ditayangkan di TV rasanya tidak bergerak dan tidak bersuara karena pikiran Vina tidak pada tayangan itu. Rasanya untuk bernapas normal saja ia ragu. Baru Vina akan terhanyut dalam perasaan itu tiba-tiba Kiki menarik tangannya tergesa.
“Udah jadi tante?” ah ada ibu rupanya, Vina membatin.
“Baru satu resep masih banyak yg mau dibuat. Ini dimakan ya sambil nonton mumpung masih anget”
Kiki langsung mengambil bolu kukus begitu Ibu Vina kembali ke dapur tak lupa ia juga menyodorkan kue itu ke arah mulut Vina.
“Aaaaa” ucap Kiki memberi kode Vina untuk membuka mulut memakan bolu.
Bukannya menuruti Vina justru menatap bolu dan Kiki secara bergantian. Sungguh dia tidak bisa menahan senyuman yang kini diikuti semburat kemerahan di wajahnya. Bukan tanpa alasan Kiki menyuapi bolu itu untuk Vina karena tangan kanan Vina yang kembali digenggamnya. Vina menggigit ujung bolu yang disuapkan Kiki, rasanya manis begitu manis. Masih enggan mengalihkan pandangan dari wajah Kiki yang kini juga menggigit sebagian bolu kembali menonton TV dan tersenyum tipis.
Cih sahabatnya memang tengil bahkan saat ini semakin mengeratkan genggamannya.
Untuk beberapa momen memang tidak alasan yang jelas tentang tindakan yang dilakukan Kiki. Entah terbawa suasana akan kebersamaan atau rasa ingin karena memang harus dilakukan. Terkadang banyak hal manis yang terjadi tanpa terencana dan mengalir sebagaimana mestinya saja. Seperti malam itu pegangan tangan yang Kiki lakukan untuk Vina bukan sekedar sentuhan yang terasa biasa mereka lakukan. Bukan ketika mereka saling tarik saat jalan bersama atau memperebutkan barang, bahkan terasa berbeda juga dibandingkan ketika Kiki bersikap manja inggin memeluk Vina sehabis di marahi mamanya. Akhir-akhir ini Kiki merasakan gelenyar asing ketika bersama sahabarnya dan salah satu hal naluriah yang ingin dia lakukan bersama Vina adalah menggenggam tangan perempuan yang senyumnya begitu cerah dan Kiki menyukai itu.