"Vinaaa itu udah dipanggil Kiki"
Suara Ambar membuat Vina cepat-cepat menyelesaikan kegiatannya bersiap-siap berangkat sekolah. Menyemprotkan parfum sebagai sentuhan akhir, Vina mengamati tampilannya sekali lagi di cermin. Sudut bibirnya terangkat setelah memastikan dandanannya siap. Menggendong tasnya kemudian menepuk rok biru yang ia kenakan agar kembali rapi setelah dipake duduk. Vina pun siap berangkat sekolah.
"Vina pamit bu" mencium tangan ibunya, Vina segera berlari menuju depan rumahnya.
Keluar dari gerbang rumah, Vina langsung disambut oleh presensi Kiki yang bersandar di tembok pembatas depan rumah. Seperti biasa, remaja laki-laki itu tampak rapi dengan seragam putih biru. Vina tidak bisa menahan bibirnya yang terangkat semakin lebar, tersenyum melihat sahabatnya. Kiki yang dengan posisi memasukkan kedua tangan di saku celananya sembari bersandar mampu menghadirkan debar yang memacu perasaan bahagia untuk Vina.
"Hi" Kiki menyapa tak kalah canggung, senyuman Vina yang coba ia tahan untuk tak semakin merekah nyatanya gagal dia sembunyikan.
Mereka berjalan dalam diam menikmati suasana pagi yang asri. Sesekali Vina menengok sampingnya hingga pandangannya bertemu dengan mata Kiki yang menatap ke arahnya. Awalnya ia tak menghiraukan itu tetapi hal itu berulang terus, seolah Kiki memang tak melepas arah pandangnya.
"Kenapa?" Vina mulai gemas dan penasaran.
"Apa?"
"Ada yang aneh sama aku?" merapikan anak rambutnya karena Vina pikir ada yang janggal dengan tatanan rambutnya hari ini. Tetapi pertanyaan Vina hanya dibalas dengan gelengan kepala juga senyuman Kiki.
"IH ada apa?? jangan senyum senyum!.... KI AWAAAS!!"
BRUK!!!
"ARRRRGGGHHH"
Kiki terkapar di trotoar sembari memegangi keningnya. Melihat hal itu rasa terkejut juga khawatir melingkupi Vina tetapi dia juga tidak bisa menahan kekehannya.
"Kiii hahahahaha kamu ga papa"
"GAPAPA GIMANA INI SAKIT VIII"
"HAHAHAHAA Ih aduh kasihan,,, ini sampai merah keningnya wakakakakak"
Beberapa orang yang lewat juga berhenti untuk melihat mereka apalagi posisi Kiki juga seruan mereka yang menarik perhatian orang-orang. Bahkan ada juga yang melihat langsung kronologi Kiki tejatuh ikutan tertawa menyaksikan hal itu. Muka Kiki memerah karena rasa sakit akibat menabrak pohon tidak sebanding dengan perasaan malu yang ia rasakan.
Vina membantu Kiki berdiri, ikut membersihkan seragam sahabatnya yang terkena debu. Tentu saja cekikikan gadis itu belum juga berhenti. Apalagi muka bersungut Kiki yang ia tahu sumbernya dari rasa malu diperhatikan banyak orang akibat kecerobohannya.
"Kering gigimu Vi ketawa terus" keluh Kiki yang masih ditertawakan oleh Vina. Mereka memutuskan duduk di taman sebentar.
"Hahaha kamu sih, kalau jalan tu ya lihat depan gitu lho, gimana masih sakit? pusing?"
"Aku ga selemah itu kalik Vi"
Kiki mengalihkan tangan Vina yang sedari tadi masih mengusap-usap keningnya untuk mengecek kondisi pasca menabrak pohon.
"Happy?"
"Ih gitu aja ngambek, becanda lho Ki. Aku juga khawatir tadiii"
Sebenarnya bukan itu maksud pertanyaan Kiki tetapi melihat gurat tawa pada wajah sahabatnya di pagi ini membuat dia tercenung. Tentang tawa Vina selama ini, tawa yang selalu Kiki usahakan selalu ada. Dalam hubungan persahabatan mereka, Kiki tahu bahwa dia sering mengambil peran sebagai pelawak dan Vina adalah penonton yang menikmati lawakannya. Kiki sadar bahwa bersamanya Vina lebih sering tersenyum, mudah tertawa setiap tingkah random yang ia lakukan dan hal itulah yang dibutuhkan Kiki. Sebuah perasaan bahwa dia bisa menjadi alasan seseorang bahagia.
Menghadirkan tawa di wajah Vina adalah pelipur ketika dirinya merasa sebagai sumber kesalahan.
"Ki kamu ga papa kan? jangan bengong gitu iiihhhh ayuk berangkat nanti kita telat" Vina menepuk pundak Kiki, mencoba menyadarkan lamunannya. Mereka kini mulai kembali bergegas berjalan menuju sekolahan.
"Vi tahun ini kamu umur berapa?"
"Kita umur berapa" ralat Vina.
"Udah banyak ya Vi umur kita haha" Kiki mensejajarkan langkah cepat Vina yang mulai mode terburu sekolah.
"Apasih kayak orang tua banget deh, tenang aja Ki kita ini masih SMP.... ya walaupun juga sebentar lagi SMA sih hehe"
"Ga ada yang bisa ngalahin rekor temenan kita yang udah di tahun ke belas-belasannya ya Vi"
"Ya namanya juga dari dalam perut, wait. Ini kamu kayak orang tua sumpah, ga beres ya kepalanya gara-gara kejedot"
Lagi-lagi Vina memastikan keadaan Kiki, dia melongok-longok melihat ke arah kening sahabatnya. Rasanya segala kalimat-kalimat pembahasan tadi terlalu aneh bila Kiki membahas hal-hal seperti itu.
"Vi, tas kamu ga bakal kemana-mana walaupun strapsnya ga kamu pegangin" ucap Kiki tiba-tiba.
"Hah?"
Refleks Vina melepas kedua tangannya yang tadi memang memegang kedua sisi straps pada ranselnya. Salah satu tangan Vina yang bebas diraih Kiki untuk dia genggam.
"Nah kalau yang ini bisa kemana-mana, jadi harus dijagain"
"Uhh??" Vina terkejut melihat tangannya yang kini digandeng Kiki kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Bagi Vina, Kikinya terlalu random. Selalu. Selalu seperti itu tidak pernah berubah. Namun sejak beberapa waktu lalu Vina merasa ada yang berubah di antara mereka, atau ini hanya perasaan Vina seorang saja?
Tangan Kiki di pagi ini yang terasa sejuk seolah menjalarkan hawa hangat yang mengalir hingga ke kedua pipi Vina. Bibirnya terkulum malu karena menahan senyum yang tanpa permisi terbit. Detak jantungnya meningkat seiring langkah kaki mereka sebentar lagi mendekati area sekolah.
Tanpa Vina ketahui Kiki juga merasakan hal yang sama bahwa ada rasa yang berbeda pada setiap kedekatannya dengan Vina kali ini. Dia menyukai perasaan ini dan merasa ingin menyimpannya untuk waktu yang lama.
Memasuki area sekolah mereka berdua sama-sama tahu bahwa ini waktunya untuk melepaskan genggaman mereka. Padahal sebelum-sebelumnya jenis sentuhan fisik yang satu itu cukup sering mereka lakukan dimana pun. Alih-alih menganggapnya sebagai jenis kontak yang mampu menghadirkan letupan-letupan manis seperti saat ini, dulu mereka mengakui hal itu sebagai tarikan tangan dan jenis kontak fisik yang biasa dilakukan apalagi oleh sahabat sejak kecil itu.
Mengapa sekarang seolah mereka ingin menyembunyikan hal itu?